- Oleh Pasha Yudha Ernowo
- Kamis, 2 Januari 2025 | 17:57 WIB
: Foto: Istimewa
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Senin, 6 Januari 2025 | 22:03 WIB - Redaktur: Untung S - 473
Yogyakarta, InfoPublik – Fenomena "no viral, no justice" atau "jika tidak viral, tidak ada keadilan" semakin marak di tengah masyarakat. Namun, para ahli mengingatkan pentingnya sikap bijak dalam menyikapi fenomena itu. Pasalnya, informasi yang viral di media sosial belum tentu kebenarannya, dan dapat memberikan tekanan yang tidak semestinya pada proses penegakan hukum.
Dosen Sekolah Tinggi Multi Media "MMTC" Yogyakarta, Diyah Ayu Karunianingsih, menjelaskan bahwa anggapan masyarakat yang menganggap fenomena "no viral, no justice" efektif untuk mendapatkan keadilan perlu dicermati. Ia mengakui bahwa media sosial memiliki sisi positif sebagai saluran komunikasi yang efektif dengan masyarakat.
Namun, ia menekankan bahwa konten viral di media sosial seringkali tidak lepas dari peran media massa. Isu yang viral di media sosial kemudian menjadi konsumsi media massa, seperti contoh kasus yang menimpa Gus Miftah yang berujung pada pengunduran dirinya dari jabatan.
“Konten viral di medsos tidak lepas dari peran media massa. Isu yang viral di medsos menjadi makanan media massa. Misalnya dalam kasus Gus Miftah yang sampai harus berhenti dari jabatan,” jelas Diyah Ayu Karunianingsih saat menjadi narasumber dalam Edukasi Publik dengan tema “Menyuarakan Peradilan Bersih Lewat Media Sosial”, di Yogyakarta, Senin (6/1/2025).
Senada dengan Diyah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, menambahkan bahwa fenomena "no viral, no justice" menjadi tantangan tersendiri bagi penegakan hukum. Tekanan dari masyarakat melalui media sosial dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan oleh penegak hukum.
“Menjadi hakim sudah berat, ditambah tekanan masyarakat melalui media sosial. Jadi hakim terpengaruh tweet atau video viral, bukan keterangan saksi lagi, akan menjadi berbahaya. Misalnya dalam kasus Agus (difabel) terakhir. Saat viral di awal, masyarakat meragukan Agus sebagai pelaku. Padahal seharusnya masyarakat memikirkan korbannya terlebih dahulu,” ujar Akbar.
Ia menekankan bahwa hakim seharusnya mengambil keputusan berdasarkan fakta dan bukti yang ada, bukan berdasarkan opini publik yang berkembang di media sosial.
Lebih lanjut, Akbar menyoroti pentingnya menjaga kerahasiaan identitas korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual, meskipun ada ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Hal ini penting untuk melindungi korban dari stigma dan trauma yang lebih lanjut.
Para ahli sepakat bahwa meskipun media sosial dapat menjadi sarana untuk menyuarakan keadilan, penting bagi masyarakat untuk memverifikasi informasi yang beredar dan tidak serta merta mempercayai semua yang viral. Sikap bijak dan kritis terhadap informasi di media sosial sangat diperlukan agar fenomena "no viral, no justice" tidak justru kontraproduktif dan merugikan proses penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.