Ini Tujuh Pendekatan Kemenkes untuk Layanan Tuberkulosis

: Ilustrasi, gambar rontgent paru-paru/Foto: Kemenkes


Oleh Putri, Selasa, 27 Februari 2024 | 16:45 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 133


Jakarta, InfoPublik - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan pihaknya melakukan tujuh pendekatan dalam upaya eliminasi Tuberkulosis (TBC) di Indonesia.

Kemenkes melakukan upaya pendekatan public-private mix (PPM). Pertama, pelibatan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), baik pemerintah maupun swasta secara umum di 34 provinsi, khususnya di 19 provinsi prioritas PPM.

"Kegiatan pelibatan menyasar kepada rumah sakit (RS), klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) dalam program TBC,” kata Imran melalui keterangan resmi yang dikutip InfoPublik (27/2/2024).

Kegiatannya mencakup advokasi dan in-house training menyediakan jejaring akses pemeriksaan laboratorium, yakni Tes Cepat Molekuler/TCM dan mikroskopis, dan logistik seperti obat melalui OAT (Obat Anti Tuberkulosis) program dan Bahan Habis Pakai (BHP), termasuk katrid, pot dahak dan lainnya, kepada fasyankes.

Kemudian, pemberian umpan balik, On the Job Training (OJT), dan monev secara berkala. Upaya kedua, pelibatan jaringan RS swasta besar dalam program TB. Pelibatan ini meliputi enam jaringan RS swasta terbesar di Indonesia.

Yaitu MPKU PP Muhammadiyah, Hermina, Siloam, Pertamina Bina Medika IHC, Primaya, dan Mitra Keluarga, dengan total 256 RS. Imran mengatakan tentunya, jaringan RS swasta ini memiliki indikator capaian mencakup target peningkatan penemuan kasus TBC.

Kemudian akses diagnosis sesuai standar dengan TCM, akses obat/OAT program untuk pasien TBC, keberhasilan pengobatan, dan peningkatan kapasitas bagi tenaga kesehatan dalam layanan TBC.

Lalu, aktif dalam kegiatan intensifikasi skrining TB di RS, pengiriman umpan balik per triwulan, serta kegiatan monitoring dan evaluasi per semester untuk memantau capaian. Supervisi, OJT, dan bimbingan teknis juga dilakukan kepada jaringan RS swasta.

Ketiga, pelibatan jaringan RS dan klinik milik TNI dan POLRI dalam program TBC. Jaringan ini meliputi 122 RS TNI dan 57 RS POLRI, serta 619 klinik TNI dan 598 klinik POLRI.

“Pengiriman umpan balik per triwulan dan kegiatan monev untuk memantau kontribusi capaian fasyankes TNI dan POLRI. Supervisi, OJT, bimbingan teknis kepada RS dan klinik turut dilakukan di bawah TNI dan POLRI,” kata Imran.

Pendekatan keempat, yakni inovasi pembiayaan program TBC di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Inovasi berupa pemberian insentif non-kapitasi pada layanan TBC bagi FKTP yang terlibat meliputi fase diagnosis, pengobatan tahap awal, dan pengobatan tahap lanjutan.

Inovasi ini diawali dengan uji coba di enam kota dengan estimasi beban kasus TBC yang besar, yaitu Kota Medan, Kota Jakarta Utara, Kota Bogor, Kota Semarang, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Periode uji coba dilakukan mulai Juli 2023 sampai Juni 2024 nanti.

Kelima, pendekatan dalam bentuk Coaching TBC. Imran mengatakan dalam hal ini, kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk tenaga kesehatan dalam program TBC di fasyankes.

“Ini bertujuan mewujudkan layanan TBC yang berkualitas dan terstandar di fasilitas layanan kesehatan. Tahun 2023 sudah dilakukan di 28 kabupaten/kota, tahun 2024 diekspansi di 80 kabupaten/kota,” kata Imran.

Keenam, pemberian Satuan Kredit Profesi (SKP) kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam layanan TBC di fasyankes. Ini bekerja sama dengan organisasi profesi dokter, perawat, tenaga farmasi, dan tenaga laboratorium.

Pendekatan ketujuh yang juga penting adalah koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan lintas program Kemenkes dan lintas lembaga untuk meningkatkan kualitas pelayanan TBC di fasyankes.

Koordinasinya antara lain Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan Kemenkes terkait memasukkan komponen TB dalam proses penilaian akreditasi fasyankes. Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan skrining TB bagi faktor risiko tinggi yang ditemukan di FKTP.

Asosiasi fasyankes, contohnya dengan Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) untuk memantau dan memberikan umpan balik terkait kontribusi RS dan klinik swasta dalam program TBC (penemuan kasus dan tata laksana).

Organisasi profesi yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) dalam berbagai kegiatan dan penyusunan pedoman/regulasi di tingkat nasional dan daerah.

Inisiasi diskusi dengan penyedia layanan telemedicine seperti Halodoc dalam upaya penemuan dan pengobatan pasien TBC sesuai standar.

Pengobatan TB Regimen Baru

Dalam hal terapeutik atau tata laksana TB, Indonesia juga terus memanfaatkan hasil penelitian terkait pengobatan TB regimen baru yang berdurasi lebih pendek (shorter regiments).

“Perlu diketahui bahwa lama pengobatan yang menyebabkan rasa bosan, efek samping obat, merupakan beberapa penyebab ketidakpatuhan pasien dalam menyelesaikan pengobatan hingga tuntas,” kata Imran.

Sejak pertengahan 2023, Indonesia telah memulai secara programatik bertahap pengobatan TB Resisten Obat (RO) dengan regimen terbaru, yakni BPaL/BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid, moksifloksasin) yang berdurasi 6 bulan pengobatan.

Imran mengatakan regimen pengobatan yang terdahulu–dan masih tetap direkomendasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)–berdurasi antara 9-24 bulan tergantung tingkat kekebalan kuman.

“Diharapkan regimen pengobatan dengan durasi yang lebih singkat ini dapat menambah motivasi pasien untuk menuntaskan pengobatannya," kata Imran.

Indonesia pun mendukung penelitian operasional mengenai potensi regimen pengobatan yang lebih singkat untuk Tuberkulosis Sensitif Obat (TBC SO).

Jika TB RO memerlukan pendekatan pengobatan yang lebih kompleks karena bakteri penyebab TB, Mycobacterium tuberculosis, resisten terhadap obat-obatan tertentu maka TB SO dapat diobati dengan regimen standar. Namun, durasi pengobatan TB SO saat ini masih sekitar 6-9 bulan.

Kolaborasi Kemenkes, WHO, dan USAID

Kemenkes juga sudah menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan WHO, USAID dan berbagai organisasi profesi serta organisasi komunitas untuk penanganan TBC.

“Kolaborasi ini untuk pengembangan petunjuk teknis penanganan Infeksi Laten TBC (ILTB) dan Terapi Pencegahan TBC (TPT). Edukasi dan sosialisasi terkait TPT, baik melalui workshop secara luring maupun daring terhadap tenaga kesehatan,” kata Imran.

Pengembangan Strategi Komunikasi TPT, modul E-Learning TPT yang sudah dapat diakses melalui platform Plataran Sehat Kemenkes dan mengintegrasikan kegiatan pemberian TPT dengan kegiatan penemuan kasus secara aktif.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Pasha Yudha Ernowo
  • Jumat, 26 Juli 2024 | 19:58 WIB
Tim PK-JKN Temukan Beragam Modus Fraud dalam Program JKN
  • Oleh Putri
  • Jumat, 26 Juli 2024 | 19:51 WIB
Hilirisasi Produk Kakao Jadi Sumber Ekonomi Baru