Penggunaan Antibiotik tak Bijak Picu Meningkatnya Resistensi Antimikroba di Indonesia

: Ilustrasi bakteri/Foto: Kemenkes


Oleh Putri, Kamis, 19 September 2024 | 21:21 WIB - Redaktur: Untung S - 90


Jakarta, InfoPublik – Penggunaan antibiotik yang tidak bijak telah menyebabkan munculnya bakteri kebal antibiotik, sebuah fenomena yang dikenal sebagai resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR). Fenomena itu berdampak besar pada sulitnya pengobatan pasien dan meningkatkan risiko kematian akibat infeksi yang semakin sulit ditangani.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Azhar Jaya, mengungkapkan data mengenai resistensi antimikroba yang diperoleh dari rumah sakit (RS) sentinel. Data tersebut menunjukkan peningkatan signifikan pada bakteri yang kebal terhadap antibiotik, khususnya jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.

Pada 2022, pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) di 20 RS sentinel mencapai 68 persen. Angka itu meningkat pada 2023 di 24 RS sentinel menjadi 70,75 persen, mendekati target 52 persen yang diharapkan pada akhir 2024. "Angka ini menunjukkan peningkatan resistensi antimikroba, terutama pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, yang dapat menyebabkan kematian dengan menyerang organ dalam tubuh manusia," ujar Azhar dalam keterangan resminya pada Kamis (19/9/2024).

Untuk memberikan gambaran yang lebih representatif, pengukuran ESBL pada akhir 2024 akan dilakukan di 56 RS sentinel yang tersebar di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, termasuk RS pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta.

Menurut laporan yang diterima Kemenkes, penanganan pasien dengan infeksi AMR memerlukan upaya yang jauh lebih besar. Hal ini dikarenakan bakteri yang resisten terhadap antibiotik mempersulit proses perawatan dan pengobatan.

“Pilihan obat yang terbatas menjadi tantangan utama. Obat yang efektif mungkin tidak tersedia, mahal, atau bakteri telah kebal terhadap antibiotik yang ada,” jelas Azhar.

Selain itu, penegakan diagnosis pada pasien dengan infeksi AMR memakan waktu lebih lama karena memerlukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan antibiotik, sehingga memperlambat perawatan yang tepat.

Faktor lain adalah efek samping yang lebih berat pada pengobatan AMR, karena penggunaan antibiotik tertentu dapat meningkatkan risiko toksisitas. Penyebaran infeksi AMR di lingkungan rumah sakit juga menjadi perhatian serius, memerlukan langkah-langkah pengendalian infeksi yang ketat untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Peningkatan resistensi antimikroba juga berdampak pada biaya pengobatan. Perawatan pasien dengan infeksi AMR memerlukan waktu yang lebih lama (Length of Stay/LOS memanjang), meningkatkan biaya perawatan, serta menurunkan produktivitas pasien dan keluarganya.

"Pengobatan AMR menjadi sangat mahal, tidak hanya dari sisi biaya rumah sakit, tetapi juga dari sisi produktivitas pasien dan keluarga yang menurun," tambah Azhar.

Untuk menangani masalah itu, Kemenkes terus bekerja sama dengan WHO melalui program Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS). Data terbaru dari 2022 menunjukkan bahwa resistensi pada Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia telah terdeteksi melalui spesimen darah dan urine pasien yang terinfeksi AMR.

Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian penggunaan antibiotik di Indonesia guna mengurangi dampak buruk resistensi antimikroba terhadap kesehatan masyarakat.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Putri
  • Kamis, 19 September 2024 | 21:47 WIB
Pentingnya Meningkatkan Ketepatan Diagnosis demi Keselamatan Pasien
  • Oleh Putri
  • Kamis, 19 September 2024 | 21:46 WIB
Kemenkes Imbau Masyarakat Bijak Konsumsi Antibiotik