Garuda Sang Penjaga Perdamaian

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 28 Juli 2020 | 16:36 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 4K


Jakarta, InfoPublik - Diplomasi Indonesia berdiri tegak, bermartabat, memperjuangkan kepentingan nasional, dan berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas dunia. Indonesia secara konsisten melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif di tengah dunia yang penuh tantangan di mana konflik dan perang masih terjadi di beberapa tempat.

Penggalan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (Menlu) Tahun 2020 yang disampaikan Menlu Retno Marsudi pada awal tahun ini tersebut semakin menegaskan bahwa Indonesia akan selalu menjadi yang terdepan dalam menjaga perdamaian dunia.

Misi mulia tersebut sudah sesuai dengan tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Adapun salah satu upaya menjaga perdamaian dunia itu ditempuh melalui diplomasi politik luar negeri dengan berkontribusi pada Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sedikit informasi, MPP merupakan program utama PBB yang dibentuk sebagai instrumen untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Untuk tahun ini, berdasarkan data Departemen MPP PBB per 30 Juni 2020, tercatat lebih dari 75 ribu personel dari 120 negara, baik dari unsur militer, polisi, maupun sipil, telah diterjunkan di 13 MPP.

Pada awalnya, peran MPP PBB terbatas pada pemeliharaan gencatan senjata dan stabilisasi situasi di lapangan untuk memberikan ruang bagi usaha-usaha politik dalam menyelesaikan konflik. Dengan berakhirnya Perang Dingin, konteks pelaksanaan MPP PBB berubah dari misi tradisional yang mengedepankan tugas-tugas militer menjadi misi yang lebih multidimensional.

Sifat dari konflik yang harus dihadapi oleh MPP PBB juga mengalami perubahan. Sebelumnya, mayoritas MPP PBB dihadapkan pada konflik antarnegara. Sekarang, MPP PBB dituntut untuk dapat diterjunkan pada berbagai konflik internal dan perang saudara.

Di samping itu, MPP PBB juga dihadapkan pada realita semakin meningkatnya konflik yang bersifat asimetris, ancaman kelompok bersenjata, terorisme dan radikalisme, serta penyakit menular.

Oleh karenanya, dalam konteks internasional, partisipasi aktif Indonesia dalam MPP PBB merupakan indikator penting dan konkret terkait kontribusi dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Kontingen Garuda atau sering dikenal dengan Konga merupakan nama untuk pasukan penjaga perdamaian Indonesia yang terdiri dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian RI (Polri), dan sipil.

Sejak terlibat pertama kali pada 1957 hingga sekarang, Indonesia telah mengirimkan sebanyak 30 tim Konga yang ikut dalam MPP PBB di berbagai negara dan wilayah, di antaranya Mesir, Kongo, Vietnam, Timur Tengah, Iran, Irak, Kuwait, Namibia, Kamboja, Somalia, Bosnia, Herzegovina, Mozambik, Georgia, Filipina, Tajikistan, Sierra Leone, Liberia, Sudan, Nepal, dan Lebanon.

Kontribusi personel Konga pun tidak main-main. Mengutip laman resmi MPP PBB (peacekeeping.un.org), selama lima tahun terakhir saja Indonesia merupakan negara kontributor terbanyak dari Asia Tenggara. Sementara secara keseluruhan, peringkat Indonesia juga terus meningkat hingga masuk ke jajaran Top 10.

Pada 2015, Indonesia berada di peringkat 12 dengan 2.854 personel. Kemudian pada 2016 naik ke peringkat 11 dengan 2.745 personel dan terus naik di tahun-tahun berikutnya, yakni peringkat 9 dengan 2.688 personel (2017), peringkat 8 dengan 3.065 personel (2018), dan peringkat 8 dengan 2.897 personel (2019).

Sedangkan untuk tahun ini, hingga 30 Juni 2020, sebanyak 2.840 personel Konga telah diterjukan ke dalam delapan MPP PBB, antara lain UNIFIL di Lebanon, MONUSCO di Kongo, MINUSCA di Afrika Tengah, UNAMID di Dafur, MINUSMA di Mali, UNMISS di Sudan Selatan, UNISFA di Abyei, dan MINURSO di Sahara Barat.

Pasukan Perdamaian Perempuan

Dua tahun lalu, tepatnya 8 Juni 2018, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB bersama Jerman, Afrik​a Selatan, Belgia, dan Republik Dominika dengan masa kerja 2019-2020.

Sejak saat itu, kesempatan besar ini pun dimanfaatkan Indonesia untuk mendorong salah satu isu prioritas terkait MPP PBB, yaitu melanjutkan kontribusi dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia dengan meningkatkan peranan perempuan dalam proses perdamaian.

Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan jumlah dan peran pasukan perdamaian perempuan dalam rangka mendukung pencapaian target PBB untuk menggelar personel perempuan minimum sebesar 15% sebagai military observer dan staff officer dan 20% sebagai personel polisi di MPP PBB pada tahun ini.

"Pemajuan peranan perempuan dalam MPP menjadi poin yang krusial. Hal ini karena perempuan memegang peranan penting dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai pascakonflik," kata Menlu Retno Marsudi dalam Debat Terbuka di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, Mei 2019.

Bukan hanya sekadar wacana, kontribusi Indonesia sendiri dalam pengiriman pasukan perdamaian perempuan terus meningkat selama lima tahun terakhir. Secara berturut-turut sejak 2015, pasukan perempuan yang tergabung dalam Konga ada 31 orang, 60 orang (2016), 82 orang (2017), 77 orang (2018), dan 159 orang (2019). Sedangkan untuk tahun ini, hingga 30 Juni 2020, pasukan perempuan Indonesia ada sebanyak 158 orang.

Menlu Retno Marsudi punya alasan kuat mengapa jumlah pasukan perempuan harus diperbanyak dalam setiap MPP PBB.

Menurutnya, di banyak negara di mana MPP dilakukan, kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual terkait konflik kerap kali terjadi. Baik sebagai warga sipil maupun pejuang, perempuan dan anak-anak adalah korban terbanyak dalam suatu konflik.

Misalnya, perempuan yang dianggap sebagai anggota keluarga kombatan sering menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan dalam komunitas mereka. Hal ini tentu memengaruhi kemampuan mereka untuk bergerak bebas dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Di daerah-daerah di mana warga sipil yang terkena dampak konflik menerima bantuan kemanusiaan, perempuan dan anak perempuan dipaksa untuk memberikan imbalan seksual dan suap untuk menerima bagian dari bantuan kemanusiaan tersebut.

Melihat situasi tersebut, maka peran pasukan perdamaian perempuan pun menjadi sangat krusial dalam mengatasi masalah-masalah terkait kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual di daerah konflik.

Menurut Menlu Retno Marsudi, Indonesia percaya bahwa keberadaan perempuan sebagai personel penjaga perdamaian akan memberikan andil besar terhadap keberhasilan suatu misi dikarenakan perannya dalam konstruksi sosial di masyarakat serta aspek psiko-sosial yang membuat perempuan mempunyai keistimewaan dalam misi-misi kemanusiaan.

"Perempuan dinilai lebih peka terhadap situasi lingkungan dan budaya setempat sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan penjaga perdamaian perempuan," jelasnya.

Selain itu, keberadaan pasukan perdamaian perempuan juga memberikan rasa aman dan nyaman, terutama bagi anak-anak dan perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan seksual dalam suatu konflik.

Kemudian, penjaga perdamaian perempuan juga memainkan peran yang mengawali proses perdamaian dan panutan bagi para perempuan warga lokal dalam mendorong aktivitas-aktivitas pembinaan perdamaian, termasuk yang berkaitan dengan aspek keamanan, seperti proses gencatan senjata, demobilisasi, reintegrasi, serta negosiasi.

Oleh karena itu, selama satu tahun kemarin, Indonesia banyak melakukan investasi pada isu perempuan, perdamaian, dan keamanan. Selama Keketuaan Indonesia di DK PBB pada Mei 2019, pemberdayaan pasukan penjaga perdamaian perempuan menjadi salah satu topik utama pembahasan di DK PBB.

Selain itu, selama 2019, Indonesia juga menyelenggarakan Regional Training for Women, Peace, and Security; ASEAN Women Interfaith Dialogue; dan pembahasan isu women, inclusivity, and the state of democracy dalam Bali Democracy Forum yang dihadiri sejumlah menlu perempuan lainnya.

Di sela-sela Sidang Umum PBB, Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam peluncuran Global Alliance of Regional Women Mediator Networks.

Selanjutnya, Desember 2019, Indonesia juga menyelenggarakan dialog antara perempuan Indonesia dengan perempuan Afghanistan. Pada kesempatan tersebut, Indonesia mengharapkan perempuan Afghanistan akan dapat terus berkontribusi, baik dalam proses perdamaian maupun mengisi masa depan Afghanistan.

"Investing in women also means investing in peace. Perempuan merupakan aset. Perempuan dapat berkontribusi untuk perdamaian," tegas Menlu Retno Marsudi. (Foto: Kemlu)