JAGA Bansos Jaga Hak Rakyat

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 3 Juni 2020 | 18:51 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 791


Jakarta, InfoPublik - Wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang sudah ditetapkan menjadi pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal Maret 2020 lalu membuat banyak negara harus memutar otak untuk mengatur kembali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka menyelamatkan warganya yang terdampak, baik secara kesehatan, ekonomi, dan sosial. Tak terkecuali Indonesia.

Di Tanah Air, pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp405,1 triliun. Tentu itu bukan angka yang sedikit. Dana sebesar itu merupakan hasil realokasi dari sejumlah anggaran kementerian/lembaga.

Adapun penggunaannya dibagi menjadi empat sektor, yakni belanja bidang kesehatan (Rp75 triliun), perlindungan sosial (Rp110 triliun), insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (Rp70,1 triliun), dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional (Rp150 triliun).

Melihat besarnya dana tersebut, tentu tidak dapat dipungkiri memunculkan potensi adanya penyalahgunaan. Khususnya, pada sektor perlindungan sosial yang mana dananya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Salah satunya dalam bentuk bantuan sosial (bansos).

Untuk mengawal penyaluran bansos, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi telah menambahkan fitur JAGA Bansos dalam aplikasi JAGA. Aplikasi JAGA sendiri bisa diunduh oleh masyarakat melalui gawai dengan sistem operasi Android ataupun iOs, atau langsung mengaksesnya di laman https://jaga.id.

Masyarakat bisa menggunakan fitur baru yang diluncurkan pada Jumat (29/5/2020) pekan lalu ini untuk melaporkan dugaan penyelewengan/penyalahgunaan bansos. Tak hanya itu, JAGA Bansos juga menyediakan informasi seputar bansos.

Keluhan atau laporan yang masuk ke JAGA Bansos nantinya akan langsung diterima KPK untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah daerah (pemda) terkait melalui unit Koordinasi Wilayah (Korwil) Pencegahan. Selanjutnya, KPK akan memonitor tindak lanjut penyelesaian laporan dan keluhan masyarakat tersebut.

“Kami berharap masyarakat bisa percaya untuk memberikan informasi melalui fitur JAGA Bansos ini, karena ini bisa jadi saluran bagi masyarakat untuk berperan aktif mengawal pengalokasian bansos dan mencegah potensi terjadinya korupsi,” kata Ketua KPK Firli Bahuri saat peluncuran JAGA Bansos secara daring melalui akun Youtube KPK.

Bisa dibilang, penambahan fitur JAGA Bansos merupakan upaya ekstra yang dilakukan KPK dalam mengambil langkah-langkah antisipatif pencegahan korupsi. Pasalnya, KPK telah memitigasi titik-titik rawan korupsi dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Salah satunya terkait penyelenggaraan bansos sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, telah melakukan realokasi anggaran dalam jumlah yang sangat signifikan untuk JPS. Seperti sudah disebutkan di atas, di tingkat pusat, dari alokasi anggaran Rp405,1 triliun, bansos merupakan bagian dari komponen JPS senilai Rp110 triliun.

Sedangkan di tingkat daerah, dari alokasi anggaran Rp67,32 triliun, tercatat Rp25 triliun akan diberikan dalam bentuk bansos kepada masyarakat. Belum lagi alokasi bansos lainnya bersumber dari Dana Desa yang mengalokasikan secara berjenjang, yaitu 25-35% dari besaran Dana Desa atau senilai Rp21 triliun.

Selama ini pemerintah pusat telah memberikan bansos regular berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dengan adanya pandemi, maka cakupan penerima bantuan diperluas dan besaran bantuan diperbesar. Di samping itu, juga diperkenalkan bantuan baru, yakni bansos sembako dan tunai untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), dan luar Jabodetabek.

Kemudian di tingkat daerah, pemberian bansos juga dilakukan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang bersumber dari realokasi APBD. Maka itu, saat ini setidaknya ada tujuh jenis bantuan yang ditujukan untuk masyarakat miskin dan rentan miskin akibat pandemi.

Dalam pelaksanaannya, KPK menemukan bahwa penyaluran tujuh jenis bansos tersebut menimbulkan kegaduhan di masyarakat di sejumlah daerah. Salah satu persoalan utamanya adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang belum diperbaharui oleh pemda.

Selain itu, KPK juga menemukan adanya pemahaman yang keliru tentang penerima manfaat bansos. Oleh karenanya, KPK memandang penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang jenis bansos, kriteria penerima bantuan, dan informasi bahwa tidak semua jenis bansos diterima, tetapi bersifat substitusi.

Rentannya penyimpangan dalam penyaluran bansos pun mendorong KPK mengambil langkah antisipatif lainnya. Salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penggunaan DTKS dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke Masyarakat.

Melalui SE tersebut, KPK mendorong penggunaan sekaligus sebagai kesempatan untuk melakukan pemutakhiran DTKS oleh pemda melalui dinas sosial di mana data tersebut kemudian dipadankan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Sebab, KPK meyakini data by name by address penerima bantuan tidak akan fiktif ketika ada NIK. Saat ini, pemadanan 96 juta data DTKS sedang berjalan dengan sekitar 70 Juta sudah padan atau sudah memiliki NIK.

Di samping itu, KPK juga meminta kementerian, lembaga, pemda, dan instansi lainnya agar transparan dan akuntabel dalam menyalurkan bantuan dengan membuka akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan, dan anggaran yang tersedia, serta menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat.

Hadirnya fitur JAGA Bansos ini diharapkan bukan hanya membantu masyarakat dalam mendapatkan haknya, tetapi juga menjadi pengawasan bersama pelaksanaan tugas pemerintah dalam menjamin kesejahteraan masyarakat pada masa pandemi Covid-19.

Hukuman Mati

Jauh hari sebelum meluncurkan fitur JAGA Bansos, KPK juga sudah mengingatkan semua pihak untuk tidak melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19. Apabila tetap ada yang nekat, maka hukuman mati menantinya.

Bukan gertak sambal. Ancaman hukuman mati tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jelas disebutkan dalam Pasal 2 bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam beleid ini adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Seperti kita ketahui, pandemi Covid-19 sudah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional. Karenanya, hukuman mati bisa dijatuhkan.

Selain itu, KPK juga menerbitkan SE Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 Terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.

Pasalnya, saat ini salah satu kegiatan penting dalam penanganan Covid-19 adalah pengadaan barang dan jasa (PBJ), seperti pengadaan Alat Pelindung Diri (APD).

Di samping menerbitkan SE, KPK juga membentuk tim khusus untuk mengawal dan bekerja bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta pemangku kepentingan lainnya.

Langkah ini merupakan respons KPK terkait arahan Presiden agar lembaga antirasuah itu turut mengawasi proses percepatan penanganan Covid-19. KPK merasa perlu mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan keraguan bagi pelaksana di lapangan tentang pidana korupsi yang berpotensi dapat dikenakan kepada mereka. Padahal, saat ini kondisinya darurat dan membutuhkan kecepatan dalam eksekusinya.

Maka itu, dalam SE tertera rambu-rambu pencegahan sebagai pemberi kepastian bagi pelaksana pengadaan bahwa sepanjang unsur-unsur pidana korupsi tidak terjadi, maka proses PBJ tetap dapat dilaksanakan tanpa keraguan.

Beberapa prinsip yang ditekankan KPK dalam SE tersebut, di antaranya agar pelaksanaan PBJ selalu didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk aturan yang secara khusus dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).

Dari kajian yang pernah dilakukan maupun penanganan perkara, KPK mengidentifikasi sejumlah modus dan potensi korupsi dalam PBJ. Seperti, persekongkolan/kolusi dengan penyedia barang/jasa, menerima kickback, penyuapan, gratifikasi, benturan kepentingan, perbuatan curang, berniat jahat memanfaatkan kondisi darurat, hingga membiarkan terjadinya tindak pidana.

Dengan banyaknya instrumen pengawasan seperti ini, termasuk pengawasan langsung oleh masyarakat sebagai penerima manfaat, bisa menjadi peringatan bahwa tidak ada satupun yang dapat lolos jika berani nekat mengorupsi bansos. Ingat, hukuman mati menanti! (Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)