- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Rabu, 20 November 2024 | 17:33 WIB
: Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta foto bersama dengan peserta Pelatihan Tematik dengan tema “Tindak Pidana Perdangan Orang” yang diselenggarakan KY di Hotel Harris (Foto: Dok KY)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Kamis, 14 November 2024 | 20:35 WIB - Redaktur: Untung S - 186
Jakarta, InfoPublik – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terus menjadi masalah serius di Indonesia. Meskipun jumlah korban yang terus meningkat, upaya penegakan hukum belum berjalan optimal.
Berdasarkan laporan polisi dari 2015 hingga 2019, tercatat 554 laporan dengan 757 tersangka. Namun, hanya 413 kasus yang dibawa ke pengadilan, sedangkan 140 laporan (25 persen) tidak dapat disidangkan karena berbagai kendala, yang menyebabkan banyak korban tidak mendapatkan keadilan. Antara 2019 hingga 2022, terdapat 1.545 kasus perdagangan orang dengan 1.732 korban.
"Ada kecenderungan peningkatan kasus perdagangan orang setiap tahunnya. Korban TPPO tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki, terutama yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal penangkapan ikan berbendera asing. Selain itu, semakin marak pula perdagangan laki-laki untuk melakukan penipuan online atau scam," ungkap Anggota Komisi Yudisial (KY), Sukma Violetta, saat membuka Pelatihan Tematik dengan tema “Tindak Pidana Perdagangan Orang” di Hotel Harris, Bekasi, pada Kamis (14/11/2024).
Sukma menyoroti penanganan perkara TPPO di pengadilan yang menunjukkan belum adanya konsistensi dalam penerapan Undang-Undang (UU) terkait. Terdakwa seringkali diadili berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pekerja Migran Indonesia, atau UU Keimigrasian, yang justru membuat banyak pelaku hanya dihukum karena melanggar persyaratan pengiriman pekerja ke luar negeri.
“Unsur delik yang seharusnya memudahkan aparat penegak hukum untuk membawa pelaku ke pengadilan justru menjadi kelemahan. Banyak bukti yang menunjukkan cara perdagangan orang yang dilakukan dengan menjebak korban melalui hutang besar, termasuk biaya perjalanan dan biaya hidup di tempat penampungan sebelum keberangkatan. Seluruh biaya ini dibebankan kepada korban dan dijadikan hutang yang melilit mereka,” jelas Sukma.
Lebih lanjut, Sukma mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, unsur eksploitasi terhadap korban seringkali terlupakan karena adanya kontrak kerja yang dianggap sah, meskipun korban sebenarnya dipaksa untuk menandatanganinya. Hal ini menyebabkan banyak kasus tidak memenuhi unsur delik eksploitasi orang.
“Selain itu, masih banyak yang kurang memahami jaringan kejahatan TPPO, sehingga yang dimintakan pertanggungjawaban hukum hanya pelaku di level lapangan. Sementara itu, aktor intelektual di balik jaringan TPPO jarang dibawa ke pengadilan, dan mereka tetap bebas untuk melanjutkan praktik kejahatan tersebut,” tambah Sukma.
Sukma juga menyoroti pentingnya pengelolaan perkara TPPO sesuai dengan UU yang berlaku, yang memiliki prosedur hukum acara berbeda dengan KUHAP. Salah satunya adalah mekanisme pendampingan bagi korban dan saksi yang juga terdapat dalam penanganan perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
“Kejahatan perdagangan orang saat ini sudah dalam kondisi darurat dan harus segera diatasi bersama. Hakim memiliki peran sentral untuk menangani masalah ini, yang telah memakan banyak korban, terutama perempuan dan anak-anak,” pungkas Sukma, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim.
Pelatihan Tematik itu berlangsung dari 11 hingga 15 November 2024 dan diikuti oleh 40 hakim dari berbagai wilayah Indonesia yang bekerja di peradilan umum.