- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Jumat, 4 Oktober 2024 | 18:06 WIB
: Anggota Komisi Yudisial (KY) sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata (Foto: Dok KY)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Jumat, 13 September 2024 | 19:02 WIB - Redaktur: Untung S - 288
Jakarta, InfoPublik – Maraknya putusan-putusan hakim yang kontroversial dan menyedot perhatian publik menempatkan Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang berperan penting dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Namun, di tengah harapan publik yang tinggi terhadap wewenang KY, UU Komisi Yudisial justru telah mengalami 11 kali judicial review, yang berujung pada pelemahan fungsi KY sebagai pengawas kinerja hakim.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi Yudisial sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, dalam Dialog Nasional bertajuk “Refleksi Kelembagaan Komisi Yudisial” pada Jumat (13/9/2024).
“KY jangan hanya dilihat sebagai lembaga pengawas eksternal bagi hakim, namun juga memiliki fungsi penting lainnya, yakni mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia serta melindungi hakim dalam menjalankan tugasnya,” jelas Mukti Fajar.
Mukti Fajar menambahkan bahwa meskipun hakim dilindungi oleh doktrin kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan independen, putusan mereka tetap harus mencerminkan keadilan di mata masyarakat. Sebab, kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sangat bergantung pada rasa keadilan yang diwujudkan oleh putusan hakim.
“Walaupun putusan hakim bersifat mengikat, tetap diperlukan legitimasi dari masyarakat agar lembaga peradilan dipercaya. Banyak putusan yang tidak sesuai dengan visi Mahkamah Agung (MA), sementara KY memiliki keterbatasan dalam pengawasan etik,” lanjutnya.
Hakim Agung Jupriyadi menekankan pentingnya kerja sama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai mitra strategis dalam melaksanakan pengawasan serta menangani dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dia menjelaskan bahwa substansi yuridis atau pertimbangan hukum hakim dalam putusan bukan merupakan objek pengawasan KY, sehingga KY dan MA tidak dapat menilai benar atau salahnya pertimbangan yuridis tersebut.
“Belum adanya kesepahaman terkait teknis yudisial antara KY dan MA menjadi tantangan besar. Ini harus diselesaikan agar publik sepenuhnya percaya pada peran peradilan dan hakim di Indonesia,” ujar Jupriyadi.
Selain itu, Jupriyadi menambahkan bahwa model relasi antara KY dan MA, serta penguatan komunikasi publik, menjadi hal yang krusial dalam menjalankan wewenang undang-undang. Kolaborasi dan harmonisasi antara kedua lembaga tersebut diperlukan untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan dan akuntabel.