Arah Baru Pemberantasan Tindak Pidana Transnasional

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Kamis, 16 Juli 2020 | 11:49 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 690


Jakarta, InfoPublik - Babak baru dalam pemberantasan korupsi di tanah air dimulai. Optimisme penegakan hukum itu, muncul usai Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU.

"Apakah dapat disetujui RUU tentang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss menjadi UU?" kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin sidang dalam Rapat Paripurna DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/07/2020), yang kemudian dijawab setuju oleh seluruh anggota DPR yang hadir.

Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU MLA RI-Swiss Ahmad Sahroni, RUU ini terdiri dari 39 pasal yang mengatur antara lain bantuan hukum mengenai pelacakan; pembekuan; membantu menghadirkan saksi; meminta dokumen, rekaman, dan bukti; serta penanganan benda dan aset untuk tujuan penyitaan atau pengembalian aset.

Kemudian penyediaan informasi yang berkaitan dengan suatu tindak pidana; mencari keberadaan seseorang dan asetnya; mencari lokasi dan data diri seseorang serta asetnya; memeriksa situs internet yang berkaitan dengan orang tersebut; dan menyediakan bantuan lain sesuai perjanjian yang tidak berlawanan dengan hukum di negara yang diminta bantuan.

Merespons disahkannya RUU MLA RI-Swiss menjadi UU, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut pemerintah akan memulai prosedur pengumpulan data dan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss. Langkah itu dimulai dengan membentuk tim bersama dengan Kepolisian RI (Polri), Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Mengingat perjanjian kerja sama ini menganut prinsip retroaktif seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2, maka pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara RI dan Swiss dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

"Bagusnya, UU ini bersifat retroaktif. Jadi, seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap kita lacak," tegas Menkumham Yasonna usai menghadiri Rapat Paripurna DPR RI.

Tidak berhenti dengan Swiss, menteri kelahiran Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, ini juga menyampaikan bahwa pemerintah akan terus mencoba menjalin perjanjian serupa dengan negara-negara lain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional. Sebelum Swiss, Indonesia sendiri juga telah menjalin kerja sama MLA dengan beberapa negara, seperti Rusia dan Iran.

Adapun salah satu negara yang akan diajak kerja sama bantuan hukum timbal balik berikutnya adalah Serbia. Menurut Menkumham, walaupun belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draf perjanjian kerja sama dan akan dibahas bersama pada tahun depan setelah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berakhir.

Mengapa Serbia? Seperti kita ketahui, beberapa waktu lalu pemerintah melalui Kemenkumham berhasil memulangkan Maria Pauline Lumowa, buronan selama 17 tahun atas kasus pembobolan kas Bank Negara Indonesia (BNI) senilai Rp1,2 triliun, dari Serbia melalui proses ekstradisi.

Padahal, kedua negara sampai saat ini belum menjalin kerja sama ekstradisi. Tentu, ini menjadi sinyal positif bagi Indonesia dan Serbia untuk membawa hubungan baik tersebut ke arah yang lebih formal dengan payung hukum yang lebih jelas.

Jalan Panjang MLA RI-Swiss

Disahkannya UU MLA RI-Swiss merupakan buah dari upaya panjang yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Pembicaraannya sudah dirintis pada 2007 saat Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta. Ketika itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide kedua negara bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negaranya.

Pembicaraan pun kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Namun semangat kedua negara sempat redup akibat berbagai hambatan, termasuk teknis pengembalian aset dan ketatnya aturan perbankan di Swiss.

Diskusi kemudian kembali hidup di era pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dan perundingan pertama pun digelar pada 28-30 April 2015 di Bali.

Delegasi Indonesia kala itu diketuai Direktur Hukum Internasional dan Otoritas Pusat yang kini menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar. Dua tahun berikutnya, tepatnya pada 30-31 Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss.

Barulah pada 4 Februari 2019, Menkumham Yasonna dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA RI-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.

Saat membacakan pendapat akhir Presiden atas RUU tentang MLA RI-Swiss, Menkumham Yasonna menyebut pengesahan ini akan meningkatkan efektivitas kerja sama pemberantasan tindak pidana yang bersifat transnasional, meliputi tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana fiskal.

"Penyelesaian kasus tindak pidana transnasional ini tidak mudah. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerja sama bilateral dan multilateral, khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan pengadilan," jelasnya.

Perkuat Pemberantasan Korupsi

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani berharap pengesahan RUU MLA RI-Swiss menjadi UU bisa memperkuat agenda pemberantasan korupsi nasional, terutama dalam pengejaran aset-aset terpidana kasus korupsi dan praktik pencucian uang sehingga proses pemulihan aset dari hasil tindak pidana tersebut bisa dilakukan.

Selain itu, Puan juga optimistis kejahatan perpajakan bisa ditanggulangi dengan pengesahan RUU ini. "Jadi nanti tidak perlu lagi ada amnesti pajak karena UU ini bisa digunakan untuk memerangi kejahatan perpajakan dan penghindaran pajak yang selama ini menjadi pekerjaan rumah kita," ujarnya.

Lebih lanjut Puan menilai UU MLA RI-Swiss menjadi penting karena menganut prinsip retroaktif atau berlaku surut. Artinya pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana antara Indonesia dan Swiss dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Pansus RUU MLA RI-Swiss Ahmad Sahroni mengungkapkan bahwa diperkirakan terdapat hampir Rp10.000 triliun pajak yang ditarik dari dana WNI di Swiss.

Dengan hadirnya UU ini, maka uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh negara tersebut bisa kembali ke Indonesia meskipun masih perlu waktu dan proses sampai RUU ini bisa diterapkan.

Di samping itu, Sahroni juga berharap UU ini menjadi dasar kekuatan untuk mendapatkan informasi yang valid terkait pajak dengan mudahnya mengakses data informasi dari orang Indonesia yang menaruh uangnya di sana.

Dengan demikian, selain menjadi arah baru pemberantasan tindak pidana transnasional, perjanjian kerja sama bantuan hukum timbal balik antara Indonesia dan Swiss ini tentu sangat penting bagi pembangunan bangsa ini ke depan. Pasalnya, ada "uang lebih" di Swiss milik WNI yang tidak dilaporkan untuk menghindari pajak. Sehingga, ada baiknya bila cinta Tanah Air uang tersebut dikembalikan untuk bangsa dan negara. (Foto: ANTARA FOTOSahrul Manda Tikupadang)