Meredakan Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 3 Agustus 2020 | 16:12 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 570


Jakarta, InfoPublik - Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan Indonesia untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Maka itu, Indonesia selalu mengedepankan politik luar negeri bebas aktif dalam berkontribusi menciptakan perdamaian dunia.

Salah satu konflik yang menjadi perhatian Indonesia sejak lama adalah ketegangan yang kerap terjadi di wilayah Laut Tiongkok Selatan (LTS). Bahkan, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) nampaknya juga tidak dapat menghentikan konflik di wilayah tersebut.

Bukan tanpa alasan. Pasalnya, ada banyak hal yang membuat beberapa negara saling berebut wilayah ini. Mulai dari letaknya yang strategis dikelilingi 10 negara, berkontribusi sebesar 10 persen dari kebutuhan ikan global, potensi 11 miliar barel kandungan cadangan minyak bumi dan 190 triliun kaki kubik kandungan cadangan gas alam, hingga total perdagangan yang melewati LTS mencapai USD5 triliun per tahun.

Konflik ini bermula ketika Tiongkok mengaku sebagai pemilik hampir seluruh kawasan LTS. Masalahnya, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina juga mengklaim hal yang sama. Pun Indonesia memiliki kawasan yang berbatasan langsung dengan LTS, yakni Kepulauan Natuna.

Bahkan, konflik yang terjadi akhir-akhir ini malah tidak melibatkan negara yang berada di kawasan LTS. Adalah Amerika Serikat (AS) yang turut memanaskan situasi setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Mike Pompeo menyampaikan dua pernyataan resminya, yakni Tiongkok tidak berhak mengklaim wilayah di LTS dan AS akan melakukan segala upaya untuk mencegah Tiongkok menguasai LTS.

“Kami minta Tiongkok tetap fokus mendukung upaya internasional untuk penanganan pandemi Covid-19, bukan memanfaatkan situasi dengan mengklaim wilayah di Laut Tiongkok Selatan,” demikian dikutip dari pernyataan Kemlu AS, April 2020 lalu.

Tak hanya itu, Angkatan Udara AS juga menerbangkan pesawat pembom B-1B dan drone mata-mata Global Hawk di atas wilayah LTS. Keduanya diterbangkan dari Guam untuk mendukung Komando Indo-Pasifik dan secara khusus melakukan misi di LTS.

Menurut laporan Angkatan Udara yang dimuat Fox News pada 10 Juni 2020, langkah AS tersebut merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempertahankan misi pengawasan dan pencegahan di wilayah LTS. Memang, untuk melawan klaim Tiongkok, Angkatan Laut AS kerap melakukan apa yang mereka sebut kebebasan patroli untuk menunjukkan bahwa LTS adalah perairan internasional atau laut lepas.

Sementara konflik terakhir yang melibatkan negara sekawasan adalah antara Tiongkok dan Vietnam. Pada awal Juni 2020 lalu, Kemlu Vietnam menyatakan bahwa dua kapal Tiongkok menyerang kapal nelayan mereka dan menyita peralatan serta hasil tangkapan nelayan Vietnam di LTS.

Seperti dikutip dari NHK, insiden itu terjadi di dekat Kepulauan Paracel yang terletak di antara garis pantai Vietnam dan Tiongkok. Kepulauan itu terdiri dari 30 pulau yang menyebar dan dikendalikan oleh Beijing, tetapi juga diklaim oleh Taipei dan Hanoi.

Vietnam pun meminta Tiongkok untuk menyelidiki masalah ini. Apalagi, insiden tersebut bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pada April 2020 lalu, sebuah kapal nelayan Vietnam ditabrak dan ditenggelamkan oleh kapal pengintai maritim Tiongkok di dekat Kepulauan Paracel.

Protes pun dilemparkan ketika Tiongkok mengumumkan pembentukan dua distrik administratif baru di LTS, yakni satu di Kepulauan Paracel dan lainnya Kepulauan Spratly. Sementara, kedua kepulauan tersebut saat ini masih menjadi sengketa.

Sikap Indonesia

Lalu bagaimana sikap Indonesia? Tentu, Indonesia, sebagai negara pendiri Gerakan Non-Blok (GNB)yang mendukung penuh terwujudnya perdamaian dunia, menyatakan prihatin atas meningkatnya ketegangan tersebut.

Menlu Retno Marsudi menegaskan bahwa situasi LTS yang stabil dan damai adalah harapan dari setiap negara. Oleh karenanya, menghormati hukum internasional, termasuk Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 merupakan kunci untuk mewujudkan harapan itu.

Indonesia menegaskan semua negara harus berkontribusi untuk memelihara kestabilan dan perdamaian di LTS. Maka itu, Indonesia meminta semua pihak untuk menahan diri tidak melakukan tindakan yang dapat menaikkan ketegangan di kawasan tersebut.

Posisi Indonesia di LTS, menurut Menlu Retno Marsudi, juga sangat jelas dan konsisten sejak dulu. Berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki klaim wilayah yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Maka itu, tidak ada relevansi bagi Indonesia untuk berdialog terkait batas kemaritiman dan delimitasi batas wilayah.

Namun demikian, Indonesia juga tidak akan tinggal diam ketika kapal-kapal Tiongkok beraktivitas di dekat perairan Natuna yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982.

Pada Januari 2020 lalu, misalnya, tiga Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), yakni KRI Karel Satsuit Tubun 356, KRI Usman Harun 359, dan KRI Jhon Lie 358 kembali mengusir kapal ikan Tiongkok saat mencari ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Tak tanggung-tanggung, 30 kapal Nelayan itu menebar jala di ZEE Indonesia dengan kawalan Coast Guard Tiongkok.

Atas kejadian itu, Pemerintah pun melayangkan nota protes terhadap Tiongkok. Namun, Tiongkok mementahkan dengan menyatakan bahwa negaranya memiliki hak historis dan berdaulat atas perairan di sekitar Kepulauan Nansha di LTS, yang dianggap Pemerintah masih wilayah ZEE Indonesia.

Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengerahkan TNI, termasuk beberapa jet F-16 dan kapal Angkatan Laut untuk mengamankan perairan Natuna.

Kode Etik

Guna mengakhiri ketegangan berlarut-larut akibat perebutan wilayah di LTS, Indonesia pun memprakarsai penyusunan Code of Conduct (CoC) atau Kode Etik yang nantinya akan mengatur negara-negara di sekitar kawasan LTS.

Kabar terakhir, 10 negara ASEAN dan Tiongkok telah menyepakati pembacaan pertama atau first reading isi CoC LTS pada Juli tahun lalu. Penyelesaian tahap pertama pembacaan isi CoC LTS ini merupakan kemajuan yang signifikan, mengingat Kode Etik tersebut telah digodok hampir dua dekade lamanya.

Kemudian, pada Oktober 2019, proses negosiasi CoC LTS telah memasuki tahap kedua. Namun, kini pembahasannya sedang ditunda sementara karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Oleh karena itu, Indonesia menyerukan kepada semua pihak yang terlibat untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan yang dapat mencederai rasa saling percaya.

Sebab, Indonesia percaya bahwa situasi kondusif di LTS dapat mendukung cepat terselesaikannya proses negosiasi CoC. Karena itu, Indonesia tetap berkomitmen untuk memastikan penyelesaian CoC yang efektif, substantif, dan dapat ditindaklanjuti meskipun di tengah pandemi Covid-19 saat ini. (Foto: Kemlu)