Melongok Penerapan Sanksi Pelanggar PSBB

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 25 Mei 2020 | 09:10 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 686


Jakarta, InfoPublik - Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, tercatat hingga 22 Mei 2020 ada empat provinsi dan 25 kabupaten/kota yang masih aktif menerapkan PSBB untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Keempat provinsi yang masih menerapkan PSBB adalah DKI Jakarta, Sumatra Barat, Jawa Barat, Gorontalo.

Sementara untuk kabupaten/kota antara lain Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Pekanbaru, Kota Banjarmasin, Kota Tegal, Kota Tarakan, Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kota Palangkaraya, Kabupaten Buol, Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjar Baru, Kota Palembang, Kota Prabumulih, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, dan Kota Dumai.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan keputusan pelonggaran terhadap kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal itu Kepala Negara sampaikan merespons munculnya anggapan yang keliru di kalangan masyarakat bahwa pemerintah sudah mulai melonggarkan kebijakan tersebut.

Adapun yang sedang dikaji oleh pemerintah saat ini ialah mengenai skenario beberapa tahap yang nantinya akan diputuskan apabila telah ditentukan periode terbaik bagi masyarakat untuk kembali produktif namun tetap aman dari Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

"Penentuan tersebut tentunya harus didasari pada data-data dan fakta di lapangan. Biar semuanya jelas. Karena kita harus hati-hati, jangan keliru kita memutuskan," tegas Presiden saat memimpin rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/05/2020).

Menurut Presiden, dalam beberapa minggu ke depan pemerintah masih tetap berfokus pada upaya pengendalian Covid-19 melalui larangan mudik dan mengendalikan arus balik. Maka itu, Kepala Negara menginstruksikan Kapolri yang dibantu oleh Panglima TNI untuk memastikan upaya tersebut dapat berjalan efektif di lapangan.

Presiden mengingatkan bahwa transportasi yang berkaitan dengan sejumlah urusan logistik dan keperluan esensial lainnya harus tetap berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.

Sementara untuk pengendalian Covid-19 di tingkat daerah, Presiden meminta menteri terkait dan para kepala daerah untuk memperkuat gugus tugas penanganan di tingkat RT, RW, dan desa. Pasalnya, Bali diketahui menjadi salah satu daerah yang melakukan penanganan optimal di tingkat desa dengan desa adatnya yang memiliki kearifan lokal yang dinilai bisa membuat masyarakat untuk merasa terikat dan membatasi pergerakan di tengah pandemi.

Dalam konferensi pers sebelumnya, Jumat (15/05/2020), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa apabila nantinya kehidupan sudah bisa normal kembali, masyarakat harus menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan Covid-19. Sebab, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah menyatakan bahwa terdapat potensi virus corona jenis baru ini tidak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat.

"Informasi terakhir dari WHO yang saya terima bahwa meskipun kurvanya sudah agak melandai atau nanti menjadi kurang, tapi virus ini tidak akan hilang. Artinya kita harus berdampingan hidup dengan Covid. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, berdamai dengan Covid-19. Sekali lagi, yang penting masyarakat produktif, aman, dan nyaman," tuturnya.

Namun demikian, Kepala Negara menegaskan bahwa hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan menjadi pesimis. Justru dari situlah menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat untuk dapat beraktivitas kembali sambil tetap melawan ancaman Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

"Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas. Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru," jelasnya.

Presiden yakin apabila masyarakat patuh terhadap imbauan pemerintah dan menerapkan protokol kesehatan ketat seperti menjaga jarak aman, mengenakan masker, dan sering mencuci tangan dengan sabun di saat tahapan masyarakat dapat kembali produktif, maka akan dapat melindungi diri dari virus tersebut.

Sanksi Pelanggaran PSBB

Bagaimana penerapan sanksi bagi pelanggar PSBB di sejumlah daerah? Kita tengok dulu DKI Jakarta sebagai daerah pertama yang menerapkan PSBB sejak 10 April 2020 dengan dasar hukum Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020.

Untuk meningkatkan aturan, pada pertengahan Mei, DKI Jakarta juga menerbitkan Pergub Nomor 47 tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar dan/atau Masuk Provinsi DKI Jakarta dalam Pencegahan Penyebaran COVID-19. Dalam pergub tersebut, setiap orang yang hendak masuk atau keluar DKI Jakarta diwajibkan memiliki surat izin khusus yang hanya dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pada awal pelaksanaan PSBB, Polda Metro Jaya membangun 33 titik pengecekan (check point) di mana petugas di lapangan melakukan sosialisasi selama tiga hari dan selanjutnya melakukan tindakan tegas bagi pelanggar PSBB.

Salah satu sanksi yang diterapkan adalah seperti yang diberikan oleh petugas gabungan pemerintah kelurahan, TNI, dan Polri, yakni hukuman push up untuk remaja yang masih berkumpul dan tidak menggunakan masker saat pemberlakuan PSBB di Kepulauan Seribu, 13 April 2020.

Kemudian pada 21 April 2020, operasional 34 perusahaan atau tempat kerja di Jakarta ditutup sementara oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta hingga hari ke-12 pemberlakuan PSBB karena tidak memenuhi aturan dalam PSBB berdasarkan Pergub Nomor 33 Tahun 2020.

Dalam Pasal 10 pergub tersebut, ditegaskan hanya ada 11 sektor usaha yang diizinkan beroperasi selama PSBB, yakni kesehatan; bahan pangan/makanan/minuman; energi; komunikasi dan teknologi informasi; keuangan; logistik; perhotelan; konstruksi; industri strategis; pelayanan dasar, utilitas publik, dan industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional dan objek tertentu; serta kebutuhan sehari-hari.

Selain perusahaan yang ditutup, juga ada 44 pelaku usaha di luar 11 sektor diizinkan yang diberi peringatan karena memiliki izin dari Kementerian Perindustrian. Kemudian juga peringatan terhadap 203 tempat kerja yang dikecualikan karena tidak menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan Pergub Nomor 33 Tahun 2020.

Kemudian, berdasarkan data Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, pada Jumat (22/05/2020), pihaknya telah menyetorkan dana dari denda yang dibayarkan oleh 362 pelanggar PSBB, baik perorangan maupun perusahaan, sekitar Rp350 juta ke kas daerah. Jumlah denda tersebut berasal dari penegakan aturan Pergub Nomor 41 Tahun 2020.

Untuk pelanggaran lainnya, Satpol PP DKI Jakarta telah memberikan teguran tertulis kepada 8.511 warga, baik yang berkerumun melebihi 5 orang di luar ruangan hingga tidak mengenakan masker, sanksi kerja sosial yang mengharuskan pelanggar PSBB membersihkan fasilitas umum dengan rompi oranye khusus kepada 1.718 orang, dan menyegel sebanyak 452 tempat usaha yang melanggar Pergub Nomor 41 Tahun 2020

Berbeda dengan Ibu Kota Negara, di Pekanbaru, Riau, pelanggar PSBB harus menjalani sidang pengadilan pada 19 Mei 2020. Pengadilan Pekanbaru pun memutuskan hukuman terhadap enam pelanggar PSBB di Ibu Kota Provinsi Riau tersebut berupa denda dengan jumlah bervariasi, yakni Rp125 ribu hingga Rp600 ribu subsider 1 bulan kurungan.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru Robi Harianto menerangkan bahwa para terdakwa didakwa dengan Pasal 216 Ayat (1) KUHP, yakni dengan sengaja tidak mematuhi peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Wali Kota Nomor 235 tahun 2020 tentang Pemberlakuan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di Kota Pekanbaru.

Evaluasi PSBB

Berdasarkan data yang ada, pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah memang memberikan hasil dan efektivitas yang bervariasi.

Ada daerah yang mengalami penurunan kasus positif Covid-19 secara gradual, konsisten, namun tidak drastis. Ada juga daerah yang mengalami penurunan kasus namun masih mengalami fluktuasi dan belum konsisten. Ada pula daerah yang menerapkan PSBB namun berdasarkan jumlah kasus positif yang ada tidak terpaut jauh dari sebelum pelaksanaan PSBB.

"Hal-hal seperti ini perlu digarisbawahi. Ada apa? mengapa?" tanya Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/5/2020) bersama jajaran terkait untuk mengevaluasi pelaksanaan PSBB dan penerapan physical distancing (jaga jarak) beserta protokol kesehatan di sejumlah daerah.

Selain itu, data di lapangan juga mengungkapkan bahwa dari 10 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak, hanya tiga provinsi yang melaksanakan PSBB, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Barat. Sedangkan sisanya tidak menerapkan PSBB.

Maka itu, Presiden mengatakan diperlukan adanya evaluasi terhadap provinsi, kabupaten, dan kota yang tidak melakukan PSBB dan menjalankan kebijakan jaga jarak serta menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

"Ini harus dibandingkan yang PSBB maupun yang non-PSBB karena memang ada inovasi-inovasi di lapangan dengan menerapkan model kebijakan pembatasan kegiatan di masyarakat yang disesuaikan dengan konteks di daerah masing-masing," jelas Presiden.

Dalam hal penerapan PSBB, Presiden menekankan agar dalam implementasi dan pelaksanaannya, masing-masing daerah tidak terjebak pada batas-batas administrasi kepemerintahan. Menurutnya, pelaksanaan PSBB menuntut penanganan sebuah kawasan besar yang saling terhubung sehingga manajemen antardaerah dalam wilayah besar tersebut menjadi terpadu dalam konteks PSBB.

"Misalnya diterapkan oleh wilayah Jabodetabek yang saling berkaitan sehingga pengaturan mobilitas sosial dari masyarakat dapat dilakukan secara terpadu dan lebih baik," katanya.

Di samping itu, Presiden juga meminta Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk benar-benar memastikan upaya pengendalian Covid-19 di lima provinsi (selain DKI Jakarta) di Pulau Jawa berjalan dengan efektif. Pasalnya, sebanyak 70 persen kasus positif Covid-19 dan 82 persen angka kematian tertinggi terdapat di Pulau Jawa.

Sementara terkait rencana pelonggaran PSBB yang saat ini sedang dikaji, Presiden mengingatkan jajarannya bahwa kajian-kajian tersebut harus didasari dengan perhitungan cermat dan data-data di lapangan yang mendukung pengambilan keputusan tersebut.

"Terakhir, mengenai pelonggaran untuk PSBB agar dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Semuanya didasarkan pada data-data dan pelaksanaan di lapangan sehingga keputusan itu betul-betul sebuah keputusan yang benar. Hati-hati mengenai pelonggaran PSBB," tegas Presiden.

Syarat Pelonggaran

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo yang juga Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyampaikan bahwa rencana pelonggaran PSBB pada Juli mendatang harus dipikirkan secara hati-hati dan tidak terburu-buru.

Untuk sektor mana saja yang akan dilonggarkan, menurut Doni, Presiden telah memberikan instruksi kepada Gugus Tugas untuk menyiapkan suatu simulasi agar apabila mengambil langkah-langkah untuk pelonggaran, maka tahapan-tahapannya harus jelas. Disebutkan, ada empat hal yang akan menjadi pertimbangan Gugus Tugas dalam menyusun simulasi tersebut.

Pertama, sebelum menerapkan pelonggaran PSBB, pemerintah daerah harus melakukan sebuah prakondisi. Prakondisi di sini adalah mengadakan rangkaian kajian akademis yang melibatkan pakar di bidang epidemiologi, kesehatan masyarakat, sosiologi, komunikasi publik, dan ekonomi kerakyatan, serta para tokoh masyarakat, ulama, dan budayawan.

Sehingga, perhitungan-perhitungan yang para pakar tersebut sampaikan bisa ditangkap nantinya oleh pemerintah, termasuk juga upaya dari Gugus Tugas untuk bekerja sama dengan beberapa lembaga survei untuk mendapatkan data yang akurat, terutama pada delapan provinsi.

Kedua adalah timing (waktu), yakni kapan pelonggaran dapat dilakukan. Doni menjelaskan apabila daerah itu belum menunjukkan tren kurva penularan Covid-19 menurun, apalagi melandai, maka tidak mungkin daerah tersebut diberikan kesempatan untuk melakukan pelonggaran PSBB.

Selain itu, timing ini juga berhubungan dengan kesiapan dan kepatuhan masyarakat. Kalau tingkat kesiapan dan kepatuhan masyarakat masih rendah, tentunya pelonggaran PSBB juga tidak mungkin dilakukan.

Ketiga adalah prioritas pelonggaran. Menurut Doni, yang menjadi prioritas pelonggaran adalah di bidang pangan, khususnya pasar dan restoran, serta memungkinkan juga yang berhubungan dengan kegiatan untuk menghindari masyarakat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Terakhir adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Terkait ini, Doni pun berpesan jangan sampai nanti diberikan pelonggaran PSBB tetapi ternyata ada penolakan. “Demikian juga mungkin dari daerah memutuskan minta pelonggaran atas inisiatif sendiri, ternyata pusat melihat belum waktunya. Jadi koordinasi pusat dan daerah ini menjadi prioritas kami,” sambungnya.

Doni berharap semua pihak harus betul-betul mematuhi ketentuan karena pandemi Covid-19 ini belum akan berakhir atau juga belum diketahui kapan akan berakhir, mengingat sampai hari ini belum ditemukan vaksin dan obat untuk menyembuhkan Covid-19. (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)