Kontroversi Layanan OTT

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 31 Agustus 2020 | 07:34 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 2K


Jakarta, InfoPublik - Industri penyiaran Indonesia saat ini sedang ramai diperbincangan warganet. Hal tersebut lantaran adanya pengajuan uji materi Pasal 1 angka 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, yakni terkait definisi penyiaran.

Adapun pemohon uji materi tersebut adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (INews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang menilai pengaturan penyiaran berbasis internet saat ini ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum.

Menurut pemohon, negara harus hadir di dalam aktivitas penyiaran sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, termasuk dalam yurisdiksi virtual.

Alasannya adalah karena jumlah migrasi pengguna siaran konvensional ke siaran berbasis internet terbilang cukup signifikan, mengacu pada studi Nielsen (2018) yang menyebut durasi menonton di platform digital telah mendekati durasi menonton di televisi konvensional.

Sayangnya, kata pemohon, migrasi tersebut tidak diiringi kewajiban penyedia layanan Over The Top (OTT) tunduk pada UU Penyiaran. Sementara pengaturan terhadap penyiaran melalui internet disebutnya tidak bisa hanya mengandalkan swaregulasi dari penyedia layanan aplikasi atau etika internet dari warganet.

Pemohon pun menyadari memang tidak sesederhana itu menambahkan layanan siaran berbasis internet ke dalam pengaturan UU Penyiaran. Sebab, diperlukan pendekatan konvergensi dengan penyatupaduan beberapa UU, di antaranya UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Penyiaran.

Bagaimana sikap pemerintah atas pengajuan uji materi ini? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dalam keterangannya menyanggah dalil pemohon yang menyebut konten siaran melalui internet harus dimasukkan ke dalam bagian penyiaran.

Mewakili Kemkominfo, Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (26/08/2020), mengatakan menyeragamkan pengaturan sejumlah media hanya karena menyalurkan bentuk informasi yang sama merupakan sebuah kekeliruan.

Lebih jauh lagi juga ditegaskan bahwa menyeragamkan aturan penyiaran dengan layanan audio visual melalui internet malah justru akan menimbulkan pemaknaan yang keliru terhadap definisi penyiaran.

Menurut Ramli, pemerintah telah memberikan alokasi khusus dalam menggunakan spektrum frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas untuk lembaga penyiaran televisi menyelenggarakan siaran free to air. Keterbatasan itu sudah diatur begitu rigid untuk kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat.

Kegiatan penyiaran pun hanya dapat dilakukan berdasarkan izin Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), Lembaga Penyiaran Publik (LPP), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) yang berbadan hukum Indonesia dan bidang usahanya khusus penyiaran, serta wilayah layanannya dibatasi di Indonesia.

Akibatnya, masyarakat tidak dapat memilih program siaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran tersebut karena penayangan program siaran tergantung kepada lembaga penyiaran.

Sementara dalam layanan OTT, masyarakat dapat memilih sendiri konten yang ingin dilihat. Selain itu, layanan OTT juga sangat beragam dan tidak hanya konten audio visual sehingga pengaturannya tergantung dari jenis layanan, antara lain UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Pers, UU Pornografi, UU Perdagangan, UU Hak Cipta, hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Nyatanya, kata Ramli, pengaturan penyedia layanan OTT di mana pun memang tidak pernah mudah. Di Indonesia sendiri, dari berbagai macam peraturan dan perundang-undangan, proses operasionalisasi, termasuk pengaturan OTT, lebih jauh tertera dalam Surat Edaran Menkominfo di mana regulasi yang lebih tinggi hingga kini masih dipersiapkan untuk bisa menjangkau itu semua.

Berdampak Luas

Penjelasan dari Kemkominfo tersebut membuka fakta baru bahwa apabila uji materi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran ini dikabulkan, maka dampaknya akan sangat luas. Tidak hanya kepada dua penyedia layanan audio visual melalui internet yang disebutkan dalam permohonan, yakni Youtube dan Netflix.

Selain berdampak luas, Ramli menyebut dikabulkannya uji materi tersebut juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam industri penyiaran maupun dalam tatanan kehidupan masyarakat.

"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan siaran dalam platform media sosial, seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, dan Youtube Live sebagai penyiaran yang wajib berizin. Tidak hanya itu, penggunaan telepon video melalui aplikasi perpesanan, bahkan layanan pertemuan daring pun dapat pula masuk dalam penyiaran," jelasnya.

Apabila kegiatan dalam media sosial itu juga dikategorikan sebagai penyiaran, maka perorangan, badan usaha, ataupun badan hukum akan dipaksa memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.

Lebih jauh, dampak langsungnya adalah perorangan atau badan usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan penyiaran itu menjadi pelaku penyiaran ilegal. Pengguna fitur siaran media sosial tanpa izin itu selanjutnya akan ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Belum lagi ketidakpastian hukum pembuat konten siaran di Indonesia terbatasi, sementara pelaku siaran melalui layanan OTT di luar Indonesia tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.

Untuk penertiban konten agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat, Ramli menilai penertiban konten pada layanan OTT lebih mudah dibandingkan pada lembaga penyiaran. Misalnya, dengan menggunakan UU ITE, UU Hak Cipta terkait pelanggaran hak cipta, lagu, dan film dengan mekanisme yang sudah ada, serta UU Pornografi yang memungkinkan penghilangan konten atau penutupan saluran melalui platform.

"Sudah ratusan saluran-saluran OTT yang ditutup oleh Kemkominfo karena menyiarkan konten negatif, seperti pornografi atau radikalisme," sebut Ramli.

Di sisi lain, lembaga penyiaran yang ada, termasuk para pemohon, sama sekali tidak dilarang untuk masuk ke bagian dari OTT dan berhak untuk membuat layanan-layanan lain dalam bentuk OTT. Pasalnya, RCTI dan INews TV diketahui juga memiliki saluran resmi di Youtube dengan jutaan pengikut.

​​​​​​​Namun demikian, Ramli pun mengakui diperlukan UU baru yang mengatur sendiri layanan siaran melalui internet dan hal itu merupakan ranah pemerintah dan DPR.

Hingga hal itu terjadi, untuk sementara waktu, Kemkominfo meminta agar MK menolak gugatan pemohon dan menyatakan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)