Tahun Depan Sektor Ekraf Diharapkan Dapat Didigitalisasikan

:


Oleh Tri Antoro, Jumat, 30 Desember 2016 | 09:10 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 585


Jakarta, InfoPublik - Tahun 2017 diharapkan sektor ekonomi kreatif (Ekraf), seperti musik, film, penjualan buku serta hak kekayaan intelektual lainnya, dapat didigitalisasikan. 

Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah mengatakan tahun 2017 semua urusan terkait dengan sektor Ekraf harus masuk dalam sistem digital, sebagai upaya dalam melakukan transparansi. “Dengan digitaliasi sistem ini akan berdampak pada transparansi. Ujungnya pada peningkatan pendapatan negara serta penguatan kepada pelaku kreatif,” ujar Anang di Jakarta, Kamis (29/12). 

Ia mencontohkan sistem digitalisasi pada sektor musik yang harus diketahui secara presisi oleh pelaku industri musik mulai dari pencipta lagu serta penyanyi kapan dan dimana lagunya diputar baik di rumah karaoke, restoran, pusat perbelanjaan dan lain-lain yang erat kaitannya dengan pembayaran royalti.

“Aturannya sudah ada di UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sayang sampai hari ini belum ada aturan operasional yang detil,” imbuh Anang.

Sedangkan untuk sektor film, kata Anang, saatnya Indonesia menerapkan sistem box office untuk mendapat pemetaan yang akurat tentang penyebaran film yang tengah diputar. Tidak sekadar itu, dengan sistem ini, distribusi film akan transparan dan akuntabel. “Efek positifnya, penerimaan negara melalui pajak dari sektor film akan akuntabel dan transparan. Dengan sisten ini juga akan menguntungkan bagi pelaku industri film mulai dari pemain film, sutradara, produser dan seluruh pihak yang terlibat,” katanya.

Ia meminta seluruh pemangku kepentingan, bertindak serius untuk membereskan agenda digitalisasi sistem terkait dengan hak cipta dan karya intelektual. Langkah tersebut mestinya bisa dilakukan asal ada kehendak politik yang kuat dari pemeirntah.

“Seperti persoalan pungli saja bisa dibereskan, masa perkara akuntabilitas dalam hak cipta tidak bisa dilakukan? Jika mungkin, Presiden bisa turun tangan juga untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena sektor ini terkait dengan daya saing kita dengan negara-negara lainnya. Ini soal marwah dan martabat Indonesia,” tuturnya.

Di sisi lain, persoalan pembajakan produk karya intekektual seperti musik dan film hingga saat ini masih mudah dijumpai di lapangan. Padahal, ia mengaku sejak lama telah menyuarakan pemberantasan pembajakan ini. "Tapi faktanya pembajakan secara demonstratif mudah ditemukan di pasaran. Pelaku pembajakan benar-benar melecehkan hukum dan aparat penegak hukum. Saya paham mengapa masih terjadi pembajakan, karena aktor intelektualnya belum ditindak sampai detik ini," ucap Anang. 

Anang mengutip data Asosiasi Industri Rekamam Indonesia (ASIRI) pada tahun 2014 mengungkapkan kerugian industri sebesar Rp 12,6 triliun serta kerugian negara melalui pajak sebesar Rp 1,2 triliun. Angka tersebut terdiri dari pembajakan fisik, pembajakan digital, penyalahgunaan konten di rumah karaoke serta hak-hak pertunjukan di televisi dan radio. "Saya meyakini, jika sistem pengawasannya real time melalui online penyelewengan disektor ini akan dapat ditekan," tutup Anang.