Solusi Aman di Perlintasan Kereta Api

:


Oleh DT Waluyo, Kamis, 15 September 2022 | 22:50 WIB - Redaktur: Untung S - 5K


Jakarta, InfoPublik - Pemandangan rutin itu terjadi di setiap perlintasan sebidang kereta api, antrian panjang kendaraan sesaat kereta hendak lewat. Sesekali, pengendara motor maupun mobil mencoba menerabas, mengabaikan palang lintas maupun aba-aba petugas, memaksa melintas. Aksi nekat yang tidak jarang berakhir dengan nyawa melayang, lantaran tertabrak kereta.

Menurut Direktur Utama Kereta Api Indonesia (KAI), Didiek Hartantyo, sepanjang Januari - Agustus 2022 tercatat sudah terjadi 188 kecelakaan di perlintasan sebidang. Sebelumnya, di 2020 silam terjadi 267 kecelakaan di perlintasan sebidang, angkanya tumbuh di 2021 di mana angka kecelakaan mencapai 271 kecelakaan.

Merujuk laporan PT KAI (Persero), jumlah perlintasan sebidang mencapai 4.292 titik di sepanjang jalur kereta api yang mencapai 6.000 km. Dari total ribuan perlintasan sebidang, yang dijaga hanya 1.499 titik, yang tidak dijaga mencapai 1.756 titik dan perlintasan liar mencapai 1.003 titik.

“Kejadian kecelakaan di perlintasan juga terjadi sebanyak 77 persen di perlintasan yang tidak dilengkapi pintu perlintasan,” ujar Zulmafendi, Plt Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI, seperti dilansir Antara Rabu (14/7/2022).

Kejadian kecelakaan juga tercatat paling tinggi terjadi, yakni hingga 85 persen di perlintasan yang tidak dijaga dan 63 persen terjadi di perlintasan yang tidak terdaftar, tidak berizin atau liar.

Merujuk data tersebut, pemerintah melakukan upaya peningkatan keselamatan di perlintasan sebidang dengan beberapa pendekatan antara lain menata perlintasan berdasarkan pengendalian risiko dengan menutup perlintasan sebidang termasuk sterilisasi jalur kereta api, kemudian membangun perlintasan tidak sebidang (fly over/underpass), membangun jalan alternatif juga integrasi dari sisi jalan maupun sisi kereta api.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Bina Marga pun memberikan dukungan penuh aksi sterilisasi perlintasan sebidang rel kereta di sepanjang jalan nasional melalui pembangunan flyover, underpass, jembatan penyeberangan orang (JPO) termasuk perbaikan jalan lingkungan di sekitarnya. Hingga saat ini perlintasan sebidang jalur kereta yang berada di jalan nasional sudah tertangani sebanyak 49 titik dari total 199 titik.

“Total perlintasan sebidang jalur kereta dengan jalan nasional yang belum tertangani sebanyak 150 titik. Apabila kita estimasikan biaya satu underpass atau flyover di jalan nasional sebesar Rp150 miliar kita perkirakan kebutuhan biayanya Rp22,50 triliun,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga, Kementerian PUPR Hedy Rahadian saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi V DPR RI bersama Kementerian Perhubungan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/9/2022).

Hedy mengatakan memang tantangan utama dalam penanganan perlintasan sebidang rel kereta dengan jalan melalui pembangunan flyover/underpass adalah membutuhkan biaya yang besar, termasuk pembebasan lahan. Apabila dihitung biaya pembangunan infrastruktur flyover/underpass secara nasional pada perlintasan sebidang kereta yang resmi tetapi tidak dijaga sebesar Rp300 triliun.

Hal itu mengacu pada data PT Kereta Api Indonesia (KAI) 2022, di mana angka kecelakaan di perlintasan sebidang jalur kereta api sebesar 89 persen terjadi di perlintasan tidak dijaga. Sementara berdasarkan data PT KAI pada semester 1 2022, jumlah perlintasan sebidang yang resmi tidak dijaga sebanyak 3.132 titik atau sebesar 60 persen dari total 5.051 perlintasan sebidang yang berada di Jawa dan Sumatera, baik di jalan nasional maupun non-nasional.

“Itu memang membutuhkan biaya yang sangat besar apabila memenuhi prinsip bahwa yang paling bagus tidak sebidang sesuai dengan amanat undang-undang. Misalkan kita kalikan 3.132 titik dengan biaya rata-rata pembuatan underpass/flyover bisa membutuhkan biaya sebesar Rp300 triliun,” kata Hedy.

Selain biaya besar, pembangunan flyover/underpass juga membutuhkan waktu cukup lama, sehingga juga berdampak pada munculnya titik kemacetan baru pada saat pembangunan.

Untuk itu, Hedy mengusulkan beberapa solusi dalam penanganan perlintasan sebidang kereta api di antaranya kebijakan dalam pembangunan jalan baru yang melewati perlintasan kereta harus tidak sebidang seperti yang sudah dilakukan Kementerian PUPR pada jalan nasional bypass atau jalan lingkar.

“Kedua kita harus mengubah jalan yang sebidang menjadi tidak sebidang, tetapi karena terdapat kendala biaya tadi bias dilakukan secara bertahap,” kata Hedy.

Selanjutnya bagaimana dapat memastikan lintasan – lintasan kereta api harus dijaga, termasuk dengan menerapkan teknologi early warning system (sistem peringatan dini) yang tidak membutuhkan petugas jaga. Kemudian juga pemasangan rambu-rambu pada perlintasan kereta tetapi harus diikuti dengan disiplin pengguna jalan (edukasi).

“Mungkin juga perlu dilakukan percepat penutupan perlintasan yang illegal dengan mengacu realita budget, karena memang banyak juga angkanya sekitar 606 titik. Terakhir cepatnya land use development yang tidak diikuti dengan kondisi perlintasan, dan ini banyak terjadi terutama di jalan-jalan non-nasional maupun nasional. Jadi ada perumahan, ada kebutuhan melintasi jalan kereta api, sehingga perlu koodinasi antar sektoral,” kata Hedy.

Lebih lanjut, Hedy mengatakan pembangunan flyover/underpass akan terus dilanjutkan pada Tahun Anggaran (TA) 2023 di antaranya pembangunan Flyover Gelumbang di Provinsi Sumatera Selatan sepanjang 700 meter, Flyover Aloha di Jawa Timur sepanjang 858 meter, Underpass Joglo di Jawa Tengah sepanjang 450 meter, dan Flyover Nurtanio sepanjang 937 meter di Jawa Barat untuk mendukung Kereta Cepat Jakarta-Bandung. (*)

Ilustrasi, fly over di perlintasan sebidang kereta api (Dok. Kementerian PUPR)