Perpanjangan GSP Hasil Diplomasi 2,5 Tahun

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 4 November 2020 | 03:06 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 881


Jakarta, InfoPublik - Diplomasi Indonesia kembali menorehkan hasil positif. Kali ini terkait dengan kemajuan perekonomian nasional. Kabar gembira ini muncul usai Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) secara resmi mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia.

Pengumuman perpanjangan GSP tersebut dibuat hanya berselang sehari usai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/10/2020).

Sebagaimana disampaikan Menlu Retno Marsudi usai pertemuan, Presiden menekankan kepada Menlu Pompeo bahwa Indonesia ingin melihat kerja sama di bidang ekonomi kedua negara meningkat di masa yang akan datang, termasuk tentunya harapan terhadap perpanjangan fasilitas GSP kepada Indonesia.

Menlu Retno Marsudi yang pada saat bertemu dengan Menlu Pomp​​​eo juga secara khusus mengangkat isu GSP menyatakan bahwa penyelesaian review GSP ini merupakan buah dari rangkaian diplomasi yang secara intensif dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir ini.

“Pemberian fasilitas GSP merupakan salah satu wujud konkret kemitraan strategis antara kedua negara yang tidak hanya membawa manfaat positif bagi Indonesia, melainkan juga bisnis di AS,” ujarnya.

Sementara itu, Duta Besar (Dubes) RI untuk AS Muhammad Lutfi menilai perpanjangan fasilitas GSP yang diberikan oleh AS ini menunjukkan tingginya kepercayaan Pemerintah Negeri Paman Sam itu terhadap berbagai perbaikan regulasi domestik yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam rangka menciptakan iklim bisnis dan investasi yang lebih kondusif di tanah air.

“Pasca pengumuman USTR, kita akan segera susun rencana kerja atau road plan untuk mengoptimalkan fasilitas keringanan bea masuk bagi produk-produk ekspor Indonesia di pasar AS,” ujar Dubes yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberian perpanjangan fasilitas GSP oleh AS relatif jarang terjadi. Bahkan, sejumlah negara yang menjadi mitra dagang AS, seperti India dan Turki, pada 2019 lalu telah dihentikan fasilitas GSP mereka. Pemerintah pun menyambut baik perpanjangan preferensi tarif GSP yang diberikan kepada Indonesia.

Sebagai informasi, GSP merupakan fasilitas perdagangan​ berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia sendiri pertama kali mendapatkan fasilitas tersebut pada 1980. Dengan adanya fasilitas GSP ini memungkinkan produk-produk Indonesia untuk lebih mudah memasuki pasar AS.

Oleh karenanya, Presiden Joko Widodo meminta agar kesempatan ini dipergunakan untuk memulihkan sekaligus meningkatkan kondisi investasi di Indonesia di tengah tekanan akibat pandemi Covid-19.

“Kita harapkan ekspor kita akan bisa naik, melompat karena fasilitas GSP ini diberikan kepada kita. Perpanjangan fasilitas GSP tersebut juga dapat dipergunakan untuk menarik investasi ke Indonesia. Karena kita ada fasilitas itu (GSP), sehingga orang ingin mendirikan industri, pabrik, perusahaan di Indonesia akan menjadi lebih menarik karena untuk masuk ke Amerika kita diberikan fasilitas dari Amerika,” jelas Kepala Negara pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/11/2020).

Duta Investasi

Diplomasi ekonomi memang tengah menjadi fokus pemerintah Indonesia saat ini. Makanya, meski konstitusi mengamanatkan semua dubes adalah duta perdamaian, di saat yang bersamaan Presiden juga ingin para perwakilan Indonesia di dunia internasional itu menjadi duta investasi.

Hal tersebut sempat Presiden sampaikan saat memberikan arahan dalam Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kemlu di Istana Negara, Jakarta, awal tahun ini. Pada kesempatan tersebut, ia juga mengingatkan bahwa sebagai duta investasi juga harus tahu investasi di bidang apa yang diperlukan atau menjadi prioritas bagi kepentingan nasional.

Presiden mencontohkan, para dubes harus tahu yang namanya petrokimia itu 85% masih impor sehingga apabila ingin mendatangkan investasi haru mencari produk-produk yang berkaitan dengan barang-barang substitusi impornya, seperti metanol misalnya.

"Atau juga yang kedua yang berkaitan dengan energi karena kita ini masih impor banyak minyak dan gas. Hubungannya ke mana? Bagaimana agar impor energi ini bisa turun? Terus investornya siapa? Investornya bisa saja, misalnya yang berkaitan dengan batu bara, datangkan investor yang memiliki teknologi yang berkaitan dengan batu bara," jelasnya.

Contoh lainnya, masih terkait minyak, adalah bagaimana mengubah minyak kelapa kopra yang dimiliki Indonesia menjadi avtur. Caranya, kata Presiden, adalah dengan mencari investornya mengingat Indonesia punya bahan mentahnya yang bisa diubah menjadi avtur.

Karena itu, Presiden berharap para dubes yang menjadi duta investasi itu bisa mengincar para investor yang tepat. Ia yakin apabila Indonesia bisa memproduksi Biodiesel 50 (B50), maka posisi tawar Indonesia terhadap semua negara bisa naik.

"Jika Uni Eropa mau banned (melarang) sawit Indonesia, ya tenang-tenang saja, dipakai sendiri saja. Ia menambahkan untuk apa harus diekspor ke sana? Strategi ini yang sedang kita bangun, strategi bisnis Negara, baru kita proses rancang implementasinya agar betul-betul tidak ada ketergantungan dengan negara-negara lain,” tutur Presiden.

Menurut Presiden, jika B50 tersebut dapat terwujud dan bisa diproduksi dengan baik, tidak menutup kemungkinan harga sawit yang sekarang sudah naik akan meloncat sangat besar sekali. Namun demikian, kalau memang nantinya bisa masuk ke B50, Presiden mengingatkan Indonesia harus betul-betul bisa mengendalikannya, bukan pasar.

"Itulah target kita dalam 3-4 tahun ke depan, arahnya ke sana," tegas Presiden seraya menambahkan bahwa bantuan dari para dubes dalam mewujudkan target tersebut sebagai duta investasi sangatlah penting sekali.

Itu terbukti salah satunya dengan diperpanjangnya fasilitas GSP oleh AS kepada Indonesia. Negosiasinya memang berlangsung cukup lama, yakni sekitar 2,5 tahun sejak Maret 2018. Menurut Dubes Lutfi, hal tersebut lantaran banyak terjadi permasalahan sebelumnya, salah satunya terkait sistem perdagangan di masa lalu.

"Di mana (dulu) masing-masing negara punya keyakinan agar dapat membeli sedikit mungkin dan menjual sebanyak mungkin dengan negara lain. Yang kita hadapi saat ini adalah era kolaborasi," jelasnya dalam kegiatan press briefing secara daring, Senin (2/11/2020).

Lebih lanjut Dubes Lutfi juga menyebut tidak menutup kemungkinan GSP tidak akan diperpanjang lagi kalau payung dari GSP diputuskan oleh Kongres AS untuk tidak diperpanjang.

Namun, dirinya meyakini AS akan terus memperpanjang GSP sebagai bagian dari diplomasi dan politik untuk merangkul negara-negara yang sama-sama memiliki nilai persamaan demokrasi negera tersebut.

"Kalau kita tidak punya nilai persamaan hukum, demokrasi, kebebasan memilih, dan menjunjung tinggi hukum, kita tidak akan bisa mendapatkan GSP. Saya berkeyakinan mereka akan memperpanjang sebagai bagian dari diplomasi dan politik AS untuk merangkul negara-negara yang mempunyai cara berpikir sama dengan kita," ujarnya. (Foto: Kemlu)