Produksi Kopi Tanah Air Menghadapi Krisis

:


Oleh Baheramsyah, Senin, 4 Juli 2016 | 09:31 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K


Jakarta, InfoPublik - Indonesia pernah berjaya menjadi salah satu produsen kopi terbaik di dunia. Bahkan pada  zaman Belanda menjadi penghasil kopi terbesar di dunia. Hanya saja posisi Indonesia terus melorot dan bahkan hanya sebagai produsen kopi terbesar ketiga yang digeser oleh Vietnam.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bener Meriah, Ahmad Ready di Bener Meriah, Minggu (3/7) mengatakan saat ini terjadi tren penurunan produktivitas kopi rakyat. Hal ini karena sebagian besar kopi di Aceh sudah tua dan melewati umur produktifnya. Padahal kopi asal Bener Meriah dikenal sebagai daerah penghasil kopi terbaik  di dunia.

Terbukti saat ini luas perkebunan kopi di Bener Meriah mencapai 46.000 hektar dimana 50 persen diantaranya merupakan tanaman tua, “Selain itu hama bubuk buah menjadi momok buat petani dan juga jamur akar putih,” kata Ahmad.

Bahkan, lanjut Ahmad, hal ini sudah mulai dirasakan oleh eksportir kopi yang selama ini menggantungkan supply dari wilayah Aceh dan Sumatera Utara. “Saat ini ekspotir kesulitan untuk bisa memenuhi kontraknya sekitar 100 kontainer atau sekitar 2000 ton,” tambah Ahmad.

Hal senada disampaikan petani kopi asal  Bener Meriah, Suhatsyah,  Ketua Kelompok Tani Kejora Bersatu asal Kampung Suku Weh Ilang bahwa petani membutuhkan dukungan pemerintah untuk meningkatkan produksinya. Petani sangat berharap bantuan pupuk khususnya  pupuk organik serta penanganan hama penyakit non kimiawi. Pasalnya kopi di wilayahnya dikelola secara organik.

“Kami membutuhkan bantuan bibit, karena tanaman sekarang sudah mulai menurun produksinya. Tentunya kami ingin bibit yang tahan terhadap nematode dan punya cita rasa yang baik,” kata Suhatsyah.

Selain pupuk dan pestisida organic juga diharapkan pendampingan kepada petani. tujuannya tidak hanya untuk membina budidaya secara good agriculture practices (GAP) juga membina untuk pembentukan koperasi petani.

“Tujuannya agar ada peningkatan mutu dan pemasaran,” tambah Sirwan anggota Kelompok Tani Bukit Bersatu, Bener Meria.

Pendapat senada disampaikan Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno bahwa saat ini di Sumatera Barat mayoritas tanaman kopi telah  berumur di atas 15 tahun dan beberapa diantaranya tidak terawat dengan baik. Sehingga produktivitasnya kurang dari 600 kg per hektar setiap tahunnya. Selain itu kondisi lahan juga semakin berkurang kesuburannya karena dieksplotasi terus menerus tanpa adanya upaya konservasi lahan.

“Saya mengkhawatirkan bahwa produksi ini akan terus mengalami penurunan jika tidak adanya upaya penyelamatan kopi rakyat,” risau Irwan.

Sementara Gubenur NTT, Frans Lebu Raya, juga mengeluhkan produksi perkebunan kopi rakyat di NTT yang menurutnya cenderung menurun setiap tahunnya karena sudah  berumur tua.

“Jika tidak diselamatnya maka produksi kopi kita akan menurun dan posisi Indonesia sebagai produsen kopi terbesar ketiga bukan tidak mungkin merosot terus, seperti yang terjadi pada berbagai komoditas perkebunan lainnya,” papar Frans.

Begitu juga dengan Gubenur Papua, Lukas Enembe, mengharapkan adanya dukungan pemerintah untuk penyelamatan kopi nasional. Sebab kopi telah menjadi komoditas unggulan bagi masyarkat papua khususnya di daerah gunung. Bahkan tidak ada cara yang paling tepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pegunungan kalau tidak dengan perbaikan kopi.

“Kita butuh perhatian pemerintah Presiden Jokowi untuk kopi, seperti dukungan yang diberikan pada produksi kakao,” kata Lukas.

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat, Fajarudin, perlu adanya kebijakan  dan program untuk kopi khususnya berupa kegiatan peremajaan untuk tanaman di atas 15 tahun atau intensifikasi untuk tanaman yang masih produktif namun produksinya masih relatif rendah.

Melihat hal ini maka sebaiknya program tersebut berkesinambungan selama lima tahun. Disertai dengan program pengembangan kopi berbasis kawasan, diserta pelatihan serta penyediaan fasilitas agar petani bisa menghasilkan kopi premium.

“Misalnya kopi arabika sebaiknya tidak saja diarahkan untuk perbaikan produksi namun hingga bisa meraih predikat specialty,” kata Farajuddin.

Wisman Djaya, Direktur Supply Chain di PT Nestle Indonesia mengakui bahwa jika tidak ada peremajaan kopi maka kopi Indonesia akan tinggal cerita. Contohnya bagaimana Vietnam yang baru tanam kopi 20 tahun yang lalu sudah melaksanakan program peremajaan 30 peren dari pohon  kopi yang ada.

“Saya mengharapkan bahwa bantuan yang diberikan tidak hanya bersifat fisik namun juga pendampingan petani. Kita perlu menghidupkan pola lama dimana petugas penyuluh mendamping petani dalam wilayah tertentu secara terus menerus,” pungkas Wisman.