Sinyal Positif Mahkamah Agung

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Jumat, 7 Agustus 2020 | 10:02 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Pedoman pentinh itu diteken Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 8 Juli 2020. Itulah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Perma tersebut dibuat dengan maksud agar setiap penjatuhan pidana memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan untuk mewujudkan keadilan, sekaligus menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Isi Perma juga menjadi pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada para koruptor yang menyebabkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara.

Dalam menentukan berat atau ringannya pidana yang akan diberikan kepada koruptor, menurut Perma ini, hakim setidaknya harus mempertimbangkan dua faktor, yakni kategori kerugian keuangan atau perekonomian negara, serta tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan.

Terkait faktor pertama, Pasal 6 menyebutkan bahwa dalam mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 UU Tipikor, kerugian tersebut terbagi ke dalam empat kategori, antara lain paling berat (lebih dari Rp100 miliar), berat (lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar), sedang (lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar), dan ringan (lebih dari Rp200 juta sampai Rp1 miliar).

Sementara untuk perkara tindak pidana Pasal 3 UU Tipikor, kerugian terbagi ke dalam lima kategori, antara lain paling berat (lebih dari Rp100 miliar), berat (lebih dari Rp25 miliar sampai Rp100 miliar), sedang (lebih dari Rp1 miliar sampai Rp25 miliar), ringan (lebih dari Rp200 juta sampai Rp1 miliar), paling ringan (sampai Rp200 juta).

Terkait faktor kedua, Pasal 7 menyebutkan bahwa tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dalam menentukan kategori tersebut, hakim harus memperhatikan jumlah aspek kesalahan, dampak, dan keuntungan yang paling banyak. Bilamana aspek tersebar secara merata pada beberapa atau seluruh kategori, maka hakim dapat menentukannya pada kategori sedang.

Setelah memperimbangkan dua faktor di atas, selanjutnya hakim dapat menentukan rentang penjatuhan pidana yang akan diberikan dengan rincian sebagai berikut:

1. Kerugian negara kategori paling berat dengan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan secara berurutan dari tinggi hingga rendah adalah dipidana penjara 16-20 tahun/seumur hidup dan denda Rp800 juta sampai Rp1 miliar, penjara 13-16 tahun dan denda Rp650-800 juta, atau penjara 10-13 tahun dan denda Rp500-650 juta.

2. Kerugian negara kategori berat dengan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan secara berurutan dari tinggi hingga rendah adalah dipidana penjara 13-16 tahun dan denda Rp650-800 juta, penjara 10-13 tahun dan denda Rp500-650 juta, atau penjara 8-10 tahun dan denda Rp400-500 juta.

3. Kerugian negara kategori sedang dengan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan secara berurutan dari tinggi hingga rendah adalah dipidana penjara 10-13 tahun dan denda Rp500-650 juta, penjara 8-10 tahun dan denda Rp400-500 juta, atau penjara 6-8 tahun dan denda Rp300-400 juta.

4. Kerugian negara kategori ringan dengan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan secara berurutan dari tinggi hingga rendah adalah dipidana penjara 8-10 tahun dan denda Rp400-500 juta, penjara 6-8 tahun dan denda Rp300-400 juta, atau penjara 4-6 tahun dan denda Rp200-300 juta.

5. Kerugian negara kategori paling ringan dengan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan secara berurutan dari tinggi hingga rendah adalah dipidana penjara 3-4 tahun dan denda Rp150-200 juta, penjara 2-3 tahun dan denda Rp100-150 juta, atau penjara 1-2 tahun dan denda Rp50-100 juta. Ini hanya berlaku untuk tindak pidana Pasal 3 UU Tipikor.

Namun demikian, Pasal 16 menegaskan bahwa bila kerugian keuangan atau perekonomian negara di bawah Rp50 juta, maka hakim dapat tidak menjatuhkan pidana denda. Sementara jika tindak pidana dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, hakim dapat menjatuhkan pidana mati.

Di samping dua faktor di atas, dalam menjatuhkan pidana, hakim juga harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan dengan memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Sambutan Positif

Langkah MA menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor disambut positif oleh sejumlah pihak.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, berharap Perma tersebut dapat menjadi solusi bagi disparitas hukuman dalam kasus tipikor, meskipun pedoman pemidanaannya tidak untuk semua pasal tipikor, seperti penyuapan, pemerasan, dan bentuk tipikor lainnya.

Oleh karenanya, guna mendukung langkah MA, saat ini KPK juga masih dalam tahap finalisasi penyusunan pedoman tuntutan tipikor untuk seluruh pasal tipikor, tidak hanya kasus yang menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.

Sambutan positif juga dilayangkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebelum ada Perma ini, menurut ICW, disparitas hukuman kasus tipikor yang pada akhirnya berujung pada vonis ringan kerap kali terjadi.

Berdasarkan catatan ICW, sepanjang 2019 menunjukkan rata-rata hukuman bagi para koruptor hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Maka itu, hadirnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 diharapkan menjadi jawaban dari problematika disparitas hukuman kasus tipikor.

Pun demikian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Walaupun materi di dalam Perma tersebut dinilai seyogianya juga perlu dimasukkan ke dalam UU Tipikor guna mempertegas dan menguatkan hakim dalam menjatuhkan hukuman, YLBHI mengapresiasi upaya MA untuk mengisi ruang yang belum ada itu.

Mengutip Pasal 3, tujuan diterbitkannya pedoman pemidanaan ini memang untuk menjawab sejumlah hal di atas. Ada empat tujuannya. Pertama, memudahkan hakim dalam mengadili perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Kedua, mencegah perbedaan rentang penjatuhan pidana terhadap tindak pidana kedua pasal tersebut yang memiliki karakterisitik yang serupa tanpa disertai pertimbangan yang cukup dengan tidak mengurangi kewenangan dan kemandirian hakim.

Ketiga, mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan alasan dalam menentukan berat atau ringannya pidana terhadap perkara tindak pidana Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Terakhir, mewujudkan kepastian hukum, keadilan, serta kemanfaatan yang proporsional dalam menjatuhkan pidana terhadap perkata tindak pidana kedua pasal tersebut.

Melihat banyaknya sambutan positif di atas, tentu bisa saja tidak menutup kemungkinan MA dapat menerbitkan Perma yang juga memberikan pedoman pemidanaan kasus tipikor lainnya, seperti penyuapan dan pemerasan. Namun demikian, hadirnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 saja sudah menjadi sinyal positif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. (Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)