- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Jumat, 10 Januari 2025 | 21:40 WIB
: Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini dalam Ngaji Konstitusi berjudul
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Jumat, 10 Januari 2025 | 21:22 WIB - Redaktur: Untung S - 124
Jakarta, InfoPublik – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menghapus ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Pemilu, melalui putusan perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Menanggapi putusan itu, Titi Anggraini, Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perludem, mengingatkan agar syarat bagi partai politik peserta pemilu tidak diperberat pasca penghapusan presidential threshold tersebut. Ia menyatakan bahwa persyaratan yang ada saat ini sudah cukup berat dan mahal, dan seharusnya tidak ada perubahan lebih lanjut yang mengarah pada peningkatan hambatan bagi partai-partai non-parlemen.
"Jangan sampai atau tidak perlu ada perubahan syarat partai politik menjadi peserta pemilu. Karena sekarang persyaratan yang ada itu sudah salah satu yang paling berat, paling mahal, paling rumit, paling susah di dunia," kata Titi Anggraini dalam acara Ngaji Konstitusi berjudul "Masa Depan Demokrasi Indonesia: Presidential Threshold Paska Putusan MK" yang diadakan di Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Titi Anggraini mengingatkan bahwa syarat partai politik untuk menjadi peserta pemilu yang diatur dalam Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah sangat sulit dan mahal. Beberapa persyaratan tersebut antara lain adalah memiliki kepengurusan di 75 persen dari jumlah kabupaten/kota di provinsi bersangkutan, serta kepengurusan di 50 persen kecamatan di kabupaten/kota.
Selain itu, partai politik juga diwajibkan menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai tingkat pusat dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik.
"Jangan ada upaya dari pembentuk undang-undang untuk menciptakan barrier to entry baru (hambatan untuk berkompetisi) bagi partai-partai non-parlemen," ujar Titi.
Titi juga menambahkan bahwa partai politik yang sudah berada di parlemen diuntungkan dengan putusan MK Nomor 55/PUU/XIX/2020 yang menghapuskan kewajiban verifikasi faktual bagi mereka agar dapat terdaftar sebagai peserta pemilu. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan bagi partai-partai yang sudah ada, sementara partai-partai non-parlemen justru akan semakin terhambat jika persyaratannya diperberat.
"Saya berharap pemerintah dan DPR tidak bermanuver untuk memperberat partai non-parlemen agar terdaftar sebagai partai politik peserta pemilu. Jangan sampai ada motif dari parlement untuk menghambat kompetitor dengan memperberat syarat menjadi partai politik peserta pemilu," tambahnya.
Dengan penghapusan ambang batas presiden (presidential threshold), diharapkan pemilu mendatang akan lebih inklusif dan memberi kesempatan lebih besar bagi partai-partai politik non-parlemen untuk berkompetisi.
Namun, Titi Anggraini mengingatkan pentingnya menjaga agar syarat partai politik peserta pemilu tidak semakin diperberat agar demokrasi Indonesia tetap terbuka bagi semua pihak yang ingin berpartisipasi dalam proses politik.
Diskusi yang digelar secara hybrid ini juga dihadiri oleh sejumlah pakar hukum dan tokoh penting dalam dunia kepemiluan, di antaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus Founder Jimly School of Law and Government (JSLG), Jimly Asshiddiqie, Founder Adikara Cipta Aksa, Geofani Milthree Saragih, Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Jamaludin Ghafur, dan Dewan Pakar JSLG, Taufiqurrohman.