Sapu Bersih Radikalisme

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Kamis, 10 September 2020 | 05:02 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Maraknya isu radikalisme, utamanya di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN), membuat pemerintah tak bisa tinggal diam. Pemerintah pun menunjukkan keseriusannya untuk menangani radikalisme mulai dari dalam pemerintahan melalui sejumlah langkah.

Terbaru, Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) baru saja meluncurkan aplikasi ASN No Radikal, Rabu (2/9/2020).

Komitmen kebangsaan ASN, kata Menteri PANRB Tjahjo Kumolo, perlu terus ditingkatkan. Alasannya, karena sikap dan tindakan yang mengarah ke radikalisme di kalangan abdi negara dinilai semakin bertambah.

Pada 2018 lalu saja, Kementerian Dalam Negeri menyodorkan data sebanyak 19,4 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Data tersebut merujuk pada hasil survei yang dilakukan Alvara Research pada 2017.

Informasi lain, sebagaimana diungkap Menteri Pertahanan periode 2014-2019 Ryamizard Ryacudu, ada 3 persen anggota TNI yang terpapar paham radikal. Karenanya dibutuhkan pembinaan yang terus-menerus terhadap ASN yang terpapar radikalisme sebelum diambil tindakan yang tegas.

“Saya mendorong seluruh ASN untuk memiliki komitmen kebangsaan dan persatuan bangsa sebagaimana amanat dalam Pancasila dan UUD 1945,” tegas Menteri Tjahyo, saat peluncuran aplikasi ASN No Radikal sekaligus menjadi pembicara kunci webinar "Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparatur Sipil Negara" di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta.

Upaya memerangi radikalisme di kalangan ASN memang memerlukan langkah-langkah yang komprehensif melalui kolaborasi antarintansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Sebelum ini, usaha mewujudkan birokrasi bebas radikalisme dilakukan lewat penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN oleh 11 kementerian dan lembaga pada 12 November 2019.

Mereka yang terlibat adalah Kementerian PANRB, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Budaya, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Komisi Aparatur Sipil Negara.

Sebagai tindak lanjut SKB tersebut, kesebelas kementerian dan lembaga yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Radikalisme ASN itu telah membangun portal Aduan ASN (www.aduanasn.id) sebagai sistem pelaporan atas pelanggaran ASN dalam melakukan tindakan dan perilaku yang menentang Pancasila dan UUD 1945 atau membuat ujaran kebencian.

Dengan adanya portal ini, diharapkan masyarakat memiliki tempat pengaduan yang tepat terkait radikalisme yang dilakukan oleh ASN. Karena itu, pengaduan yang dilakukan harus didukung oleh data dan bukti yang memadai sehingga dapat ditindaklanjuti.

Setidaknya terdapat tiga mekanisme dalam menangani aduan ASN melalui portal yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut.

Pertama, menerima laporan pengaduan masyarakat. Kedua, melakukan pembahasan terhadap pengaduan masyarakat yang masuk. Terakhir, Satgas memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atau Pejabat yang Berwenang (PyB) yang bersangkutan.

Rekomendasi tersebut kemudian ditembuskan kepada Kementerian PANRB, Kementerian Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara untuk dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan hasil rekomendasi Satgas.

Adapun lima kriteria radikalisme negatif yang dapat diadukan melalui portal tersebut adalah intoleran, antisistem, anti-Pancasila, anti-NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa. Lebih rinci lagi, ada 11 kriteria pelanggaran yang dapat diadukan melalui portal Aduan ASN, yakni:

1. Menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;

2. Menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan;

3. Menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana pada angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost Instagram, dan sejenisnya);

4. Membuat pemberitaan yang menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan;

5. Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan, baik secara langsung maupun melalui media sosial;

6. Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;

7. Mengikuti ata menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;

8. Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaiimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial;

9. Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah;

10. Melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara, baik secara langsung maupun melalui media sosial; dan

11. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.

Menurut data Kementerian PANRB, hingga saat ini portal Aduan ASN telah menerima sebanyak 93 laporan pada tahap I, 49 laporan pada tahap II, dan 14 laporan pada tahap III.

Nah, jika portal Aduan ASN dibangun untuk menerima aduan dari masyarakat terkait ASN yang diduga terpapar radikalisme, aplikasi ASN No Radikal merupakan lanjutan dari portal tersebut untuk penyelesaian kasus radikalisme oleh PPK yang bersifat elektronik, bahkan dapat melakukan diskusi secara daring.

Sehingga aplikasi ini bertujuan memudahkan mekanisme penanganan pengaduan ASN yang diduga terpapar radikalisme. Terlebih, di era pandemi seperti sekarang ini menuntut semuanya lebih baik dilakukan secara daring sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan.

“Aplikasi ASN No Radikal ini juga berperan sebagai media pengawasan dan diskusi antarpimpinan kementerian/lembaga dan kepala daerah dalam penanganan ASN yang terpapar radikalisme,” tambah Menteri Tjahjo.

Apabila seorang ASN terbukti terpapar radikalisme, maka pemerintah akan memberhentikan sementara yang bersangkutan terlebih dulu untuk dibina. Akan tetapi jika sudah dilakukan pembinaan secara maksimal dan ASN tersebut tidak menunjukan tanda perubahan, maka terpaksa diberikan sanksi yang lebih tegas.

Satu hal yang perlu dicatat, seluruh upaya ini bukanlah merupakan bentuk pembungkaman kepada mereka yang mengkritik pemerintah seperti yang dituduhkan sebagian kalangan.

Sebab, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN menegaskan bahwa nilai dasar yang menjadi prinsip seorang ASN di antaranya adalah memegang teguh ideologi Pancasila serta setia dan mempertahankan UUD 1945 dan pemerintahan yang sah. (Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)