Mengenal Enam Pahlawan Nasional Baru

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 11 November 2020 | 04:54 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Ungkapan "Jas Merah" yang merupakan singkatan dari "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" terasa relevan tiap kali membahas Hari Pahlawan. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 Tentang Hari-hari Besar Nasional yang bukan Hari Libur, tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan dan diperingati setiap tahunnya.

Penetapan tersebut pun dimaksudkan untuk menghargai dan mengingat perjuangan dan jasa para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari sejarah perjalanan panjang Bangsa ini.

Dalam peringatan Hari Pahlawan setiap tahunnya, pemerintah selalu menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada sejumlah tokoh. Tahun ini, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh berdasarkan Keppres Nomor 117/TK Tahun 2020 Tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditandatangani pada 6 November 2020.

“Menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, dan mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,” demikian bunyi petikan Keppres itu.

Lalu siapa saja keenam tokoh tersebut? Seperti apa kontribusi mereka bagi Indonesia? Berikut rangkumannya yang telah dihimpun Redaksi InfoPublik:

1. Sultan Baabullah dari Provinsi Maluku Utara

Sultan Baabullah merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku yang memerintah antara 1570 dan 1583. Ia lahir di Ternate, 10 Februari 1528, dan berkuasa menggantikan ayahnya, Sultan Khairun, yang meninggal akibat dibunuh oleh Portugis.

Ia dianggap sebagai Sultan teragung dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir penjajah Portugis dari Ternate pada 15 Juli 1575. Selama masa pemerintahannya, Ia juga berhasil membawa Kesultanan Ternate kepada puncak kejayaannya pada akhir abad ke-16. Di bawah penguasaannya pula, Maluku berperan dalam jaringan rempah Asia di mana perdagangan rempah pun meningkat signifikan.

Adapun wilayah kekuasaan Sultan Baabullah di Indonesia timur mencakup sebagian besar Kepulauan Maluku, Sangihe, dan sebagian dari Sulawesi. Pengaruh Ternate pada masa kepemimpinannya bahkan mampu menjangkau Solor (Lamaholot), Bima (Sumbawa bagian timur), Mindanao, dan Raja Ampat.

Makanya, tokoh yang meninggal pada 25 Mei 1583 di usia 55 tahun itu dijuluki penguasa 72 negeri yang semuanya memiliki raja yang tunduk kepadanya hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur.

2. Macmud Singgirei Rumagesan-Raja Sekar dari Provinsi Papua Barat

Machmud Singgirei Rumagesan menjadi tokoh asal Papua Barat pertama yang menyandang gelar pahlawan nasional. Perjuangannya dalam mengusir penjajah berawal dari ketidaksenangannya terhadap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang pada buruh di tanah kelahirannya.

Hal itu terjadi lantaran perusahaan Belanda Maatschapijj Colijn mempekerjakan buruh dengan sewenang-wenang di Papua Barat sehingga membuat Machmud Singgirei Rumagesan yang juga raja di kawasan Sekar atau sekarang dikenal Kabupaten Fakfak geram terhadap Belanda. Ia kemudian mengajukan syarat terhadap pemerintahan kolonial Belanda.

Sejak peristiwa itu, muncul konflik antara Rumagesan dengan pemerintahan Belanda. Pada 1934, sekitar 73 pengikut raja ditangkap. Akibatnya, ia diasingkan ke Saparua dan dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara, sedangkan para pengikutnya dipenjara selama 10 tahun.

Perlu dicatat, Rumagesan tidak hanya sekali dijebloskan penjara, namun sering karena sikap kepahlawanan dan cinta Tanah Airnya dalam menentang Belanda. Semasa hidupnya, ia pernah merasakan dinginnya malam di balik jeruji besi di Saparua, Sorong, Pulau Doom, Manokwari, Hollandia atau yang sekarang Jayapura, serta Makassar.

Di balik jeruji besi, sang raja terus gencar menyebarkan semangat nasionalisme. Kian hari pengikutnya terus bertambah. Bahkan, salah seorang sipir penjaga penjara juga terpengaruh oleh pola pikirnya yang merupakan pribumi asli Papua.

Pada 1953, ia mendirikan sebuah organisasi pembebasan Irian Barat di Makasar yang disebut Gerakan Tjenderawasi Revolusioner Irian Barat (GTRIB). Pada sidang Dewan Nasional 1957, Rumagesan juga menyerukan Irian Barat harus kembali ke Indonesia.

Organisasi yang dipimpinnya tersebut kala itu meminta pemerintah Indonesia untuk membentuk pemerintah lokal di Papua yang dipimpin orang asli Papua, sebagai bagian dari Indonesia untuk menentang Belanda yang masih menjajah Tanah Papua pascakemerdekaan Indonesia 1945.

Pada 1 Maret 1946, ia kembali menentang Belanda yang kembali ke Tanah Air setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pada saat itu, tokoh asal Papua tersebut menurunkan bendera Belanda yang dikibarkan di bumi pertiwi sebagai bentuk penolakan.

Bahkan, ia telah berencana memulai kembali pergerakan dengan menentang Belanda. Pada saat itu, ia juga telah mengumpulkan puluhan pucuk senjata api untuk mengusir Belanda. Namun, sayangnya rencana raja dari Tanah Mutiara Hitam itu diketahui musuh sehingga ia kembali mendekam di penjara.

Keinginannya untuk kembali dan melihat Tanah Papua Barat bebas dari jeratan penjajahan Belanda tercapai ketika ia kembali ke kampung halamannya pada 15 Mei 1964. Sayangnya, dua bulan kemudian dia mengembuskan napas terakhir, tepatnya pada 5 Juli 1964.

3. Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dari Provinsi DKI Jakarta

Raden Said (RS) Soekanto Tjokrodiatmodjo dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Kepala Kepolisian Negara pada 29 September 1945. Namun, pada Pemerintahan Darurat RI yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang berkedudukan di Sumatera Tengah, jawatan Kepolisian sempat dipimpin KBP Umar Said sejak 22 Desember 1948.

RS Soekanto kemudian diangkat kembali sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda yang menghasilkan pembentukan Republik Indonesia Serikat.

Selanjutnya, dia tetap menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara setelah pembentukan Negara Kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan pemberlakuan UUDS 1950. Jenderal yang lahir Bogor, Jawa Barat, pada 7 Juni 1908 tersebut pun menjabat sebagai orang nomor satu di Polri selama 14 tahun sampai 14 Desember 1959.

Sebagai pemimpin pertama Polri, RS Soekanto berperan besar dalam penataan organisasi kepolisian. Dia sudah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia pada masa revolusi fisik. Sewaktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri digunakan sebagai markas karena Polri belum punya kantor.

RS Soekanto kemudian merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang.

Dia mendapat sederet penghargaan atas jasanya selama bertugas di kepolisian, termasuk Satya Lencana, Satya Lencana Karya Bhakti, Satya Lencana Jana Utama, dan Satya Lencana Karya Setia Kelas I. Dia juga memperoleh anugerah Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Soeharto.

Menjelang peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968, Sekretaris Presiden menemui Soekanto di kediamannya untuk menyampaikan penghargaan tersebut sekaligus memberikan kenaikan pangkat kehormatan menjadi Jenderal Polisi.

RS Soekanto meninggal dunia pada usia 85 tahun di Rumah Sakit Polri Kramat Jati Jakarta pada 24 Agustus 1993 dan dimakamkan pada 25 Agustsus 1993 di Pemakaman Tanah Kusir Jakarta Selatan. Pada 14 Februari 2001, ia ditetapkan sebagai Bapak Kepolisian RI oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

4. Arnold Mononutu dari Provinsi Sulawesi Utara

Arnold Mononutu dengan nama lengkap Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu adalah tokoh yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, 4 Desember 1896, dan mengembuskan nafas terakhirnya di Jakarta, 5 September 1983, pada usia 86 tahun.

Tokoh asal Provinsi Sulawesi Utara itu mulai terlibat gerakan nasionalisme dengan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang salah satu pendirinya adalah Presiden Soekarno.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mononutu menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) yang dibentuk oleh Belanda pada 1946 dan memimpin kelompok anggota parlemen yang pro-republik. Dia memfokuskan usahanya untuk membujuk anggota parlemen lain untuk mendukung gagasan menyatukan NIT dengan Republik Indonesia.

Setelah Agresi Militer Belanda I pada 1947, Mononutu mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.

Pada Februari 1948, ia memimpin sebuah delegasi NIT untuk bertemu dengan para pemimpin Republik Indonesia di Yogyakarta. Selanjutnya, pada 1949, NIT menjadi konstituen dari Republik Indonesia Serikat (RIS), yang kemudian dibubarkan pada 17 Agustus 1950 kemudian digantikan oleh Republik Indonesia yang bersatu.

Ia pun ditunjuk sebagai Menteri Penerangan ketika itu pada tiga kesempatan terpisah, yaitu di Kabinet Republik Indonesia Serikat periode 20 Desember 1949-6 September 1950, di Kabinet Sukiman-Suwirjo periode 27 April 1951-April 1952, dan di Kabinet Wilopo periode 3 April 1952-30 Juli 1953.

Selain pernah menjadi Menteri Penerangan, Mononutu juga merupakan Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok sejak 1953 hingga 1955. Tak hanya berkiprah di dunia politik, Mononutu juga pernah diminta Presiden Soekarno untuk memimpin Universitas Hasanuddin di Makassar pada 1960.

5. MR Sutan Muhammad Amin Nasution dari Provinsi Sumatra Utara

Sutan Muhammad Amin Nasution lahir di Aceh Besar, Aceh, pada 22 Februari 1904 dan meninggal di Jakarta, 16 April 1993, dalam usia 89 tahun. Amin Nasution pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara, Aceh, dan Riau, pada awal kemerdekaan, yaitu pada 1947 hingga 1949, hingga akhirnya ia ditunjuk kembali menjadi Gubernur Sumatra Utara yang pertama setelah wilayah Sumatera Utara pecah menjadi tiga provinsi.

Amin Nasution merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah pergerakan pemuda. Ia aktif dalam organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB), sebuah perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra.

Amin Nasution merupakan figur penting dalam menyatukan gerakan kepemudaan daerah ke dalam Komisi Besar Indonesia. Selain itu, ia juga menjadi salah satu tokoh yang mengonsepkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Selain aktif di organisasi kepemudaan, Amin Nasution juga aktif menulis dengan menggunakan nama pena Kreung Raba Nasution. Ia banyak menulis buku tentang hukum, politik, dan pemerintahan.

Ia mendapatkan sejumlah penghargaan, berupa Satya Lantjana Peringatan Perdjoaengan Kemerdekaan RI pada 1961, Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia dan Bintang Jasa Utama dari Presiden Soeharto pada 1991, Bintang Mahaputra dari Presiden BJ Habibie pada 1998, dan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009.

6. Raden Mattaher Bin Pangeran Kusen Bin Adi dari Provinsi Jambi

Raden Mattaher lahir di Dusun Sekamis, Kasau Melintang Pauh, Air Hitam, Batin VI, Jambi, pada 1871. Pejuang dari Jambi tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak panglima perang yang ditakuti Belanda saat menjajah Tanah Air.

Semasa menjabat sebagai panglima perang, ia terkenal beringas kala melawan Belanda. Bahkan, masyarakat setempat menyematkan gelar "Singo Kumpeh" kepadanya karena keberingasannya seperti singa saat menghadapi kolonial Belanda di Tanah Jambi.

Raden Mattaher merupakan cucu dari salah satu pahlawan nasional, yakni Sultan Thaha Syaifuddin. Strategi perangnya dikenal dengan membentuk kantong-kantong dan barisan pertahanan serta barisan perlawanan yang bergerak di teritorial dari Muara Tembesi sampai ke Muaro Kumpeh.

Pola serangan difokuskan dengan menyerang kapal-kapal perang Belanda yang masuk ke Jambi lewat jalur sungai. Kapal-kapal perang Belanda tersebut membawa personel, obat medis, dan amunisinya. Bahkan, pada 1885, ia menenggelamkan kapal Belanda di kawasan perairan Muaro Jambi yang menjadi tonggak sejarah gelar "Singo Kumpeh" melekat pada dirinya.

Perjuangan Raden Mattaher dalam mengusir penjajahan Belanda berakhir di kediamannya. Pada saat itu, Belanda mengadakan operasi untuk menumpas sang tokoh. Ia tewas tertembak di rumahnya pada 10 September 1907.

Pada peristiwa itu, warga setempat juga menemukan jari kelingking anak dari pasangan Pangeran Kusin dan Ratumas Esa (Ratumas Tija) tersebut putus. Warga menyakini jari kelingking tersebut adalah milik sang panglima perang. Sebab, sebelum berperang melawan Belanda, ia terlebih dahulu diketahui memasang inai atau pemerah di kukunya.

Raden Mattaher kemudian dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Jambi di tepi Danau Sipin Kota Jambi. Selain itu, jari kelingkingnya juga dimakamkan di sebuah desa di Muaro Jambi.

Cerita heroik dari sang "Singo Kumpeh" pun terus didengungkan oleh masyarakat, terutama di Jambi. Berbagai pihak telah berusaha agar nama sang panglima perang ikut berjejer sebagai salah satu pahlawan nasional sebagaimana yang disematkan kepada kakeknya, Sultan Thaha Syaifuddin.

Untuk mengenang perjuangan Raden Mattaher, masyarakat mengabadikan namanya menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Jambi, termasuk pula beberapa nama jalan di Kota Jambi, nama lapangan tembak, dan nama yayasan di Kota Jambi.

Tidak hanya itu, pada momentum tertentu, masyarakat juga mengenang Raden Mattaher dengan beragam cara edukasi, baik dalam bentuk tulisan, fragmen pementasan, maupun film dokumenter.

Setiap 10 November yang juga diperingati sebagai Hari Pahlawan, masyarakat dan pemerintah daerah mendatangi makam Raden Mattaher untuk ziarah dan tabur bunga sebagai bentuk penghormatan atas jasanya. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)