- Oleh Jhon Rico
- Selasa, 26 November 2024 | 09:40 WIB
: Foto: Kemenkes
Oleh Putri, Sabtu, 5 Oktober 2024 | 00:56 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 279
Jakarta, InfoPublik - Untuk menghindari risiko resistensi bakteri, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengingatkan agar penggunaan antibiotika selalu sesuai dengan rekomendasi dokter.
Selain itu, kata Syahril melalui keterangan resminya Jumat (4/10/2024) mengatakan kehati-hatian juga diperlukan dalam mengonsumsi obat lain.
Seperti obat yang tidak diresepkan atau direkomendasikan dokter, termasuk obat penurun panas, obat batuk pilek, dan lainnya. Kalau (demam) gejalanya ringan dapat diupayakan cara tradisional.
Contohnya dengan kompres, perbanyak minum air putih, makan yang cukup. Apabila gejala berlanjut, kata Syahril baru melihat apa yang direkomendasikan dokter.
"Sekali lagi, bukan hanya obat antibiotika, tapi seluruh obat, penggunaannya harus berhati-hati. Terlebih lagi, banyak yang ingin serba mudah, sakit kepala ingin minum obat, batuk pilek ingin minum obat,” kata Syahril.
Dengan demikian, pemahaman masyarakat tentang penggunaan obat antibiotika yang tepat menjadi kunci mengatasi resistensi obat pada bakteri sekaligus langkah penting mencegah dampak buruk bakteri kebal.
Kalau terjadi kejadian resisten, maka banyak sekali bakterinya itu tetap hidup dalam tubuh. Kemudian, menyebar lagi dan mungkin bisa menjadi lebih ganas.
"Misalnya, kejadian tuberkulosis (TB) yang resisten terhadap berbagai obat (Multidrug-resistant tuberculosis/MDR-TB) yang berarti bakteri tuberkulosis resisten terhadap obat-obatan TB,” kata Syahril.
Pengobatan TB harus diminum selama enam bulan dan ada aturannya. Terdapat empat macam obat yang diberikan pada dua bulan pertama. Antara lain rifampisin, INH, etambutol, dan pirazinamid.
Keempat obat tersebut yang diminum selama dua bulan berturut-turut setiap hari. Selanjutnya, pada empat bulan berikutnya, pengobatan TB dilanjutkan dengan pemberian dua macam obat.
“Kalau obatnya diminum hanya sebulan, apalagi diminum hanya dua minggu, maka bakteri TB akan resisten, kebal. Kalau resisten, maka pengobatannya susah,” kata Syahril.
Berdasarkan informasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), MDR-TB masih dapat diobati dan disembuhkan menggunakan obat lini kedua. Namun, pilihan pengobatan lini kedua membutuhkan berbagai macam obat yang mahal.
Dalam beberapa kasus, resistensi obat yang lebih luas dapat berkembang. TB, yang disebabkan oleh bakteri kebal obat TB lini kedua yang paling efektif, dapat menyebabkan pasien memiliki pilihan pengobatan yang sangat terbatas. MDR-TB ini masih menjadi krisis kesehatan masyarakat global.