Catatan Positif Penegakan Hukum 1 Tahun Jokowi-Amin

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 20 Oktober 2020 | 16:07 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik - Isu penegakan hukum memang tidak disinggung dalam lima program prioritas Presiden Joko Widodo dan Wapres Maruf Amin untuk periode 2019-2024 saat pelantikan di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, 20 Oktober 2019.

Namun demikian, itu bukan berarti Presiden Joko Widodo tidak serius dalam isu penegakan hukum pada periode kedua kepemimpinannya ini. Setidaknya ada tiga catatan positif yang berhasil ditorehkan dalam satu tahun terakhir.

Ekstradisi Maria Pauline Lumowa

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) berhasil membawa pulang Maria Pauline Lumowa (MPL), buronan pelaku pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) senilai Rp1,7 triliun, dari pemerintah Serbia pada 9 Juli 2020.

Keberhasilan ini tidak lepas dari upaya diplomasi hukum dan hubungan baik kedua negara, serta menjadi buah manis komitmen pemerintah dalam upaya penegakan hukum yang berjalan panjang.

Proses pemulangan ini sempat mendapatkan gangguan dari salah satu negara Eropa dan upaya hukum dari MPL. Namun, berkat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi pemerintah Serbia, negara tersebut tetap tegas pada komitmennya untuk mengekstradisi MPL ke Indonesia walau kedua negara belum saling terikat perjanjian ekstradisi.

Di sisi lain, keberhasilan proses ekstradisi MPL juga tak lepas dari asas resiprositas atau timbal balik. Sebelumnya, Indonesia sempat mengabulkan permintaan Serbia untuk mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah, Nikolo Iliev, pada 2015.

Satu hal yang perlu diingat. Ekstradisi MPL bukanlah akhir dari proses penegakan hukum terhadap buronan yang telah melarikan diri selama 17 tahun tersebut. Menkumham memastikan akan menyelesaikan kasus ini sampai tuntas, termasuk melakukan pemulihan aset yang dimiliki MPL di luar negeri.

Mengingat MPL merupakan warga negara asing, Kemenkumham memastikan akan mematuhi prosedur hukum yang berlaku dengan memberi akses kepada kedutaan besarnya sebagai bagian perlindungan terhadap warga negara mereka.

Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama MPL. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia.

Akhir Pelarian Djoko Tjandra

Mungkin tanggal 30 Juli 2020 jadi hari yang tidak akan terlupakan bagi Djoko Sugiarto Tjandra. Pada hari itu, pelarian pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1950 tersebut akhirnya terhenti. Dia ditangkap oleh Polri di Kuala Lumpur, Malaysia, tepat sehari sebelum Iduladha 1441 Hijriah.

Djoko Tjandra atau Tjan Kok Hui ditangkap tim Polri yang dipimpin Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Listyo Sigit dengan dibantu Polisi Diraja Malaysia. Djoko Tjandra langsung dibawa pulang ke Indonesia untuk diadili terkait kasus pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999.

Buronan yang telah kabur selama 11 tahun itu tiba pada pukul 22.40 WIB di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, bersamaan terdengarnya gemar takbir yang menyambut datangnya Hari Raya Kurban.

Akhir pelarian Djoko Tjandra bermula saat Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang buron bertahun-tahun itu telah kembali ke Tanah Air pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Kembalinya sang buronan ini pun menyeret sejumlah pejabat di Polri mengingat menurut aturan pencekalan seharusnya Djoko Tjandra tidak bisa lagi masuk ke Indonesia.

Mereka yang diduga terlibat adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet. Ketiganya langsung dimutasi jabatan oleh Kapolri Jenderal Idham Azis.

Berdasarkan hasil penyelidikan, Prasetijo Utomo diketahui mengeluarkan surat jalan untuk Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri tanpa seizin pimpinan. Tak hanya itu, pemberian surat keterangan sehat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra juga melibatkan Prasetijo Utomo.

Dengan surat jalan tersebut, Djoko Tjandra diduga melakukan perjalanan ke Pontianak, Kalimantan Barat, untuk kemudian terbang dengan pesawat pribadi ke Malaysia. Prasetijo Utomo pun ditetapkan statusnya sebagai tersangka atas kaburnya terpidana Djoko Tjandra.

Kini, Kejaksaan Agung telah mengeksekusi Djoko Tjandra dan langsung ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba cabang Mabes Polri untuk menjalani vonis hukuman yang dijatuhkan kepadanya oleh MA, yakni 2 tahun penjara.

Tidak berhenti di sini, Polri berkomitmen akan tetap mengusut tuntas perkara pelarian Djoko Tjandra dan membuka penyelidikan terkait dugaan adanya aliran uang ke sejumlah pihak.

Perjanjian MLA RI-Swiss

Arah baru dalam pemberantasan korupsi di tanah air dimulai. Optimisme penegakan hukum itu muncul usai Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 14 Juli 2020 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU.

RUU ini terdiri dari 39 pasal yang mengatur antara lain bantuan hukum mengenai pelacakan; pembekuan; membantu menghadirkan saksi; meminta dokumen, rekaman, dan bukti; serta penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset.

Kemudian penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana; mencari keberadaan seseorang dan asetnya; mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya; memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut; dan menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan.

Merespons disahkannya RUU MLA RI-Swiss menjadi UU, pemerintah memulai prosedur pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Langkah itu dimulai dengan membentuk tim bersama dengan Polri, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Mengingat perjanjian kerja sama ini menganut prinsip retroaktif seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2, maka pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan Swiss dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Tidak berhenti dengan Swiss, pemerintah juga akan terus mencoba menjalin perjanjian serupa dengan negara-negara lain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional. Sebelum Swiss, Indonesia sendiri juga telah menjalin kerja sama MLA dengan beberapa negara, seperti Rusia dan Iran.

Adapun salah satu negara yang akan diajak kerja sama bantuan hukum timbal balik berikutnya adalah Serbia. Walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draf perjanjian kerja sama dan akan dibahas bersama pada tahun depan setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Mengapa Serbia? Ini terkait berhasilnya proses ekstradisi MPL seperti yang sudah disebutkan di atas. Padahal, kedua negara sampai saat ini belum menjalin kerja sama ekstradisi. Tentu, ini menjadi sinyal positif bagi Indonesia dan Serbia untuk membawa hubungan baik tersebut ke arah yang lebih formal dengan payung hukum yang lebih jelas.

Dengan demikian, selain menjadi arah baru pemberantasan tindak pidana transnasional, perjanjian kerja sama bantuan hukum timbal balik antara Indonesia dan Swiss ini tentu sangat penting bagi pembangunan bangsa ini ke depan. Pasalnya, ada "uang lebih" di Swiss milik WNI yang tidak dilaporkan untuk menghindari pajak.

Catatan positif penegakan hukum dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Maruf Amin tentu tidak hanya tiga itu saja. Tetapi, setidaknya ketiganya dapat menjadi simbol keseriusan pemerintah dalam upaya penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk kasus-kasus hukum lama yang belum selesai. (Foto: Setkab)