- Oleh MC PROV KALIMANTAN BARAT
- Kamis, 7 November 2024 | 06:15 WIB
:
Oleh MC PROV KALIMANTAN BARAT, Kamis, 7 November 2024 | 06:28 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 85
Pontianak, InfoPublik – Program Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dirancang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, dengan memanfaatkan insentif keuangan.
Program ini menjadi isu penting dalam forum-forum kehutanan dan berhasil masuk ke dalam agenda Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP-UNFCCC).
REDD pertama kali diperkenalkan setelah laporan menunjukkan tingginya emisi akibat deforestasi dan kebakaran hutan. Meski pengurangan emisi karena deforestasi awalnya tidak dimasukkan dalam Protokol Kyoto, REDD akhirnya diadopsi setelah diskusi panjang. Mekanisme ini juga belum termasuk dalam daftar aktivitas Clean Development Mechanism (CDM) di awal implementasinya.
Negara-negara anggota Coalition for Rainforest Nations (CRFN) seperti Papua Nugini dan Kosta Rika, mengusulkan insentif untuk pencegahan deforestasi pada COP-11 di Montreal, Kanada, tahun 2005. Proposal tersebut kemudian dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries.
Di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat, proses panjang koordinasi dilakukan untuk mengajukan proposal pendanaan iklim REDD+. "Hari ini kami menyampaikan capaian pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam mengusulkan proposal pendanaan perubahan iklim yang dimulai sejak 2019. Proses ini mencakup konsultasi publik mulai dari tingkat nasional hingga provinsi dan kabupaten, serta melibatkan stakeholder termasuk LSM, swasta, dan masyarakat adat," ujar penasihat untuk Green Climate Fund (GCF), Jumtani di ruang kerja Gubernur, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) pada Selasa (5/11/2024).
Jumtani menjelaskan bahwa upaya ini merupakan hasil koordinasi antara dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kalimantan Barat, Bappeda, Dinas Perkebunan, serta berbagai instansi terkait yang berbasis hutan dan lahan. Langkah ini selaras dengan visi dan misi pembangunan berkelanjutan provinsi tersebut.
"Keberhasilan ini menunjukkan apresiasi dunia internasional terhadap capaian besar Kalimantan Barat dalam mengakses pendanaan iklim dari REDD+," jelasnya.
Sebagai hasil dari keberhasilan ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menerima kucuran dana sebesar EUR59,48 juta setara dengan Rp1 triliun. Dana ini akan diimplementasikan selama tujuh tahun, mulai dari 2025 hingga 2031.
"Proses pengajuan proposal ini melalui kompetisi yang ketat, di mana semua negara berkesempatan mengajukan, dengan peluang disetujui atau ditolak. Namun, berkat persiapan matang dan konsultasi menyeluruh dengan berbagai pihak, proposal ini akhirnya disetujui dalam pertemuan pada 21-24 Oktober lalu," tambah Jumtani.
Ia juga menekankan pentingnya konsultasi lanjutan agar semua pihak di Kalimantan Barat dapat bekerja sama dalam implementasi dana ini untuk kesejahteraan masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar hutan.
Pj Gubernur Kalbar, Harisson, memberikan apresiasi atas keberhasilan ini dan menyampaikan terima kasih atas persetujuan proposal tersebut.
"Kalbar memiliki hamparan hutan yang luas dan menjadi salah satu wilayah penting dalam menjaga kelestarian alam. Terima kasih atas dipilihnya Kalbar untuk menerima dana ini. Kami berkomitmen mengelola dana tersebut dengan baik demi kesejahteraan masyarakat Kalbar," tutup Harisson.
(Rfa/irm/ty)