- Oleh Isma
- Senin, 7 Oktober 2024 | 18:25 WIB
: Foto: Humas KKP
Jakarta, InfoPublik - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan komitmennya dalam perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat hukum adat (MHA).
Sampai saat ini, sebanyak 23 komunitas dari 27 komunitas MHA yang tersebar di 6 provinsi, telah ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota sebagai bentuk fasilitasi pengakuan dan perlindungan MHA di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Victor Gustaaf Manoppo mengatakan, pengakuan terhadap keberadaan MHA di Indonesia menurut Victor tertuang dalam pasal 18B ayat 2 pada Amandemen UUD 1945 kedua yang menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-Undang. Belum lama ini juga digelar Forum Adat 2024 Jakarta.
Lebih jauh Victor menyebutkan penguatan terhadap MHA dapat diwujudkan melalui sinergitas dan harmonisasi kegiatan antar kementerian, lembaga dan seluruh pemangku kepentingan.
"Dukungan dan kerja sama lintas sektor, baik pusat dan daerah, akademisi, praktisi dan pelaku usaha juga menjadi faktor kunci dalam untuk penguatan MHA di Indonesia," ujar Victor dalam siaran resmi KKP di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
KKP sangat mendorong penyebarluasan pesan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat hukum adat kepada semua pihak. Sebagai informasi, MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki berbagai sebutan seperti Sasi, Mane’e, Ombo, Egek, Kera-kera dan sebagainya.
“KKP akan terus melanjutkan program perlindungan dan penguatan MHA, sehingga MHA di pesisir dan pulau-pulau kecil yang kuat, sejahtera, dan mandiri dapat tercapai,” tegas Victor.
Tak hanya itu, guna memperkuat dan meningkatkan pemberdayaan MHA, KKP juga telah menyalurkan 48 paket bantuan pemerintah untuk 22 komunitas MHA, 8 di antaranya telah menerima program peningkatan kapasitas di bidang perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan dan wisata bahari.
Di kesempatan yang sama, Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman mengatakan YKAN bekerja sama dengan masyarakat adat sejak tahun 2020. Sebagai mitra pembangunan, YKAN menegaskan akan terus memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat adat agar pengelolaan sumber daya alam tetap lestari.
“Masyarakat adat adalah garda depan pelestarian sumber daya alam karena mereka memiliki kedekatan spiritual dan budaya pada alam tempat tinggalnya. Hampir seluruh keanekaragaman hayati kita yang masih tersisa berada di tempat-tempat yang dijaga langsung oleh masyarakat adat,” terang Ilman.
Sementara itu, Direktur Yayasan Pesisir Lestari (YPL) Dina D. Kosasih menerangkan bahwa masyarakat pesisir dengan pengetahuan dan pengalaman turun-temurun yang dimiliki dalam mengelola ekosistem dan sumber daya alam adalah garda terdepan yang paling tepat dan efektif dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir Indonesia. Inisiatif yang dipimpin oleh masyarakat terbukti menumbuhkan rasa kepemilikan dan pemberdayaan yang memungkinkan masyarakat untuk memiliki kendali atas sumber daya mereka.
Dalam Forum Adat 2024, mitra kerjasama dalam penguatan MHA membagikan dokumentasi dari inisiatif-inisiatif pengelolaan laut kolaboratif yang dilakukan oleh MHA, masyarakat lokal dan pemerintah desa.
"Kami yakin kolaborasi multi pihak, yang melibatkan pemerintah, masyarakat pesisir, akademisi, lembaga swadaya masyarakat serta sektor swasta adalah kunci utama keberhasilan dalam upaya pengelolaan dan menjaga kelestarian ekosistem pesisir,” pungkas Dina.
Sebagai informasi, tahun 2024 PBB mengusung tema “Protecting the Rights of Indigenous Peoples in Voluntary Isolation and Initial Contact, yang menekankan pentingnya perlindungan dan pengakuan hak masyarakat hukum adat (MHA) dalam menjalankan pola kehidupan yang telah diwariskan sejak turun temurun, serta melakukan praktik kearifan lokal di wilayahnya.
Sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang semakin mempertegas kedaulatan MHA terhadap wilayah kelola adatnya yaitu Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dapat diberikan di wilayah MHA setelah mendapat persetujuan MHA.