Optimalisasi Supervisi Perkara Korupsi

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 2 November 2020 | 20:59 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik - Sinergi antar instansi penegak hukum, dalam upaya pemberantasan tindak korupsi, kini semakin nyata. Begitulah semangat yang terkandung dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Melalu beleid yang ditetapkan Presiden pada 20 Oktober 2020 dan diundangkan sehari setelahnya oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melakukan supervisi terhadap instansi yang juga berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Polri dan Kejaksaan.

"Dalam hal pelaksanaan supervisi membutuhkan penghitungan kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengikutsertakan instansi berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersama instansi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya," demikian bunyi Pasal 2 ayat (3).

Dijelaskan dalam Pasal 1, supervisi adalah kegiatan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi guna percepatan hasil penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi, serta terciptanya sinergitas antarinstansi terkait.

Adapun KPK dapat melaksanakan supervisi terhadap perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Polri atau Kejaksaan dengan menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan masing-masing institusi penegak hukum tersebut. Dalam pelaksanaannya, tim KPK dapat didampingi oleh perwakilan dari Badan Reserse Kriminal Polri dan/atau Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung.

Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 5, supervisi dapat dilakukan dalam tiga bentuk. Pertama adalah pengawasan, yakni berupa kegiatan untuk mengawasi proses penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilaksanakan oleh Polri atau Kejaksaan.

Dalam melakukan pengawasan, KPK berwenang meminta kronologis penanganan perkara; meminta laporan perkembangan penanganan perkara, baik secara periodik maupun sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan; dan/atau melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan penanganan perkara di tempat instansi yang menangani perkara tersebut atau tempat lain yang disepakati.

Bentuk supervisi kedua adalah penelitian, yaitu kegiatan pengumpulan data, serta pengolahan, analisis, dan penyajian data atau informasi yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dihadapi oleh Polri atau Kejaksaan.

Dalam melakukan penelitian, KPK berwenang meneliti pelaksanaan hasil pengawasan; memberikan arahan dalam pelaksanaan hasil pengawasan; melakukan rapat mengenai perkembangan penanganan perkara bersama perwakilan dari Polri atau Kejaksaan dengan hasil berupa kesimpulan dan rekomendasi; dan/atau melakukan gelar perkara bersama terkait dengan perkembangan penanganan perkara.

Terakhir adalah penelaahan, antara lain kegiatan menelaah hasil pengawasan dan/atau penelitian untuk menentukan saran dan rekomendasi, serta pengambilan keputusan yang harus dilaksanakan dalam rangka percepatan penuntasan penanganan perkara tindak pidana korupsi.

Dalam melakukan penelaahan, KPK berwenang menelaah pelaksanaan hasil penelitian dan rekomendasi; dan/atau melakukan gelar perkara terhadap hasil pengawasan dan laporan hasil penelitian di instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang disupervisi.

Setelah melakukan gelar perkara bersama pada masing-masing bentuk supervisi, KPK menuangkan hasilnya dalam bentuk kesimpulan dan rekomendasi. Dalam hal kesimpulan gelar perkara bersama terdapat kendala dalam penanganan perkara, KPK harus memberikan fasilitasi sesuai dengan kebutuhan apabila diminta Polri atau Kejaksaan.

Dalam hal pengawasan, penelitian, atau penelaahan telah selesai dilaksanakan, KPK harus menyampaikan hasil pengawasan, penelitian, atau penelaahan dan rekomendasi kepada Polri dan/atau Kejaksaan.

Berdasarkan hasil supervisi terhadap perkara yang sedang ditangani oleh Polri atau Kejaksaan, menurut Pasal 9, KPK berwenang mengambil alih perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kedua institusi tersebut dengan memberitahukan kepada penyidik dan/atau penuntut umum yang menanganinya.

Dalam hal KPK melakukan pengambilalihan perkara dalam tahap penyidikan dan/atau penuntutan, Polri atau Kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan/atau terdakwa dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari, terhitung sejak tanggal permintaan KPK.

"Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi," demikian bunyi Pasal 9 ayat (4).

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango pun menyambut baik terbitnya Perpres 102/2020 ini. Ia mengaku, pihaknya sudah menanti beleid ini sejak setahun lamanya sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Sebab, dengan adanya beleid ini, KPK akan lebih optimal dalam menjalankan fungsi supervisi.

Menurut Nawawi, selama ini banyak perkara tindak pidana korupsi yang ditangani aparat penegak hukum lain belum disupervisi secara optimal oleh KPK. Hal tersebut lantaran belum adanya instrumen mekanisme supervisi sebagaimana diatur dalam Perpres 102/2020.

"Dengan adanya Perpres Supervisi ini, maka tidak ada alasan lagi bagi pihak APH (aparat penegak hukum) lainnya untuk tidak bekerja sama dengan KPK dalam penanganan perkara yang telah ditetapkan disupervisi oleh KPK," tegasnya di Jakarta, Rabu (28/10/2020).

Namun demikian, KPK memastikan akan tetap mengedepankan langkah supervisi ketimbang pengambilalihan perkara, meski diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Perpres 102/2020. Artinya, langkah mengambil alih perkara akan menjadi pertimbangan terakhir. (Foto: RRI)