Optimalisasi Pajak, Arah Utama Kebijakan Fiskal

:


Oleh DT Waluyo, Selasa, 26 Juli 2022 | 07:12 WIB - Redaktur: Untung S - 2K


Jakarta, InfoPublik - Langkah reformasi di bidang perpajakan, terus digencarkan pemerintah. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan penerimaan negara akibat pandemi COVID-19 yang berkelanjutan. Selain itu,  juga sebagai upaya menghadapi pembiayaan pembangunan yang masih banyak di masa mendatang.

Masalahnya, demikian kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, tren tax ratio Indonesia cenderung menurun dalam satu dasa warsa terakhir. "Secara umum, tax ratio kita memang mengalami tekanan yang cukup besar sejak 2011," jelas Yon dalam diskusi daring bertema "Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global" yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) pada Senin (25/7/2022).

Tax ratio yang didefinisikan sebagai rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) masih belum optimal. Namun, dinilai masih cukup dinamis bila memperhitungkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam yang sangat sensitif terhadap perubahan harga komoditas.

Merujuk kondisi itu, optimalisasi pajak masih menjadi tujuan utama kebijakan fiskal. Maka dari itu, perbaikan pajak yang dilakukan pemerintah ke depannya, menurut Yon, meliputi sisi kebijakan (policy) dan administrasi.

"Jadi dari dua sisi ini, kita melihat bahwa tax ratio kita masih cukup challenging. Kemudian di satu sisi kita tentu melihat ada pilihan kebijakan yang kita ambil dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.

Sejak 1983,  Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait reformasi perpajakan. Bahkan hingga saat ini, jumlah wajib pajak meningkat menjadi 42,51 juta dari 163 ribu pada 1983.

Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah

Dalam forum yang sama, Grup Departemen Ekonomi & Kebijakan Moneter BI, Wira Kusuma mengatakan Bank Indonesia memutuskan mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen dan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen serta suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.

"Itu merupakan hasil keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juli 2022. Keputusan itu konsisten dengan prakiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri," ujar Wira.

Bank Indonesia terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan, serta memperkuat respons bauran kebijakan moneter yang diperlukan baik melalui stabilisasi nilai tukar Rupiah, penguatan operasi moneter, dan suku bunga.

Dalam memperkuat bauran kebijakan tersebut, papar Wira, Bank Indonesia melakukan sejumlah strategi, mulai dari memperkuat operasi moneter. "Itu merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN di pasar sekunder," pungkas Wira.

Selanjutnya, BI juga memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi melalui intervensi di pasar valas yang didukung dengan penguatan operasi moneter.

Di samping itu, BI juga terus melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit Konsumsi.

"BI juga memperluas QRIS antar negara melalui akselerasi implementasi, piloting dengan penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal (local currency settlement) dengan negara-negara di Asia, serta melaksanakan Pekan QRIS Nasional untuk pencapaian target 15 juta pengguna baru," imbuhnya.

Berikutnya, Wira menambahkan, BI juga memastikan operasionalisasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) khususnya Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) first mover berjalan lancar dan mempersiapkan implementasi second mover dengan target Desember 2022.

"Serta memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama dengan bank sentral dan otoritas negara mitra lainnya. Begitu juga bersama Kementerian Keuangan menyukseskan enam agenda prioritas jalur keuangan Presidensi Indonesia pada G20 2022," tukasnya.

Apresiasi dari Apindo

Pada kesempatan itu, Ketua Komite Perpajakan APINDO, Siddhi Widyaprathama menyampaikan apresiasi terhadap sejumlah kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia.

Selain itu, Siddhi juga menyampaikan respon positif kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pajak karena telah membawa Indonesia pada reformasi perpajakan tahap empat sejak 2016 hingga saat ini.

"Mengenai reformasi perpajakan memang perjalanannya kalau kita lihat sudah panjang. Kita juga mengapresiasi Kemenkeu dalam hal itu DJP yang telah membawa kita pada tahap empat hingga saat ini," kata Siddhi.

Bicara soal reformasi perpajakan, kata Siddhi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi yakni dari segi regulasi administrasi dan sumber daya manusia (SDM). "Saat ini, kita juga melihat DJP Kemenkeu tengah mempersiapkan langkah yang menuju ke arah compliance risk management. Itu adalah satu hal yang sangat baik digitalisasi sistem perpajakan," ungkapnya.

Ke depannya, Siddhi berharap, pemerintah terus meningkatkan jangkauan wajib pajak. Sebab pajak merupakan tanggung jawab semua warga negara yang harus dipikul bersama-sama.

"Ke depannya, pemerintah harus terus meningkatkan jangkauan untuk wajib pajak. Kita terus mendorong ektensifikasi karena memang wajib pajak ini harus dipikul bersama-sama oleh seluruh warga negara," tukasnya.

Kegiatan FMB9 juga bisa diikuti secara langsung di kanal youtube FMB9ID_IKP. Nantikan update informasi akurat, data valid dengan narasumber terpercaya di FMB9ID_ (Twitter), FMB9.ID (Instagram), FMB9.ID (Facebook).(*)

Ilustrasi, Kantor Kementerian Keuangan (Dok. Kemenkeu)