Menanti Aturan Turunan UU Cipta Kerja

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Sabtu, 31 Oktober 2020 | 01:49 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 879


Jakarta, InfoPublik - Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020 telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU. Kini draf final RUU tersebut tinggal menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo.

Bila sudah ditandatangani dan diundangkan, maka akan ada waktu paling lama tiga bulan bagi pemerintah untuk menyusun aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Menurut Kepala Negara, diperkirakan akan ada banyak sekali aturan turunan dari UU sapu jagat itu.

"Jadi, setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan. Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat. Dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah," kata Presiden dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 9 Oktober 2020.

Maka itu, saat ini sejumlah kementerian sudah mulai bergerak cepat untuk menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Salah satunya adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang tengah merampungkan lima RPP sebagai aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.

Dilansir ANTARA, 16 Oktober 2020, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil mengatakan bahwa pihaknya akan mengundang sejumlah pihak untuk memberikan aspirasi terkait dengan penyusunan RPP tersebut.

Kelima RPP yang dimaksud adalah RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, RPP tentang Bank Tanah, RPP tentang Pemberian Hak Atas Tanah, RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, serta RPP tentang Kawasan dan Tanah Telantar. Kelimanya ditargetkan rampung paling tidak 1,5 bulan, meski UU memungkinkan paling lambat 3 bulan.

Menyinggung soal bank tanah, Menteri Sofyan menegaskan bahwa RPP ini akan melengkapi fungsi Kementerian ATR/BPN yang tidak hanya sebagai land regulator, tetapi juga land manager atau pengelola tanah. Melalui institusi bank tanah, Kementerian ATR/BPN dapat mengambil alih tanah-tanah telantar dan tak bertuan untuk kepentingan masyarakat, seperti perumahan, taman, dan fasilitas umum.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga akan memberikan penguatan pada hak pengelolaan (HPL). Selama ini, tanah yang dimiliki oleh pemerintah daerah diberikan hak pakai dan tidak bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih produktif.

Menurut Presiden sendiri, bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraria.

Tidak hanya Kementerian ATR/BPN, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pun tengah mempersiapkan RPP sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Menurut Menaker Ida Fauziyah, pihaknya akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja/buruh serta pengusaha.

Adapun RPP yang sedang disiapkan ada empat, yakni RPP tentang Pengupahan, RPP tentang Tenaga Kerja Asing, RPP tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, dan RPP tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Dalam penyusunannya, Menaker Ida Fauziyah mengatakan bahwa pihaknya telah mematangkan konsep di internal kementeriannya dan sudah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Selain itu, sosialisasi dengan pemerintah daerah lewat Dinas Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia juga sudah dan akan terus dilakukan.

"Karena mereka merupakan ujung tombak informasi dan pelayanan di akar rumput," ujarnya.

Urgensi UU Cipta Kerja

Pemerintah berkeyakinan bahwa melalui UU Cipta Kerja ini, jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka. Namun demikian, apabila masih ada yang merasa tidak puas terhadap UU ini, Presiden mempersilakan untuk mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu. Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak, silakan diajukan uji materi ke MK," ujarnya.

Dalam UU Omnibus Law ini terdapat sebelas klaster. Secara umum, tiap klaster bertujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.

Klaster tersebut antara lain penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, serta kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Menurut Presiden, setidaknya ada tiga alasan mengapa Indonesia membutuhkan UU Cipta Kerja. Pertama, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru sehingga kebutuhan atas lapangan kerja sangat mendesak.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja yang terdampak. Mereka membutuhkan adanya penciptaan lapangan kerja baru, khususnya di sektor padat karya.

"Jadi Undang-Undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," imbuh Presiden.

Kedua, UU Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat, khususnya Usaha Mikro Kecil (UMK), untuk membuka usaha baru. Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit yang menghambat, dipangkas.

Misalnya, perizinan usaha untuk UMK tidak diperlukan lagi dan hanya pendaftaran saja. Kemudian pembentukan Perseroan Terbatas (PT) juga dipermudah di mana tidak ada lagi pembatasan modal minimum.

Lalu pembentukan koperasi juga dipermudah. Dengan hanya sembilan orang saja nantinya koperasi sudah bisa dibentuk sehingga diharapkan akan semakin banyak koperasi-koperasi di Tanah Air.

Belum lagi UMK yang bergerak di sektor makanan dan minuman sertifikasi halalnya akan dibiayai pemerintah alias gratis. Pun izin kapal nelayan penangkap ikan nantinya hanya ke unit kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saja. Sebelumnya, harus mengajukan juga ke instansi-instansi lainnya.

Sementara alasan ketiga adalah UU Cipta Kerja akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Ini jelas, karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan mengintegrasikan ke dalam sistem perizinan secara elektronik, maka pungutan liar (pungli) dapat dihilangkan," tegas Presiden. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)