Adaptasi Kebiasaan Baru: Sebuah Keniscayaan

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Sabtu, 13 Juni 2020 | 20:04 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB memang menjadi strategi pemerintah dalam membendung penyebaran virus corona jenis baru (Covid-19) di Tanah Air. Tapi, itu bukanlah upaya penanganan jangka panjang.

Bila PSBB dilakukan secara terus menerus sampai vaksin ditemukan, dampaknya justru lebih berbahaya. Selain mengganggu sektor kesehatan dan sosial, perputaran roda perekonomian juga akan terhambat. Akibatnya, negara malah dikhawatirkan tidak akan dapat bertahan.

Maka itu, penerapan new normal atau adaptasi kebiasaan baru adalah sebuah keniscayaan dan pemerintah sedang menyiapkan itu. Oleh karenanya, saat ini Indonesia sedang dalam masa transisi menuju masa adaptasi kebiasaan baru.

Harapannya, tentu agar pemerintah dan masyarakat sama-sama tetap aman dari Covid-19 dan bisa kembali beraktivitas. Roda perekonomian kembali berputar dan di saat yang bersamaan perang melawan pandemi juga bisa dimenangkan.

Dalam masa transisi ini, pemerintah tengah gencar menyosialisasikan protokol kesehatan yang wajib dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat saat beraktivitas di luar rumah. Setidaknya ada empat hal, yaitu selalu memakai masker, rajin mencuci tangan memakai sabun pada air mengalir atau setidaknya membawa hand sanitizer, menjaga jarak fisik, dan menghindari kerumunan.

Pertanyaannya, kapan era adaptasi kebiasaan baru dimulai? Pemerintah sendiri belum menentukannya karena masih fokus untuk mendisiplinkan masyarakat selama masa transisi ini. Yang pasti, dalam menentukan kapan adaptasi kebiasaan baru dimulai, pemerintah akan hati-hati dan penuh perhintungan.

Presiden Joko Widodo sendiri sudah mewanti-wanti jajarannya untuk tidak terburu-buru. Ada lima hal yang ditekankan Kepala Negara sebelum adaptasi kebiasaan baru boleh diberlakukan.

Pertama, pentingnya prakondisi yang ketat. Sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara masif, terutama terkait protokol kesehatan. Untuk mendukung itu, Presiden juga telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri menghadirkan jajarannya di titik-titik keramaian untuk mengingatkan warga agar disiplin dan mematuhi protokol kesehatan.

Kedua, pentingnya perhitungan yang cermat dalam mengambil kebijakan yang harus didasarkan data dan fakta di lapangan. Terkait hal ini, Presiden meminta setiap kepala daerah yang ingin memutuskan daerahnya masuk ke fase adaptasi kebiasaan baru agar berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Ketiga, penentuan prioritas yang harus disiapkan secara matang mengenai sektor dan aktivitas mana saja yang bisa dimulai dan dibuka secara bertahap. Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan akan membuka sembilan sektor kegiatan ekonomi yang punya dampak positif terhadap hajat hidup orang banyak.

Sembilan sektor tersebut antara lain pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik, serta transportasi barang. Adapun pertimbangannya karena dinilai membawa risiko ancaman Covid-19 yang relatif lebih rendah.

Pelaksanaan pembukaan kembali sembilan sektor itu akan diserahkan ke kementerian terkait dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, edukasi, sosialisasi, dan simulasi secara bertahap.

Keempat, memperkuat konsolidasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, mulai dari provinsi hingga tingkat RT. Termasuk juga koordinasi di internal Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).

Tak lupa, Presiden juga berpesan agar dalam prosesnya harus melibatkan semua elemen masyarakat sehingga kita semua bergotong royong, bersinergi, dan bekerja sama menyelesaikan persoalan besar ini.

Terakhir, perlunya dilakukan evaluasi secara rutin. Meskipun sebuah daerah kasus barunya sudah menurun, Presiden mengingatkan agar jajarannya tidak lengah, terutama karena kondisi di lapangan masih sangat dinamis. Kembali lagi ke awal, keberhasilan pengendalian Covid-19 sangat ditentukan oleh kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.

Satu hal yang perlu diingat, penerapan adaptasi kebiasaan baru jelas bukan suatu bentuk kegagalan ataupun sikap menyerah pemerintah dalam penanganan Covid-19 di Tanah Air. Justru, penanganannya akan lebih serius dilakukan sehingga pemerintah dan masyarakat sama-sama tetap aman dan bisa kembali produktif di tengah pandemi.

"Karena kalau vaksinnya sudah ketemu itu masih harus ada uji klinis, uji lapangan, kemudian juga masih harus diproduksi yang memerlukan waktu. Oleh sebab itu, kita harus beradaptasi dengan Covid-19. Adaptasi kebiasaan baru. Dan beradaptasi itu bukan berarti kita menyerah, apalagi kalah,” tegas Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (10/06/2020).

Mau tidak mau, adaptasi kebiasaan baru memang merupakan jalan tengah terbaik yang dapat ditempuh pada saat ini selama vaksin Covid-19 belum ditemukan. Aktivitas publik dan pemerintahan tetap bisa berjalan dengan potensi penyebaran virus yang diminimalkan.

Pun Indonesia tidak sendiri. Bahkan, sejumlah negara di dunia ada yang sudah mulai menerapkan adaptasi kebiasaan baru. Sebut saja, Italia, Prancis, Jerman, Belgia, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, dan Selandia Baru.

Toh, pemerintah juga tidak mungkin selamanya mengimbau publik untuk tetap berada di rumah tanpa memberikan jaminan keberlangsungan hidup masyarakat dan memastikan tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Percayalah, pemerintah tidak mungkin membuka begitu saja kegiatan ekonomi dan aktivitas publik tanpa memastikan protokol kesehatan diterapkan secara ketat, karena kesehatan dan keselamatan masyarakat menjadi hal yang utama. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)