- Oleh Dian Thenniarti
- Jumat, 22 November 2024 | 07:08 WIB
: Perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) seringkali masih mengalami diskriminasi, meskipun telah ada jaminan hukum yang melindungi perempuan, baik di dalam Konstitusi dan berbagai UU (Foto: Dok KY)
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Sabtu, 10 Agustus 2024 | 18:26 WIB - Redaktur: Untung S - 408
Jakarta, InfoPublik - Perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) di Indonesia seringkali masih menghadapi diskriminasi, meskipun telah ada jaminan hukum yang melindungi perempuan dalam Konstitusi dan berbagai undang-undang. Untuk mengatasi hal ini, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 sebagai pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara PBH.
Namun, hasil penelitian Komnas Perempuan pada 2021 mengenai implementasi Perma Nomor 3 Tahun 2017 menunjukkan bahwa belum semua hakim memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang cara mengadili PBH sesuai pedoman tersebut.
"Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum memuat kisi-kisi bagi hakim dalam mengadili perkara di mana perempuan menjadi korban, saksi, pelaku, atau pihak yang terlibat dalam perkara di pengadilan," tutur Sukma Violetta, Anggota Komisi Yudisial (KY) sekaligus Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim, Sabtu (10/8/2024).
Perma ini juga mewajibkan hakim untuk mengidentifikasi relasi kuasa yang mengakibatkan PBH sebagai korban tidak berdaya menghadapi pelaku, serta melarang hakim untuk menyalahkan korban (victim blaming) atau merendahkan PBH. Hakim juga diharapkan menegur saksi, advokat, atau jaksa yang menunjukkan sikap atau pernyataan yang bias gender.
Sukma menyatakan bahwa cara pandang masyarakat dan penegak hukum terhadap perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan seksual masih memprihatinkan. Korban kekerasan sering kali dianggap sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya tindak pidana tersebut, yang dikenal dengan istilah victim blaming.
"Cara berpakaian, bahasa tubuh, cara berelasi sosial, atau kehadiran perempuan pada waktu dan tempat tertentu seringkali dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak pidana terhadap perempuan. Hal ini terjadi mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan," terang Sukma.
Komisi Yudisial (KY) berkomitmen untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada hakim mengenai Perma Nomor 3 Tahun 2017 dan memperkuat konsep kesetaraan gender dalam proses peradilan di Indonesia. Harapannya, para hakim dapat menjamin akses terhadap keadilan yang adil dan setara bagi perempuan.
"Salah satu upaya KY untuk meningkatkan kapasitas hakim adalah dengan menggelar Pelatihan Tematik Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan kognitif, keterampilan, dan etika hakim, terutama dalam menyidangkan perkara di mana perempuan menjadi korban, saksi, pelaku, atau pihak yang berperkara," ungkap Sukma.
Pelatihan pertama telah digelar pada Rabu hingga Jumat, 7-9 Agustus 2024 di Semarang. Pelatihan ini diikuti oleh 30 hakim Peradilan Umum dan 30 hakim Peradilan Agama dari wilayah yurisdiksi Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Materi pelatihan mencakup pemahaman mendalam tentang Perma No. 3 Tahun 2017, konsep gender, ketidakadilan gender di Indonesia dalam proses peradilan, psikologi saksi korban dan pelaku dalam perkara PBH, etika komunikasi dalam persidangan perkara PBH, serta potensi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam penanganan perkara PBH.
Dengan pelatihan itu, KY berharap hakim di Indonesia semakin mampu menerapkan prinsip keadilan yang berlandaskan kesetaraan gender dan menghindari diskriminasi dalam setiap proses peradilan.