Indonesia Masih Tangguh

:


Oleh DT Waluyo, Senin, 10 Oktober 2022 | 11:39 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 5K


Jakarta, InfoPublik - Presiden Joko Widodo yang berulang kali mengingatkan tentang kondisi ekonomi global di tahun 2023 yang disebutnya gelap. Sementara Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebut  tahun 2023 ekonomi dunia akan mengalami resesi.

"Resesi ini dipicu oleh banyak bank sentral negara di dunia yang secara bersamaan menaikkan suku bunga acuan secara ekstrim. Hal ini kemudian memicu inflasi, yang kemudian membuat dunia pasti mengalami resesi di 2023," ungkap Sri di Jakarta, dikutip Selasa (27/9/2022).

Kesimpulan Menkeu yang mantan Direktur Bank Dunia itu merujuk keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed. Salam upaya mengendalikan inflasi di negaranya, The Fed diprediksi akan terus menaikkan suku bunga acuan alias Fed rate.

"Suku bunga Inggris di 2,25%, naik 200 bps selama tahun 2022. AS sudah mencapai 3,25%, mereka menaikkan lagi 75 bps. Ini merespon bahwa inflasi 8,3% masih belum acceptable," tandasnya.

Kenaikan suku bunga juga terjadi di beberapa negara, contohnya Brazil yang menaikkan suku bunga hingga 13,7%, naik 450 bps selama 2022, dan suku bunga Indonesia sendiri saat ini berada di level 4,25%.

"Pengetatan suku bunga yang dilakukan negara maju ini ditujukan untuk meredakan inflasi di negara mereka, dan kondisi ini diikuti oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang terkoreksi ke bawah," ucapnya.

Performa perekonomian global, sebut dia, sudah nampak melemah terlihat dari indikator Purchasing Managers' Index (PMI) atau indeks manufaktur global yang menurun dari semula 51,1 menjadi 50,3 di Agustus 2022.

"Namun bila dilihat pada negara G20 dan ASEAN-6, hanya sejumlah 24% negara yang aktivitas PMI nya mengalami akselerasi dan ekspansi atau meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Sejumlah negara tersebut termasuk Indonesia, Thailand, Filipina, Rusia, Vietnam, dan Arab Saudi," paparnya.

Tercatat  ada 32% yaitu negara-negara seperti Amerika, Jepang, India, Malaysia, Brazil Australia, Singapura, dan Afrika Selatan yang performa PMI-nya mengalami perlambatan, atau kondisinya turun levelnya dari bulan sebelumnya. Bahkan 40% negara-negara ini, yaitu Eropa, Jerman, Italia, Inggris, Korsel, Kanada, Meksiko, Spanyol, dan Turki, sekarang PMI sudah masuk kepada level kontraksi. Artinya mayoritas melambat dan kontraktif.

Pertumbuhan positif

Ekonomi dunia boleh saja gelap, namun prospek perekonomian Indonesia justra semakin moncer. Begitulah hasil penilaian sejumlah lembaga keuangan dunia, seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank,   Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)  dan International Monetary Fund (IMF).

ADB bahkan melakukan koreksi atas proyeksi ekonomi Indonesia dari kisaran 5 persen, menjadi 5,4 persen. Sementara WB alias Bank Dunia, mempertahankan ekspektasi pertumbuhan Indonesia di posisi 5 persen. Angka ini sama dengan proyeksi OECD. Sementara IMF memberikan proyeksi di angka yang lebih tinggi, yakni di 5,3 persen.

Seiring dengan penilaian positif lembaga keuangan internasional tersebut, Pemerintah pun optimis. Pemerintah memprediksi ekonomi akan mampu menembus target sebesar 5,2 persen pada 2022 ini.

Apa alasan ekonomi Indonesia bakal tumbuh positif? Faktor utama yang menjanjikan bagi perekonomian Indonesia adalah harga komoditas yang masih tinggi. Situasi ini mengatrol kinerja ekspor, sehingga berkontribusi lebih besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Demikian juga halnya dengan memuncaknya dampak dari penaikan harga BBM, transmisi pengetatan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI), serta terbatasnya ruang fiskal untuk menebalkan perlindungan sosial.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyodorkan dua komponen yang mampu menjaga momentum pemulihan ekonomi di tengah risiko lonjakan inflasi dan krisis global, yakni investasi dan ekspor. “Kalau kita lihat sumber pertumbuhan dari ekspor, dari investasi, kita masih melihat adanya momentum [pemulihan] kuartal III-2022,” katanya, Selasa (27/6/2022).

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kinerja ekspor selama Agustus 2022 yang cukup impresif. Pada periode itu, nilai ekspor tercatat sebesar USD27,91 miliar, melesat 30,15 persen secara year on year (yoy). Bahkan, pencapaian kinerja ekspor di periode Agustus 2022 tersebut menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Pada periode itu pula, Indonesia tetap mencatatkan surplus pada neraca perdagangan yang mencapai USD5,76 miliar hingga Agustus 2022.

Aementara itu S&P Global mencatat PMI Manufaktur Indonesia pada periode Agustus 2022 mencapai 51,7. Angka ini menguat dari angka 51,3 di bulan sebelumnya. Posisi nilai sebesar itu mengindikasikan sektor manufaktur Indonesia tetap dalam posisi ekspansif.

Dengan kondisi seperti itu, optimisme pemerintah akan perekonomian Indonesia pun beralasan. Bahkan, di proyeksi realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2022 tetap terjaga di level 5,6 persen—6 persen, seiring kinerja ekspor serta performa penanaman modal yang kian menanjak.

Meski sejumlah indicator ekonomi menjanjikan, namun beberapa hal patut diwaspadai. Di antaranya, kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama, pelemahan nilai tukar, serta perlambatan ekonomi global. Hal itu berpotensi mengancam soliditas pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022, bahkan pada tahun depan. (*)

Ilustrasi, aktivitas ekspor impor (Dok. https://lifepal.co.id/)