- Oleh Eko Budiono
- Kamis, 19 Desember 2024 | 11:38 WIB
: Terdakwa kasus korupsi rekayasa transaksi emas Antam Budi Said menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (13/12/2024). Jaksa Penuntut Umum menuntut Budi Said dengan pidana penjara selama 16 tahun terkait kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas PT Antam Tbk. (Antam) dan mantan General Manager (GM) Antam Abdul Hadi Aviciena dengan pidana penjara tujuh tahun dan membayar denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan pidana penjara. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Oleh Eko Budiono, Jumat, 20 Desember 2024 | 13:40 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 86
Jakarta, InfoPublik - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorupsi merupakan bagian rencana amnesti dan abolisi.
Rencana tersebut merupakan salah satu dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara (asset recovery), sejalan dengan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Yusril, melalui keterangan resmi, Kamis (19/12/2024).
"Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut, namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," ujar Yusril.
Yusril menyebutkan, penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi merupakan upaya pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif, dan pemulihan kerugian negara.
Adapun presiden mengemukakan bahwa orang yang diduga melalukan korupsi, orang yang dalam proses hukum karena disangka melakukan korupsi, dan orang yang telah divonis karena terbukti melakukan korupsi dapat dimaafkan jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Menurut Yusril, pernyataan presiden itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang akan diberlakukan awal tahun 2026.
Dengan demikian, penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.
"Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya," kata Yusril.
Ia menilai, apabila para pelaku hanya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sementara, lanjut dia, jika uang hasil korupsi mereka kembalikan dan pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menyejahterakan rakyat.
Yusril mencontohkan, pelaku korupsi di dunia usaha misalnya, bisa meneruskan usahanya dengan cara yang benar dan tidak mengulangi praktik korupsi.
Dengan begitu, Yusril menyebutkan usaha pelaku tersebut tidak tutup atau bangkrut, negara tetap dapat pajak, tenaga kerja tidak menganggur, pabrik tidak jadi besi tua, dan sebagainya.
Maka dari itu, dia berpendapat penegakan hukum dalam menangani korupsi harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelakunya.
Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, kata dia, memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun, termasuk tindak pidana korupsi, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Sesuai amanat konstitusi, sebelum memberikan amnesti dan abolisi, Presiden akan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).