Ini Strategi Indonesia Mewujudkan Ekonomi Rendah Karbon

:


Oleh DT Waluyo, Senin, 24 Oktober 2022 | 11:18 WIB - Redaktur: Untung S - 6K


Jakarta, InfoPublik – Ekonomi rendah karbon, menjadi bahasan menantang para ekonom dalam beberapa tahun terakhir. Apa itu ekonomi rendah karbon?, Ekonomi rendah karbon adalah ekonomi yang tidak banyak menggunakan sumber energi yang mengeluarkan karbon dioksida, sehingga ekonomi tersebut juga tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca ke biosfer.

Dalam terminologi lain, ekonomi rendah karbon, tidak lain adalah ekonomi hijau. Untuk mencapai hal itu, Pemerintah menerapkan strategi pembangunan rendah karbon dan  pembangunan berkelanjutan sebagai tulang punggung untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan mencapai nol emisi pada 2060.

Transformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau itu juga menjadi salah satu strategi agar Indonesia dapat keluar dari “middle income trap”. Ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.

Ekonomi rendah karbon itu pula yang dibahas Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dalam acara The 29th Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Finance Ministers’ Meeting yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand pada Kamis (20/10/2022).

Menurutnya, transisi menuju ekonomi yang rendah karbon sangat menantang dan sangat mahal, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia.

“Dibutuhkan komitmen yang kuat, investasi besar-besaran, dan strategi yang komprehensif untuk memastikan transisi tersebut tidak mengganggu perekonomian. Oleh karena itu, manajemen transisi yang terukur dan terencana dengan prinsip transisi yang adil dan terjangkau menjadi sangat penting,” ujar Wamenkeu

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membangun fondasi penerapan ekonomi hijau sudah jauh hari dilakukan. Untuk itu beberapa kebijakan strategis dibuat. Komitmen Pemerintah juga disokong dengan alokasi anggaran melalui skema APBN dan Non-APBN dalam pembiayaan program ekonomi hijau.

Bahkan, ketika pandemi melanda tanah air, program ekonomi hijau inklusif terus dilakukan sejalan dengan Pemulihan Ekonomi Nasional untuk membangun perekonomian Indonesia yang kuat, tumbuh dan berkelanjutan. “Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon,” jelas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan keynote speech pada acara Global Network Week yang diadakan oleh Universitas Indonesia dengan topik Indonesia’s Policies and Strategies to Embrace an Inclusive and Green Recovery, 14 Maret 2022.

Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN, dimana 88,1 persen di antaranya dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau sebagai modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.

Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sekitar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional.

Tantangan Indonesia dalam mewujudkan Net Zero Emission melalui pembangunan rendah karbon adalah sangat besarnya investasi yang dibutuhkan. Karena untuk melakukan transisi energi, dibutuhkan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan, serta persiapan migrasi ke green jobs. Adapun peluang yang bisa diperoleh Indonesia yaitu penciptaan lapangan kerja hijau, dekarbonisasi sektor transportasi, dan pengaturan perdagangan karbon. Meski demikian, realisasi penurunan emisi karbon Indonesia selama 3 tahun terakhir 2019 hingga 2021, selalu mencapai target.

Pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan 3.799 Triliun rupiah jika mengikuti NDC atau komitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada 2020 adalah 100 juta USD untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021. Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon.

Sebagai informasi, harga jual karbon dunia saat ini berkisar 5-10 USD/ton CO2. Hasil Kesepakatan COP-26 semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi. Hutan dan lautan Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara. Pertemuan G-20 dapat digunakan untuk melakukan kerjasama ini dengan negara-negara maju. Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove dan gambut.

Terdapat lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Berbagai kebijakan pun telah disiapkan untuk menanggulangi emisi karbon di berbagai sektor tersebut.

Kebijakan di bidang pertanahan, antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Kebijakan di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular. Kebijakan di sektor fiskal mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada 2030. Kebijakan yang diterapkan di bidang energi dan transportasi, misalnya dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95 persen dari total kendaraan dan menggunakan Energi Baru dan Terbarukan mendekati 100 persen pada 2060.

Dalam kaitannya dengan Energi Baru dan Terbarukan, Indonesia telah menerapkan program mandatori biodiesel B30. Dampak dari kebijakan mandatori biodiesel antara lain pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton CO2e (carbon dioxyde equivalent). Program tersebut telah berhasil meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani kecil.

Perubahan Iklim

Dalam KTT Perubahan Iklim COP 26 di Glasgow pada 2021 lalu, Indonesia telah pula meluncurkan kemitraan dengan Asian Development Bank (ADB) untuk mengembangkan Energy Transition Mechanism (ETM) di Asia Tenggara. “Mekanisme ini bertujuan untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara dan untuk mempromosikan pengembangan energi terbarukan,” kata Wamenkeu.

Sejak tahun lalu, Indonesia telah mengembangkan desain untuk implementasi ETM yang efektif dengan partisipasi pemangku kepentingan domestik yang lebih luas.

“Kami memiliki Task Force khusus dan kami telah menyepakati daftar terpadu pembangkit listrik tenaga batu bara yang cocok untuk pensiun dini. Kami juga telah sepakat untuk menetapkan serangkaian tujuan dan tonggak penting yang harus dicapai oleh para pemangku kepentingan terkait menuju G20 Leaders’ Summit dan juga COP 27 bulan depan,” ujar Wamenkeu.

Selain itu, Wamenkeu mengungkapkan bahwa Indonesia juga telah menetapkan ETM Country Platform, yang merupakan kerangka kerja untuk memobilisasi sumber pendanaan komersial maupun non-komersial untuk mendukung pelaksanaan transisi energi yang adil dan terjangkau.

“ETM Country Platform sekarang bekerja dengan pemangku kepentingan terkait dalam daftar terpadu pembangkit listrik tenaga batu bara untuk pensiun dini. ETM Country Platform pertama kali diperkenalkan Juli lalu di sela-sela Pertemuan G20 Juli tahun ini,” kata Wamenkeu.

Platform tersebut diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur energi Indonesia melalui partisipasi dari berbagai investor, termasuk Multilateral Development Bank (MDB), ekonomi mitra bilateral, sektor swasta dan filantropis sehingga dapat mempercepat pencapaian target Net Zero Emission.

Wamenkeu percaya bahwa diskusi dan koordinasi kebijakan yang berkelanjutan di antara para pembuat kebijakan, organisasi internasional, sektor swasta, dan pemangku kepentingan terkait lainnya sangat penting untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon dan meningkatkan pembiayaan untuk mendukung transisi tersebut.

“Saya berharap Workstream of Just Energy Transition Finance dapat memberikan hasil nyata yang bermanfaat bagi semua ekonomi anggota APEC, terutama negara berkembang yang saat ini sedang mengalami transisi,” ujar Wamenkeu. (*)

Ilustrasi,  Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melakukan penanaman mangrove di kawasan wisata Raja Kecik, Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (28/9/2021). ANTARA FOTO