- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Rabu, 18 Desember 2024 | 22:22 WIB
: Anggota KY Mukti Fajar Nur Dewata saat membuka acara edukasi publik
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Senin, 16 Desember 2024 | 15:58 WIB - Redaktur: Untung S - 121
Yogyakarta, InfoPublik — Fenomena "No Viral, No Justice" yang ramai di media sosial kini menjadi sorotan utama dalam upaya menuntut keadilan di Indonesia. Kasus-kasus viral yang berkembang melalui media sosial, seperti kasus GRT dan Vina, tidak hanya mendapat perhatian publik tetapi juga menjadi bagian dari tugas Komisi Yudisial (KY) dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim di Indonesia.
Anggota Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, mengungkapkan bahwa media sosial telah menjadi salah satu sumber informasi penting bagi KY dalam melakukan verifikasi dan pengawasan terhadap hakim-hakim yang tidak berperilaku sesuai dengan kode etik.
Hal itu ia sampaikan dalam acara "Menyuarakan Peradilan Bersih Melalui Media Sosial", yang berlangsung di Internet Learning Cafe, Yogyakarta, pada Senin (16/12/2024).
"Kita semua merasakan bahwa hukum dan keadilan sedang tidak baik-baik saja. Tren munculnya kasus ini bahkan muncul dari media sosial seperti kasus GRT dan Vina. KY sendiri beberapa tahun terakhir ini bergerak karena informasi dari media sosial, yang kemudian diverifikasi kembali kebenarannya. Jadi, KY memang butuh dukungan dari SobatKY untuk melakukan pengawasan hakim," ujar Mukti Fajar.
Dalam kesempatan tersebut, Mukti Fajar mengajak peserta untuk melihat lebih luas potensi media sosial sebagai alat untuk mendukung reformasi peradilan di Indonesia. Menurutnya, media sosial memudahkan penyebaran informasi yang valid mengenai hukum dan keadilan, yang dapat sampai ke publik lebih cepat dan lebih luas. Hal ini memberikan kesempatan kepada Komisi Yudisial untuk segera mengumpulkan informasi dan bertindak lebih cepat.
"Kalau mau jujur, putusan yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat mungkin ada di pelosok-pelosok, tetapi itu tidak viral, sehingga atensi publik tidak besar. Fenomena viral ini tidak terbantahkan, ini adalah keniscayaan zaman, jadi yang perlu kita pelajari adalah bagaimana menggunakannya dengan cara dan tujuan yang benar," jelas Mukti Fajar.
Mukti Fajar juga berpesan kepada peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa ilmu hukum, yang kelak akan berkarier di dunia hukum. Ia menekankan bahwa menjadi seorang hakim tidak hanya memerlukan integritas dan kebaikan, tetapi juga kecerdasan dan kemampuan profesional dalam mencari dan memberikan keadilan.
"Menjadi hakim tidak cukup hanya baik dan berintegritas, tetapi juga harus pintar. Kalau tidak pintar, hakim akan sulit mencari dan memberi keadilan. Kalau mau menjadi hakim, maka Anda dituntut untuk menjadi manusia luar biasa, dan moralitas harus di atas rata-rata," pungkasnya.
Melalui acara itu, Komisi Yudisial juga menegaskan bahwa pengawasan terhadap perilaku hakim harus dilakukan dengan lebih transparan dan berbasis pada informasi yang valid. Media sosial menjadi kanal yang sangat efektif untuk memastikan bahwa setiap keputusan hakim dapat diawasi dan mendapatkan perhatian publik. "Peran media sosial sangat besar dalam proses reformasi peradilan, karena ia bisa menyuarakan ketidakadilan yang selama ini terabaikan oleh sebagian besar masyarakat," tambah Mukti Fajar.
Dengan edukasi semacam ini, Komisi Yudisial berharap dapat membangun kesadaran di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang aktif di media sosial, untuk turut berperan dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih bersih, transparan, dan berkeadilan.