- Oleh Mukhammad Maulana Fajri
- Rabu, 20 November 2024 | 06:49 WIB
: Suasana di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten, Minggu (8/9/2024). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menghentikan operasional 13 unit PLTU di Indonesia termasuk di antaranya PLTU Suralaya, PLTU Paiton, dan PLTU Ombilin karena tingginya emisi yang dihasilkan. ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/gp/nym.
Jakarta, InfoPublik – Penggunaan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kembali mencuat sebagai solusi potensial untuk memangkas emisi karbon. Salah satu teknologi yang dianggap cocok untuk menerapkan CCS adalah teknologi Ultra Super-Critical Selective Catalytic Reduction (USC-SCR) pada PLTU.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, tidak semua PLTU layak menggunakan teknologi tersebut. "Dari 13 PLTU yang direncanakan pensiun dini, jika dilihat dari umur, kinerja, dan efisiensi, penggunaan CCS tidak akan efektif. Biaya investasi yang tinggi dan hasil penangkapan karbon yang rendah dapat meningkatkan biaya produksi listrik," jelas Fabby.
Fabby menambahkan bahwa penerapan CCS akan lebih efektif pada PLTU yang telah menggunakan teknologi USC-SCR, seperti PLTU Suralaya 9 dan 10. Teknologi USC-SCR ini berfungsi untuk menurunkan emisi nitrogen oksida dengan mengonversi molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas.
Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan nilai keekonomian dari investasi CCS, agar tidak menambah beban biaya produksi listrik (BPP). "CCS tidak boleh menjadi beban bagi PLTU yang sudah tua dan kurang efisien," imbuh Fabby.
Teknologi Clean Coal dan Tantangan Biaya
Peneliti Indef, Abra Talattov, menyoroti bahwa meskipun BPP listrik dari PLTU relatif murah, tantangan untuk menekan emisi tetap ada. Salah satu solusi adalah penerapan teknologi supercritical atau co-firing pada PLTU. Namun, Abra memperingatkan bahwa biaya investasi harus diperhitungkan agar tidak berdampak besar pada BPP.
"Pemerintah perlu konsisten dengan perencanaan yang ada, termasuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), agar PLTU tetap bisa memberikan pasokan listrik yang andal dan terjangkau," lanjutnya.
Perubahan Arah Kebijakan Pensiun Dini PLTU
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengisyaratkan adanya perubahan kebijakan terkait pensiun dini PLTU. Pemerintah akan mengembangkan fasilitas CCS untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. "PLTU tidak masalah, kami akan mengembangkan carbon capture storage," kata Airlangga.
Teknologi CCS memungkinkan emisi gas rumah kaca ditangkap dan disimpan di bawah tanah secara permanen. Potensi penyimpanan emisi karbon di Indonesia diperkirakan mencapai 400 hingga 600 gigaton, yang cukup untuk menyimpan seluruh emisi domestik selama 322 hingga 482 tahun.
Namun, rencana pensiun dini PLTU menghadapi kendala besar terkait pembiayaan. Berdasarkan kajian IESR, biaya yang dibutuhkan untuk pensiun dini PLTU mencapai USD 4,6 miliar hingga 2030 dan USD 27,5 miliar hingga 2050.
Komitmen Menuju Net-Zero Emission
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah akan terus mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap menuju Net-Zero Emission (NZE). Beberapa langkah konkrit yang dilakukan antara lain penerapan teknologi Clean Coal pada PLTU yang masih beroperasi.
"Pemerintah akan terus mendukung kebijakan, investasi, dan teknologi PLTU ramah lingkungan, termasuk dengan penggunaan teknologi Ultra Super-Critical (USC) pada PLTU," tutup Bahlil.