- Oleh MC PROV JAWA TIMUR
- Rabu, 8 Januari 2025 | 21:37 WIB
: Pakar Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Atika Dian Ariana MSc MPsi, - Foto: Mc.Jatim
Oleh MC PROV JAWA TIMUR, Selasa, 7 Januari 2025 | 03:49 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 112
Surabaya, InfoPublik – Tahun baru seringkali identik dengan harapan dan resolusi, akan tetapi bagi sebagian orang, momen ini justru membawa tekanan psikologis yang memicu munculnya isu mental baru.
Tren "New Year, New Mental Issues" mulai menjadi perhatian, terutama di kalangan generasi muda yang kerap merasakan beban emosional di awal tahun.
Pakar Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Atika Dian Ariana MSc MPsi, fenomena ini terjadi, karena pola refleksi yang salah. "Harapannya, awal tahun menjadi babak baru yang positif. Sayangnya, tekanan di akhir tahun, seperti kegagalan mencapai target, seringkali memicu rasa pesimisme yang sulit dihindari,"katanya, di Surabaya, Senin(6/1/2024).
Momen pergantian tahun dianggap sebagai waktu yang tepat untuk mengevaluasi pencapaian. Namun, evaluasi yang dilakukan dengan sudut pandang pesimis dapat menimbulkan stres.
"Ketika seseorang melihat kegagalannya di tahun sebelumnya sebagai sesuatu yang menetap, mereka cenderung mengulang pola pikir negatif. Hal ini membuat mereka merasa tidak pantas berhasil di masa depan," jelas Atika.
Tekanan ini diperburuk oleh pengaruh media sosial, yang sering menampilkan pencapaian orang lain secara berlebihan. "Proses Perbandingan sosial di media sosial dapat meningkatkan kecemasan. Jika kita tidak mampu memfilter informasi, lebih baik mengambil jeda dari media sosial dan membangun interaksi nyata dengan orang-orang di sekitar," tambahnya.
Tekanan mental yang muncul sering ditandai dengan suasana hati yang murung, kehilangan semangat atau hilangnya minat pada aktivitas yang biasa dinikmati. Pola makan dan tidur juga bisa berubah drastis, baik terlalu sedikit maupun berlebihan. "Gejala ini tidak hanya terjadi di awal tahun, tetapi bisa menjadi lebih kentara karena momen refleksi yang tidak sehat," ujarnya.
Secara fisik, individu mungkin merasa mudah sakit, mengalami gangguan pencernaan, hingga sakit kepala. "Tekanan ini bisa terjadi kapan saja, tetapi momen refleksi akhir tahun sering membuatnya lebih kentara," imbuhnya.
Praktek mindfulness dan kegiatan spiritual dianggap efektif membantu tekanan mental. "Mindfulness membantu kita tetap fokus pada saat ini dan mengurangi kekhawatiran terhadap masa depan. Kegiatan spiritual juga bisa memperkuat rasa syukur," jelasnya.
Selain itu, dukungan keluarga dan lingkungan sosial sangat penting. "Keluarga yang suportif dapat menjadi detektor pertama perubahan perilaku individu. Namun, jika keluarga kurang mendukung, lingkungan sosial dapat menggantikan peran tersebut,"tambahnya
Atika juga menekankan pentingnya memandang refleksi sebagai kesempatan untuk bersyukur, bukan untuk menghukum diri sendiri. "Refleksi yang sehat membantu kita merencanakan langkah ke depan tanpa mengabaikan proses yang telah kita jalani," tutupnya.(MC Jatim/ida-mad/eyv)