- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Rabu, 18 Desember 2024 | 21:47 WIB
: Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin) Sahat Panggabean/Foto: Farizzy InfoPublik
Oleh Farizzy Adhy Rachman, Rabu, 18 Desember 2024 | 16:29 WIB - Redaktur: Untung S - 135
Jakarta, InfoPublik - Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin), Sahat M. Panggabean, mengungkapkan pemerintah telah menempuh sejumlah langkah strategis dalam menghadapi wabah Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) yang kini menyerang ternak babi di berbagai wilayah, terutama wilayah timur Indonesia.
Sahat menegaskan bahwa virus ASF memiliki tingkat kematian hingga 100 persen pada babi, namun tidak menular kepada manusia. “ASF ini khusus menyerang ternak babi dan tidak bersifat zoonosis, sehingga tidak akan menular ke manusia. Meski demikian, dampak ekonomi yang ditimbulkan sangat besar karena penyebarannya yang cepat,” jelas Sahat kepada InfoPublik di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Menurut Sahat, saat ini virus ASF telah menyebar ke lebih dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, tidak semua wilayah dalam provinsi tersebut terdampak secara merata.
Tantangan utama dalam menangani ASF adalah belum adanya vaksin untuk virus ini sehingga tindak pencegahan menjadi langkah prioritas. Sebagai informasi, virus ASF memiliki ketahanan beberapa bulan di kandang ,140 hari di produk olahan dan tahan 18 bulan di karkas
“Kami sudah memahami jalur masuk virus ini, yaitu melalui kontak langsung antarternak yang terinfeksi, atau secara tidak langsung melalui alat angkut, daging, dan produk olahan babi,” tambahnya.
Kepala Barantin pun menyoroti keberhasilan Bali dalam mengatasi wabah ASF yang sempat melanda pada 2019. Dengan langkah-langkah seperti biosekuriti, desinfektan, dan edukasi masyarakat, Bali kini tidak hanya bebas dari ASF, tetapi juga mampu memasok daging babi ke wilayah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi.
“Bali menjadi contoh sukses yang bisa diadopsi. Dengan koordinasi yang baik antara Barantin, Kementerian Pertanian dan Pemerintah daerah, Bali berhasil bangkit. Kami berharap Papua dan daerah lain dapat belajar dari pengalaman ini,” ujar Kepala Barantin.
Barantin sendiri mencatat bahwa tidak ada babi hidup yang masuk ke Papua melalui jalur resmi. Sahat menduga virus tersebut masuk melalui daging babi yang dibawa penumpang atau melalui jalur tikus di perbatasan dengan Papua Nugini. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mensosialisasikan kepada pemerintah daerah Papua.
“Kami meminta semua pihak, termasuk TNI dan Polri, untuk memperketat pengawasan di perbatasan. Di Papua, budaya konsumsi babi sangat kuat sehingga penting bagi kami untuk melindungi populasi ternak mereka,” tegasnya.
Sahat juga mengingatkan masyarakat untuk melaporkan ternak yang terjangkit kepada petugas karantina agar segera dimusnahkan. Ia menekankan bahwa panik menjual ternak yang sakit hanya akan mempercepat penyebaran virus.
“Jangan membuang ternak yang mati ke sungai. Babi yang terinfeksi harus dikubur atau dibakar. Kami siap membantu masyarakat dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Untuk mencegah penyebaran, seluruh hewan yang masuk antarwilayah harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan dari Barantin,” jelas Sahat.
Selain Papua, beberapa wilayah lain seperti Kalimantan Utara, Riau, dan Kepulauan Riau juga menjadi perhatian. Barantin bekerja 24 jam di perbatasan dan pelabuhan untuk memastikan hewan yang masuk bebas dari penyakit. Dengan langkah ini, Barantin berharap dapat memitigasi dampak ASF yang tidak hanya mengancam sektor peternakan, tetapi juga perekonomian masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang sangat bergantung pada ternak babi.
“Koordinasi intens antara karantina, pemerintah daerah, dan instansi terkait sangat penting. Kita sudah memiliki role model sukses di Bali, dan itu bisa diterapkan di daerah lain. Mari kita bersama-sama melindungi populasi ternak babi di Indonesia dari ASF,” pungkas Sahat.