Ingat! Abdi Negara Wajib Netral

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 15 September 2020 | 11:00 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 912


Jakarta, InfoPublik - Hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 semakin dekat. Kurang lebih tiga bulan lagi menuju 9 Desember 2020, hari penentuan siapa yang akan menjadi pemimpin di 270 daerah yang menggelar pilkada serentak.

Seperti pilkada-pilkada sebelumnya, salah satu masalah klasik yang selalu menjadi perhatian pemerintah, pihak penyelenggara, dan masyarakat adalah soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kontestasi politik tersebut.

Dalam rangka menjaga itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menginisiasi penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.

Adapun pihak yang terlibat dalam penandatanganan SKB secara virtual pada Kamis (10/9/2020) tersebut, antara lain Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)

Tujuan penetapan SKB ini adalah sebagai pedoman bagi instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menjaga netralitas ASN, khususnya pada penyelenggaraan Pilkada serentak 2020. Di samping juga untuk membangun sinergitas, meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengawasan netralitas, serta mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas.

Pasalnya, netralitas ASN akan menjadi jaminan bagi penyelenggaraan birokrasi yang akuntabel sekaligus iklim demokrasi yang sehat dalam pemilihan umum yang menganut prinsip langsung, umum, bebas, mandiri, jujur, dan adil atau luber jurdil.

Di sinilah perang penting yang diemban pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga netralitas ASN. Sebab, instansi pemerintah memiliki sejumlah kewenangan, mulai dari penyusunan program hingga pengalokasian anggaran untuk melaksanakan berbagai kegiatan, baik untuk pilkada ataupun bukan.

Belum lagi jika petahana menjadi salah satu peserta pilkada. Maka kebijakan mutasi kepegawaian dan jabatan, serta pembuatan kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi publik perlu diawasi dengan ketat.

Terkait itu, sesuai dengan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dalam jangka waktu enam bulan sebelum penetapan pasangan calon (paslon), kepala daerah tidak diperkenankan untuk melakukan mutasi pejabat, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.

Dalam hal pilkada serentak 2020, Kemendagri mencatat setidaknya hingga saat ini terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak berdasarkan aturan tersebut, kecuali untuk pejabat yang wafat atau pejabat yang mendapatkan masalah hukum, misalnya sebagai tersangka yang ditahan, kemudian juga untuk mengisi jabatan yang kosong sehingga harus diisi untuk efektivitas.

Melalui SKB ini, kelima kementerian/lembaga yang terlibat akan tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Netralitas ASN. Selain mengawasi netralitas, Satgas tersebut juga akan melindungi ASN dari ancaman-ancaman yang bersifat politis.

Dengan demikian, diharapkan keterlibatan ASN dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020 dapat berkurang dibandingkan pada pilkada serentak 2018. Berdasarkan catatan Bawaslu, sedikitnya ada 700 kasus ketidaknetralan oknum ASN, Polri, dan TNI pada pilkada dua tahun lalu tersebut.

Gerakan Nasional Netralitas ASN

SKB Pengawasan Netralitas ASN ini bukanlah satu-satunya upaya untuk mencegah abdi negara terlibat praktik politik praktis. Sebelumnya, sebagai lembaga yang diamanatkan untuk menjaga dan mengawasi netralitas ASN, KASN telah mencanangkan kampanye Gerakan Nasional Netralitas ASN pada 30 Juni 2020.

Dalam kampanye ini, KASN menggandeng sejumlah pihak yang dinilai dapat semakin memperkuat pengawasan netralitas ASN. Salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain karena mitra strategis KASN dalam Sekretariat Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK), KPK juga dipilih mengingat adanya potensi pelanggaran netralitas ASN yang menjurus ke tindak pidana korupsi.

Melalui sinergisitas ini, kedua lembaga berkomitmen memberikan atensi terhadap daerah dengan kecenderungan pelanggaran netralitas yang tinggi dalam pilkada serentak 2020.

Bukan tanpa sebab para pemangku kepentingan terkait pilkada dan netralitas ASN memperkuat kerja sama. Pasalnya, fakta di lapangan membuktikan masih saja terdapat pelanggaran netralitas yang dilakukan. Berdasarkan data KASN, hingga pertengahan Juni 2020 sebanyak 369 ASN dilaporkan atas kasus pelanggaran netralitas.

Bahkan, pelanggaran netralitas terbesar justru dilakukan oleh ASN yang memangku Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), yakni sebesar 33 persen. Disusul kemudian jabatan fungsional sebesar 17 persen, jabatan administrator sebesar 13 persen, jabatan pelaksana sebesar 12 persen, dan jabatan kepala wilayah (lurah dan camat) sebesar 7 persen.

Sementara, 10 besar pelanggaran netralitas oleh instansi pemerintah berturut-turut adalah (1) Kabupaten Sukoharjo, (2) Kabupaten Purbalingga, (3) Kabupaten Wakatobi, (4) Kabupaten Sumbawa, (5) Kota Banjarbaru, (6) Kabupaten Muna Barat, (7) Provinsi Nusa Tenggara Barat, (8) Kabupaten Banggai, (9) Kabupaten Dompu, dan (10) Kabupaten Muna.

Adapun sebanyak 283 ASN yang terbukti melakukan pelanggaran telah mendapat rekomendasi penjatuhan hukuman. Namun, baru 99 orang atau 34,9 persen yang mendapat sanksi dari kepala daerah selaku PPK setempat.

Terkait itu, BKN akan mendukung rekomendasi KASN yang tidak ditindaklanjuti oleh PPK dengan menangguhkan data administrasi kepegawaian ASN yang bersangkutan. Dengan demikian, ASN tersebut tidak akan bisa naik pangkat, rotasi jabatan, hingga promosi jabatan sampai rekomendasi KASN ditindaklanjuti oleh PPK.

Serba Salah

Posisi ASN dalam setiap pelaksanaan pemilu dinilai sejumlah pihak memang serba salah. KPK, misalnya, mengatakan bahwa ASN mengalami perasaan serba salah ketika pilkada memunculkan nama petahana.

ASN mengambil sikap netral pun berisiko dianggap tidak mau mendukung petahana. Sementara jika mendukung petahana, maka risikonya adalah karir tak terjamin saat calon kepala daerah yang menang bukan petahana.

Oleh karenanya, KPK menilai netralitas ASN sebetulnya merupakan masalah dari kontestan dan partai politik. Sebab, kalau kontestan dan partai politik tidak ikut menarik-narik ASN agar tidak netral, tentu perasaan serba salah itu tidak dialami. Namun faktanya, kontestan pemilu, terutama petahana kerap kali melakukan itu.

Salah satu contohnya, Menteri PANRB Tjahjo Kumolo beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pernah ada seorang gubernur yang memenangkan pilkada setelah membagikan anggaran untuk semua guru dan perawat di wilayahnya, termasuk bidan yang diberikan telepon genggam. Melalui modus ini, yang bersangkutan berhasil terpilih untuk dua periode.

Sikap petahana dan partai politik yang memancing-mancing ASN untuk tidak netral seperti itu malah membuat ASN profesional kehilangan pegangan. Sementara mereka yang tidak kompeten malah senang, karena itu bisa menjadi celah pengembangan karir.

Kalau kondisi tarik menarik politik pada pemilu lokal itu terus terjadi, KPK pun mengkhawatirkan akan menyuburkan ASN tak profesional yang mengembangkan karirnya dengan tanpa peduli asas profesional, kompetensi, dan kedisiplinan.

Fakta ini juga diamini oleh Bawaslu. Ketua Bawaslu Abhan menyebut ASN mempunyai masalah klasik, yaitu mempunyai hak pilih tetapi wajib netral dalam setiap ajang pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Maka itu ASN dalam posisi serba salah. Di satu sisi wajib menyalurkan hak pilihnya, namun di sisi lain tidak boleh terang-terangan memihak kepada pasangan calon.

Berdasarkan data Bawaslu, tren pelanggaran netralitas ASN pada pilkada serentak tahun ini paling tinggi dilakukan di media sosial (medsos). Oleh karenanya, Abhan mewanti-wanti para ASN supaya berhati-hati dalam menggunakan medsos untuk mengurangi, bahkan menghilangkan pelanggaran netralitas ASN. Sebab, menyukai unggahan gambar atau foto dari partai politik maupun pasangan calon di medsos bisa dianggap pelanggaran.

“Saya ingatkan para ASN untuk hati-hati dalam menggunakan medsos. Istilahnya ASN diam saja bisa salah, apalagi bergerak. Bisa lebih fatal kesalahannya,” tegas Abhan. (Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)