Revisi UU Pemilu 2025: Tameng Baru Melawan Politik Uang yang Menggerus Demokrasi

: Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan penghitungan suara di depan saksi pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Magetan di TPS 004 Desa Kinandang, Bendo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Sabtu (22/3/2025). KPU Magetan menggelar PSU di 4 TPS sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, dan hasil penghitungan di TPS 004 tersebut pasangan calon Bupati-Wakil Bupati nomor urut 1 Nanik Endang Rusminiarti-Suyatni Priasmoro memperoleh 276 suara, pasangan calon nomor urut 2 Hergunadi-Basuki Babussalam tiga suara, pasangan calon nomor urut 3 Sujatno-Ida Yuhana Ulfa 170 suara, dan lima surat suara tidak sah. ANTARA FOTO/Siswowidodo/Spt.


Oleh Eko Budiono, Sabtu, 17 Mei 2025 | 18:40 WIB - Redaktur: Untung S - 578


Jakarta, InfoPublik – Praktik politik uang atau money politics telah lama menjadi penyakit kronis dalam sistem demokrasi Indonesia. Usai Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada 2024 lalu, di 2025 ini wacana Revisi UU Pemilu mengemuka sebagai upaya sistematis untuk memutus mata rantai praktik yang merusak integritas pemilu.

Akademisi, penyelenggara pemilu, dan politisi sepakat bahwa tanpa perubahan regulasi yang tegas, money politics akan terus menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, menyoroti bagaimana politik uang telah menjadi "kebiasaan" yang dinormalisasi masyarakat. "Masyarakat kini tak hanya menerima uang, tapi juga membandingkan ‘harga’ dari para calon," ujarnya dilansir laman resmi UGM, Rabu (26/2/2025).

Fenomena itu, menurutnya, adalah buah dari sistem yang membiarkan praktik transaksional tumbuh subur. Meski edukasi penting, Gaffar menekankan bahwa Revisi UU Pemilu 2025 harus menjadi fondasi utama untuk mengubah paradigma ini.

Pendapat berbeda disampaikan Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum UGM. Ia menegaskan bahwa akar masalah money politics terletak pada pelaku politik, bukan masyarakat.

"Tanpa supplier, tak akan ada buyer. Perketat aturan bagi politisi, bukan salahkan rakyat yang terdesak ekonomi," tegasnya.

Zainal mendorong revisi UU untuk memasukkan sanksi lebih berat, termasuk pidana dan denda progresif, bagi kandidat yang terbukti membeli suara.

Bawaslu dan Tantangan Pengawasan

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat 130 laporan dugaan politik uang selama Pilkada 2024, tersebar di Sumatra Utara, Jawa Timur, hingga Sulawesi Selatan.

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar bagi pelaku berdasarkan Pasal 187A UU Pemilu. Namun, penegakan hukum kerap terbentur bukti dan mekanisme pelaporan yang rumit.

"Revisi UU Pemilu harus memperkuat kewenangan Bawaslu, termasuk akses cepat terhadap bukti digital dan perlindungan bagi whistleblower," kata Puadi, Anggota Bawaslu, pada Rabu (27/11/2024) silam.

Ia juga mengusulkan sistem pengawasan berbasis teknologi, seperti blockchain, untuk melacak aliran dana kampanye.

Politik Mahal dan Revisi UU Pemilu

Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, mengakui bahwa biaya politik yang tinggi turut memicu money politics. "Dari tim sukses hingga operasional, modal jadi caleg atau kepala daerah bisa mencapai miliaran," ujarnya.

Tanpa regulasi yang membatasi donasi dan transparansi anggaran, praktik money politics akan sulit dibendung.

Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menambahkan, revisi UU harus mempertimbangkan aspek teknis seperti jeda waktu pemilu-pilkada dan pemanfaatan teknologi.

"Digitalisasi pemilu bisa jadi solusi, tapi perlu payung hukum kuat agar KPU tidak terombang-ambing," jelasnya dalam keterangan resmi, Selasa (13/5/2025).

Prolegnas 2025: Momentum Perubahan

DPR telah memasukkan RUU Perubahan UU Pemilu dan Pilkada dalam Prolegnas Prioritas 2025. Revisi itu diharapkan tidak hanya mempertegas sanksi, tetapi juga mengatur pendanaan kampanye, pengawasan partai, dan mekanisme pelaporan yang lebih sederhana.

Money politics bukan sekadar pelanggaran, tapi krisis demokrasi. Jika Revisi UU Pemilu 2025 mampu menutup celah korupsi elektoral, Indonesia bisa mencontoh negara seperti Swedia atau Estonia yang berhasil meminimalkan politik uang melalui transparansi dan partisipasi publik. Tantangannya kini ada pada political will elite dan kesiapan masyarakat untuk meninggalkan budaya transaksional.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh MC PROV RIAU
  • Rabu, 4 Juni 2025 | 12:51 WIB
IDI Riau 2024 Meningkat, Kapasitas Lembaga Demokrasi Jadi Catatan
  • Oleh Eko Budiono
  • Rabu, 21 Mei 2025 | 18:04 WIB
Komisi V DPR RI Siap Bahas RUU Transportasi Online
  • Oleh Eko Budiono
  • Kamis, 15 Mei 2025 | 15:08 WIB
KPU Siapkan Kebijakan Teknis PSU Pilkada Barito Utara
  • Oleh Eko Budiono
  • Selasa, 6 Mei 2025 | 08:51 WIB
PSU Pilkada 2024, Bawaslu Terima Ratusan Dugaan Pelanggaran
  • Oleh Eko Budiono
  • Sabtu, 3 Mei 2025 | 08:38 WIB
Bahas RUU Perampasan Aset, Pemerintah Tunggu DPR
  • Oleh MC KOTA TIDORE
  • Jumat, 2 Mei 2025 | 22:19 WIB
Bawaslu Sula Raih Dua Penghargaan Penanganan Pelanggaran Pilkada 2024
  • Oleh MC PROV GORONTALO
  • Kamis, 1 Mei 2025 | 14:45 WIB
RDP dengan DPR RI, Wagub Gorontalo Sampaikan Isu Strategis
  • Oleh Eko Budiono
  • Rabu, 30 April 2025 | 06:55 WIB
KPU Usulkan Ada Jeda Antartahapan Pemilu dan Pilkada