Memahami La Nina

:


Oleh DT Waluyo, Senin, 17 Oktober 2022 | 14:10 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 5K


Jakarta, InfoPublik – Bukan hanya sekali, namun berulangkali peringatan itu disampaikan. Intinya, meminta masyarakat waspada terkait dengan ancaman dahsyat perubahan iklim. Antara lain ditandai dengan adanya  fenomena La Nina yang menyebab cuaca tidak menentu di sejumlah wilayah di belahan bumi ini, termasuk Indonesia.

Fenomena La Nina, demikian penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kali ini terjadi 'triple-dip' 2020-2023 (tiga tahun beruntun). Fenomena langka, yang sebelumnya pernah terjadi dari 1973 -1975 serta 1998-2001.

"Fenomena ini akan berpengaruh terhadap pola cuaca - iklim di Indonesia. Salah satunya menyebabkan sebagian wilayah Indonesia mengalami musim hujan lebih awal," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati seperti dalam keterangan tertulis yang diterima infopublik, Sabtu (15/10/2022).

La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur di bawah kondisi normalnya. Di sisi lain, pendinginan SML di Samudra Pasifik tersebut diikuti oleh menghangatnya SML di perairan Indonesia sehingga menggiatkan pertumbuhan awan awan hujan dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Dalam acara Mini Symposium 17th Annual Indonesia – U.S. BMKG – NOAA Partnership Workshop secara virtual, Jumat (14/10/2022), triple-dip La Nina jadi bahasan hangat di acara yang dihadiri sejumlah pembicara diantaranya Sidney Thurston, Andri Ramdhani, Mike McPhadden, Amsari Setiawan, dan Chidong Zhang.

Disimpulkan bahwa triple Dip La Nina adalah fenomena unik. Masyarakat dan pemerintah pusat hingga daerah perlu mewaspadai terjadinya bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, bandang, angin kencang, cuaca ekstrem, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Pola cuaca La Nina adalah salah satu dari tiga fase El Niño Southern Oscillation (ENSO). Ini mengacu pada suhu permukaan laut dan arah angin di Pasifik dan dapat beralih antara fase hangat yang disebut El Niño, fase yang lebih dingin dengan sebutan La Niña, dan fase netral.

Fenomena La Niña membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat di Indonesia, meski sebenarnya dampak La Nina tidak pernah sama karena dipengaruhi faktor lainnya.

"Yang juga perlu diwaspadai adalah penyakit yang biasa muncul di musim hujan, mulai dari diare, demam berdarah, Leptospirosis, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), penyakit kulit, dan lain sebagainya. Semua harus bersiap," kata Dwikora.

Antisipasi Perubahan Iklim

Mengantisipasi dahsyatnya arus perubahan iklim, BMKG berkolaborasi dengan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Kerja sama yang dikoordinasikan Kapus Diklat BMKG Dr. Nelly Florida Riama, guna memperkuat sistem peringatan dini di Indonesia

Kolaborasi yang dilakukan berupa observasi dan analisis guna peningkatan akurasi informasi cuaca dan iklim di Indonesia. Selain itu juga digelar workshop, seminar, simposium, dan berbagai pelatihan lain guna pengembangan sumber daya manusia (SDM) BMKG.

Dalam catatan BMKG, kerja sama dengan NOAA telah berlangsung cukup lama, dan telah diwujudkan dalam berbagai macam program bersama. Salah satunya yang merupakan program rutin tahunan yakni dengan melakukan pelayaran ke Samudra Hindia untuk melakukan perawatan Buoy serta melakukan pengukuran variabel laut hingga kedalaman 5000 meter. Hasil dari pengukuran ini kemudian dianalisis bersama dan disajikan dalam tulisan ilmiah yang dipresentasikan dalam seminar internasional.

"BMKG dan NOAA juga melaksanakan kegiatan Indonesia Prima (Indonesia Program Initiative on Maritime Observation and Analysis) yakni ekspedisi yang bertujuan untuk meningkatkan kerapatan observasi cuaca dan prediksi cuaca kelautan di Samudra Hindia," terang Dwikora.

Kerja sama strategis ini, lanjut Dwikorita, adalah bagian dari upaya BMKG untuk berdiri sejajar dengan pusat iklim global lainnya. Apalagi, letak Indonesia yang sangat strategis sehingga dapat memainkan peran penting dalam pemantauan cuaca dan iklim global.(*)