Empat Langkah BPOM Awasi Penggunaan Zat Kimia Dalam Obat

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Sabtu, 29 Oktober 2022 | 07:29 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 3K


Jakarta, InfoPublik - Kesibukan meningkat di lingkungan Badan POM, dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah awak di lembaga yang bertanggung jawab dalam peredaran obat dan makanan di tanah air itu, mesti kerja ekstra. Mereka mendapat tugas meakukan penelusuran terhadap sejumlah obat yang diduga menjadi pangkal adanya sakit ginjal akut yang oleh Kementerian Kesehatan, per Jumat (28/10/2022) disebutkan mencapai 269 kasus. Dari jumlah itu, 157 meninggal, 73 masih dalam perawatan, dan 39 kasus dinyatakan sembuh.

Badan POM tidak mau kasus adanya dugaan penggunaan zat kimia berbahaya secara berlebih kembali terjadi. Adanya zat kimia dalam obat sirop diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut.

Kepala BPOM, Penny K. Lukito menduga selama pandemi para produsen obat mengganti pemasok bahan baku dari farmasi ke kimia. Penggantian itu, kata Penny, tidak dilaporkan ke BPOM.

Sementara BPOM, kata Penny, tidak memiliki kendali atas impor bahan baku atau bahan tambahan yang berasal dari pemasok zat kimia lantaran berada di bawah Kementerian Perdagangan.

"Kami juga sedang menelusuri kemana lagi bahan pelarut kimia itu diberikan atau digunakan," ujar Penny di Jakarta, Kamis (27/10/2022).

Penny menambahkan, selama ini pengawasan terhadap kadar pencemar pada produk tidak menjadi ketentuan dalam standar pembuatan obat. Kejadian yang menyebabkan 157 anak meninggal akan dijadikan pelajaran berharga. Karenanya, kasus itu diyakini akan membawa perubahan dalam BPOM.

“(Kasus) ini akan digunakan untuk memperkuat atau mengubah sistem pre dan post market yang ada," kata Penny

Kata Penny, agar kasus seperti ini tidak terulang kembali di masa mendatang, pihaknya akan memperkuat sistem keamanan dan mutu obat. Ada empat langkah yang akan dilakukan ke depan.

Pertama, BPOM akan mengawasi masuknya bahan-bahan pelarut obat sirop yang berasal dari impor. Itu artinya perusahaan atau produsen harus mengantongi Surat Keterangan Impor BPOM terlebih dahulu sebelum memasukan bahan baku atau tambahan untuk obat.

Kedua, industri harus benar-benar menegakkan pengendalian mutu atau quality control sesuai dengan pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dari badan.

"Misalnya industri yang menerima bahan baku dari pemasok harus yakin kualitasnya," ujar dia.

Ketiga, Kementerian Kesehatan dan BPOM akan membuat aturan baru soal standar dari cemaran etilen glikol dan dietilen glikol dalam bahan jadi. Sebab, kata Penny, selama ini tidak ada standar internasional untuk hal tersebut.

"Ini penting karena ke depan BPOM bisa mengawasi pada produk jadi," ujar dia.

Keempat, adanya perbaikan farmakope Indonesia. Nantinya, jika ada kejadian fatal seperti gagal ginjal akut tenaga kesehatan bisa melaporkan dengan segera untuk kemudian ditindaklanjuti BPOM.

Agar tenaga kesehatan bisa melapor, mereka harus memiliki data lengkap mengenai obat-obatan yang dikaitkan dengan pasien sakit atau meninggal tersebut.

"Ke depan kami akan imbau nakes mencatat produk dan obat yang diberikan ke pasien untuk memudahkan penelusuran kejadian seperti ini," ujar Penny.(*)

(Petugas menunjukkan obat sirop yang boleh dikonsumsi saat melakukan sidak obat sirop di sebuah apotek di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/10/2022). Sidak yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dan BPOM Kota Bandung tersebut dilakukan untuk memastikan peredaran obat sirop yang dilarang di Kota Bandung sudah tidak di tersedia di apotek. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.)