:
Oleh R.M. Goenawan, Jumat, 22 Januari 2016 | 15:02 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 313
Jakarta, InfoPublik - Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme) semakin kencang disuarakan oleh berbagai pihak pascaserangan bom dan tembakan membabi buta di Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1).
UU Antiterorisme yang ada saat ini --dibuat untuk merespons kasus Bom Bali 2002 yang menelan 202 nyawa-- dianggap mempunyai banyak kelemahan, termasuk tidak bisa mengikuti perkembangan terorisme belakangan ini. Salah satunya adalah gagal mengikuti fenomena lahirnya Islamic State (IS) alias Daulah Islamiah di Suriah yang bukan terkategori negara, tetapi punya wilayah.
Mantan Kapolri Jenderal (pur) Da’i Bachtiar yang menjabat kapolri saat bom Bali meledak, angkat bicara. Da’i juga sempat menjadi duta besar Indonesia di Malaysia pada 2008-20012, sehingga paham bagaimana negeri jiran itu menangani kasus terorisme, sejak era penerapan Internal Security Act (ISA).
Meskipun kontroversial, apalagi saat masih menerapkan ISA, hingga kini tidak ada aksi terorisme di negara tersebut. Negeri jiran itu--yang mempunyai sistim administrasi kependudukan yang jauh lebih rapi dibanding Indonesia--mampu mencegah sebelum aksi teror berlangsung.
Menurut Da'i sekarang ini dibutuhkan adalah adanya UU yang memberi wewenang kepada aparat untuk bisa melakukan penangkapan di saat-saat awal tatkala ada orang-orang yang dicurigai hendak melakukan aksi teror, kendati teror itu belum dilakukan. ”Jadi ada kekuatan dan kewenangan untuk melakukan itu. Di zaman saya dahulu, masa penangkapan hanya 1x24 jam dan kini kan sudah diperpanjang 7x24 jam dan memang itu bisa saja diperpanjang jika tidak cukup. Kita bicara ideologi sehingga harus ada cukup waktu untuk pencegahan (dengan menangkap) dan memberi kesempatan untuk mendengarkan mereka. Hal ini sangat teknis dan kami dahulu bekerja dengan keterbatasan,” ujar Da'i Bachtiar di Jakarta, Jumat (22/1).
Selain UU yang kuat, juga perlu diimbangi dengan kekuatan intelijen yang kuat, baik itu intelijen polisi, BIN, dan maupun lembaga lain yang memiliki kewenangan dalam urusan telik sandi itu. Intelijen yang paling baik adalah intelijen yang bisa nyebur di dalam lingkungan yang diawasinya dengan mata dan telinga. “Undervocer dan penyadapan juga harus ditingkatkan. Dahulu kami bisa menangkap Imam Samudra (pelaku Bom Bali 2002 ) dengan alat dan alat itu dahulu kita pinjam dari negara lain. Kegiatan intelijen itu juga harus didukung dengan dana yang besar. Kita tidak bisa menafikan itu. Biaya informasi itu tidak gratis.
Meski semua ini tidak ada artinya jika aparat kita memang tidak punya waktu interogasi yang cukup lama,” lanjutnya. Da’i Bachtiar berharap, selain memberikan UU yang lebih kuat dan aparat intelijen yang mumpuni, negara juga harus menyediakan dana yang cukup untuk kegiatan intelijen. Teknologi untuk kegiatan intelijen juga harus terus di-update dan di-upgrade untuk memperbaiki kemampuan intelijen. “Karena saya yakin terorisme itu lahir sebagai buah dari konflik global, di mana yang terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan itulah yang dilawan dengan kekerasan. Maka, kalau konflik global ini tidak selesai, maka kekerasan ini juga tidak selesai. Saya selalu berdoa supaya lahir pemimpin dunia yang tidak suka kekerasan,” katanya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyinggung soal perpanjangan masa penangkapan sebagai hal yang harus dimasukan dalam revisi UU Antiterorisme. Badrodin berharap masa penangkapan diperpanjang selama satu bulan. Salah satu pertimbangan mengapa masa penangkapan dan penahanan itu perlu diperpanjang, dalam kasus terorisme, sering kali yang terjadi adalah tempat dan lokasinya berjauhan. Kadang bahkan butuh konfirmasi dan menunggu keterangan yang dari luar negeri.
"Semua itu membutuhkan proses yang agak panjang. Untuk menentukan seseorang itu tersangka atau tidak, ditahan atau tidak, membutuhkan waktu agak panjang dari sisi kasus. Kan pembuktiannya juga sulit," ujarnya.
Soal lain yang dikatakan Kapolri Badrodin adalah soal barang bukti. Dia berharap informasi intelijen dan digital, selain barang bukti yang diakui KUHAP, kelak bisa dijadikan barang bukti di persidangan untuk menangkap pelaku teror. Selain itu, diperlukan payung hukum penggunaan video conference dalam persidangan, karena bagaimanapun mendatangkan saksi dari daerah lain memerlukan waktu yang cukup dan biaya mahal.
Sedangkan terkait fenomena IS, ada beberapa hal yang diminta polisi, yakni bisa menjerat orang-orang yang baru pulang dari Suriah, orang yang mendeklarasikan mendukung IS, dan membiayai IS. Mereka yang baru pulang dari Suriah itu juga bisa terancam kehilangan kewarganegaraannya. Khusus untuk perencanaan teror, hal yang diminta polisi adalah bisa menjerat siapa saja yang diduga melakukan pelatihan paramiliter yang kelak bisa digunakan untuk aksi teror. Misalnya belajar menembak dengan air soft gun atau merakit bom dengan petasan.
Dalam UU Antiterorisme di Malaysia, aparat dapat menahan seorang tersangka tanpa proses persidangan selama dua tahun. Masa penahanan ini kemudian bisa diperpanjang sampai beberapa kali. Adapun keputusan untuk menahan seseorang diambil oleh dewan terorisme, bukan melalui sistem hukum yang normal.