Dilema ASN Masa Pilkada

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Kamis, 29 Oktober 2020 | 15:31 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Dilema, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan.

Dilema itu kini dihadapi Aparatur Sipil Negara (ASN). Terutama ASN di daerah yang memasuki tahun politik, khususnya pemilihan kepala daerah (pilkada). Di satu sisi, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan bahwa abdi negara harus bebas dari kepentingan politik. Namun di sisi lain, fakta di lapangan berbicara hal sebaliknya.

Posisi ASN memang bisa dibilang serba salah, apalagi ketika nama petahana. ASN mengambil sikap netral berisiko dianggap tidak mau mendukung petahana. Sementara jika mendukung petahana, maka risikonya adalah karir tak terjamin saat calon kepala daerah yang menang bukan petahana.

Oleh karenanya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai netralitas ASN sebetulnya merupakan masalah dari kontestan dan partai politik. Sebab, kalau mereka tidak ikut menarik-narik ASN agar tidak netral, tentu perasaan serba salah itu tidak akan dialami. Namun faktanya, kontestan pemilu, terutama petahana, kerap kali melakukannya.

Salah satu contohnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pernah ada seorang gubernur yang memenangkan pilkada setelah membagikan anggaran untuk semua guru dan perawat di wilayahnya, termasuk bidan yang diberikan telepon genggam. Melalui modus ini, yang bersangkutan berhasil terpilih untuk dua periode.

Sikap petahana dan partai politik yang memancing-mancing ASN untuk tidak netral seperti itulah yang justru membuat ASN profesional kehilangan pegangan. Sementara mereka yang tidak kompeten malah senang, karena itu bisa menjadi celah pengembangan karir.

Kalau kondisi tarik menarik politik pada pemilu lokal itu terus terjadi, KPK pun mengkhawatirkan akan menyuburkan ASN tak profesional yang mengembangkan karirnya dengan tanpa peduli asas profesional, kompetensi, dan kedisiplinan.

Fakta ini juga diamini oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menyebut ASN mengalami masalah klasik, yaitu mempunyai hak pilih tetapi wajib netral dalam setiap ajang pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Maka itu, ASN dalam posisi serba salah. Di satu sisi wajib menyalurkan hak pilihnya, namun di sisi lain tidak boleh terang-terangan memihak kepada pasangan calon.

Berdasarkan pantauan Bawaslu, dalam satu bulan pertama tahapan kampanye pilkada serentak 2020, pemberian dukungan terhadap pasangan calon (paslon) peserta pilkada melalui media sosial (medsos) menjadi tren tertinggi pelanggaran netralitas ASN dari 16 bentuk pelanggaran yang ada.

Dalam webinar bertajuk "Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2020" yang berlangsung pada Selasa (27/10/2020), Ketua Bawaslu Abhan mengungkapkan bahwa sampai saat ini tercatat sebanyak 790 temuan atas dugaan pelanggaran netralitas ASN dan 64 laporan dari masyarakat, di mana hasilnya 767 kasus ditindaklanjuti rekomendasi ke Komisi ASN (KASN) dan 87 kasus bukan pelanggaran.

"Tren pelanggaran tertingginya ASN memberikan dukungan melalui medsos, yakni sebanyak 319 kasus, lainnya seperti ASN menghadiri atau mengikuti acara silaturahim, ASN mempromosikan diri sendiri dan orang lain, dan sebagainya," imbuh Abhan.

Upaya Menjaga Netralitas

Lalu apa yang dilakukan pemerintah dalam menjaga netralitas ASN? Salah satunya, Kementerian PANRB menginisiasi penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pengawasan Netralitas ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bawaslu, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan KASN.

Tujuan penetapan SKB ini adalah sebagai pedoman bagi instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menjaga netralitas ASN, khususnya pada penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Di samping itu, juga untuk membangun sinergitas, meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengawasan netralitas, serta mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas.

Pasalnya, netralitas ASN akan menjadi jaminan bagi penyelenggaraan birokrasi yang akuntabel sekaligus iklim demokrasi yang sehat dalam pemilihan umum yang menganut prinsip langsung, umum, bebas, mandiri, jujur, dan adil atau luber jurdil.

Di sinilah perang penting yang diemban pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga netralitas ASN. Sebab, instansi pemerintah memiliki sejumlah kewenangan, mulai dari penyusunan program hingga pengalokasian anggaran untuk melaksanakan berbagai kegiatan, baik untuk pilkada ataupun bukan.

Melalui SKB ini, kelima kementerian/lembaga yang terlibat akan tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Netralitas ASN. Selain mengawasi netralitas, Satgas tersebut juga akan melindungi ASN dari ancaman-ancaman yang bersifat politis.

Upaya kedua adalah kampanye Gerakan Nasional Netralitas ASN yang diinisiasi oleh KASN dengan menggandeng sejumlah pihak yang dinilai dapat semakin memperkuat pengawasan netralitas ASN. Salah satunya adalah KPK.

Selain karena mitra strategis KASN dalam Sekretariat Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK), KPK juga dipilih mengingat adanya potensi pelanggaran netralitas ASN yang menjurus ke tindak pidana korupsi.

Melalui sinergisitas ini, kedua lembaga berkomitmen memberikan atensi terhadap daerah dengan kecenderungan pelanggaran netralitas yang tinggi dalam pilkada serentak 2020.

Bukan tanpa sebab para pemangku kepentingan terkait pilkada dan netralitas ASN memperkuat kerja sama. Pasalnya, fakta di lapangan membuktikan masih saja terdapat pelanggaran netralitas yang dilakukan.

Berdasarkan data KASN, pelanggaran netralitas terbesar justru dilakukan oleh ASN yang memangku Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), yakni sebesar 33 persen. Disusul kemudian jabatan fungsional sebesar 17 persen, jabatan administrator sebesar 13 persen, jabatan pelaksana sebesar 12 persen, dan jabatan kepala wilayah (lurah dan camat) sebesar 7 persen.

Sementara, 10 besar pelanggaran netralitas oleh instansi pemerintah berturut-turut adalah (1) Kabupaten Sukoharjo, (2) Kabupaten Purbalingga, (3) Kabupaten Wakatobi, (4) Kabupaten Sumbawa, (5) Kota Banjarbaru, (6) Kabupaten Muna Barat, (7) Provinsi Nusa Tenggara Barat, (8) Kabupaten Banggai, (9) Kabupaten Dompu, dan (10) Kabupaten Muna.

Adapun sebanyak 283 ASN yang terbukti melakukan pelanggaran telah mendapat rekomendasi penjatuhan hukuman. Namun, baru 99 orang atau 34,9 persen yang mendapat sanksi dari kepala daerah selaku PPK setempat.

Terkait itu, BKN pun mendukung rekomendasi KASN yang tidak ditindaklanjuti oleh PPK dengan menangguhkan data administrasi kepegawaian ASN yang bersangkutan. Dengan demikian, ASN tersebut tidak akan bisa naik pangkat, rotasi jabatan, hingga promosi jabatan sampai rekomendasi KASN ditindaklanjuti oleh PPK. (Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)