Skenario Pilkada di Tengah Pandemi

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 20 Mei 2020 | 11:46 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Pelaksanaan pesta demokrasi tahun ini yang semula akan digelar pada September terpaksa harus ditunda gara-gara pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, berdasarkan keputusan terakhir, akan digelar pada Desember 2020.

Merespons keputusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini tengah menggodok sejumlah hal terkait teknis tahapan Pilkada dengan tetap menerapkan protokol kesehatan jaga jarak fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan Covid-19.

Komisioner KPU Viryan Azis dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (17/05/2020), memaparkan gambaran bagaimana sejumlah tahapan Pilkada akan dilaksanakan di masa pandemi jika mengacu pelaksanaan pemungutan suara pada Desember mendatang.

Dimulai dari tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Idealnya, tahapan coklit harus dilakukan dari pintu ke pintu (door-to-door). Namun, mengingat kondisi saat ini tidak memungkinkan, pelaksanaannya akan dilakukan dengan pendekatan berbasis RT/RW.

"Itu idealnya. Tapi pendekatan door-to-door tidak disebut dalam Undang-Undang (Pilkada), di pasal 57 atau 58 ayat 3 yang disebut adalah melakukan coklit Daftar Pemilih Sementara (DPS) di wilayah RT/RW yang bersangkutan. Sehingga menjadi relevan kalau pendekatannya (coklit) digunakan berbasis RT/RW," jelas Viryan.

Oleh karenanya, KPU akan mengubah dua hal. Pertama, kegiatan regrouping (pengelompokan ulang) Tempat Pemungutan Suara (TPS) setiap Pemilu. Kedua, mengakhiri TPS yang berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang sekaligus sebagai momentum untuk menata manajemen pemutakhiran data pemilih yang lebih baik.

"Ke depan TPS bersifat permanen. Harapannya TPS berubah bisa dikurangi," ujar Viryan.

Terkait pemutakhiran data pemilih pada masa penerapan physical distancing, sebelumnya KPU telah mendapatkan data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari pemerintah sebanyak 105 juta. Sedangkan menurut data KPU dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada ada 101 juta.

Menurut UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, basis pemutakhiran data pemilih adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir. Berdasarkan data usai Pemilu 2019, maka terlihat selisih data antara DPT 2019 dengan DP4 kurang lebih 4-5 persen. Oleh karenanya, sejak November 2019, KPU sudah menggaungkan kepada KPU daerah agar melakukan pemetaan pemilih sejak dini.

"Bila perlu sampai detil, kami minta per desa/kelurahan dianalisis, berapa yang TMS (Tidak Memenuhi Syarat), berapa DPK (Daftar Pemilih Khusus) yang kemarin belum masuk layak dimasukkan, berapa DPK yang tidak bisa dimasukkan. Itu sejak November kami minta," ungkap Viryan.

Di samping itu, KPU juga memperhatikan tentang adanya potensi ketidaksesuaian data apabila datanya diambil hanya dari petugas RT/RW dan tidak turun langsung ke warga.

Pasalnya, pernah terjadi malapraktik Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) per TPS karena tidak bekerja secara door-to-door. Hal itu terjadi lantaran Pantarlih bekerja per TPS di mana satu TPS bisa terdiri dari dua sampai lima RT, sehingga sejumlah Pantarlih tidak bisa bekerja dengan baik karena harus bergerak dari RT ke RT.

Untuk itu, KPU akan menguatkan Pantarlih sehingga tidak lagi per TPS, namun per RT. Dengan adanya instrumen ini, menurut Viryan, tahapan coklit data pemilih sebetulnya memungkinkan dilakukan meski tidak harus mendatangi warga satu persatu.

Memang jumlah Pantarlih akan jauh lebih banyak karena kegiatan coklitnya dalam lingkup RT. Namun, kontak langsung dapat diminimalisir serta dimungkinkan Pantarlih berbasis RT tersebut tidak datang dari rumah ke rumah, karena sudah tahu siapa saja pemilih yang berada di wilayahnya.

"Beda kalau dia per TPS, dia harus berkunjung ke satu RT, kemudian dia ke RT lain. Dengan demikian lebih detil apabila RT/RW tersebut akan dijadikan petugas KPPS. Sehingga kalau nanti ada masalah, RT/RW lah yang bertanggung jawab. Karena dia sudah melakukan pemutakhiran data pemilih. Desain ini yang coba dibangun KPU dalam PKPU (Peraturan KPU)," terang Viryan.

Secara bersamaan, bila desain yang dirancang KPU tersebut disetujui, para pihak terkait dapat memangkas anggaran dengan mengganti kampanye secara manual menjadi secara daring atau online. Mau tidak mau, dengan asumsi data pada Pemilu 2019 kemarin yang datanya sudah 95 persen, coklit dengan pendekatan berbasis RT/RW semestinya bisa terlaksana dengan baik.

"Harapannya, 90 persen. Jadi kurang lebih selisihnya itu 3 sampai 4 juta. Ini kami memintakan kepada teman-teman sejak awal, kuasai data sehingga kita bisa hanya menambah kurang lebih 3-5 juta se-Indonesia besaran datanya," imbuh Viryan.

Selain tahapan coklit berbasis RT/RW, sejak Pemilu 2019, KPU juga sudah menyiapkan sistem coklit online sehingga masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan digital bisa juga memberikan input data pemilih kepada KPU secara daring.

Kemudian terkait pemenuhan hak sipil untuk mencalonkan diri di masa pandemi saat ini juga menjadi perhatian KPU agar formula penyelenggaraan pemilihan yang ada tetap menjamin kualitas penyelenggaraan yang baik untuk pemenuhan hak pilih warga negara.

Oleh karena itu, verifikasi faktual di lapangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 48 ayat (6) UU Pilkada bisa dilakukan dengan tiga pendekatan dalam situasi saat ini.

Pertama, verifikasi faktual secara langsung door-to-door. Kalau tidak memungkinkan, kedua, KPU memintakan kepada petugas dari pasangan calon agar pasangan calon dikumpulkan di satu tempat, baru KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) datang untuk verifikasi. Terakhir, verifikasinya menggunakan video call.

"Ini sudah kami normakan di PKPU, tapi ini untuk kondisi terakhir. Nah, apakah mungkin dibalik pakai video call dulu, atau diberikan tiga opsi dari opsi pertama, kedua, ketiga, ini terus kami cari jalan yang tidak melanggar UU namun tetap menjamin keselamatan masyarakat dan kegiatan itu bisa efektif dilaksanakan," jelas Viryan.

Skenario Penundaan Lagi

Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman mengakui bahwa pelaksanaan Pilkada serentak 2020 akan sangat tergantung pada perkembangan pandemi Covid-19. Artinya, jika pandemi ini belum berakhir hingga Desember 2020, maka Pilkada bisa ditunda lagi.

Adapun skenario yang sudah disiapkan KPU adalah menggeser pelaksanaan Pilkada pada Maret 2021 atau September 2021.

"KPU tak bisa perkirakan bencana ini akan selesai kapan, maka KPU keluarkan opsi berikutnya. Apabila tidak selesai dalam waktu yang kita perkirakan, maka diberi opsi dua, Maret 2021, kalau tak selesai juga, maka opsi kedua September 2021," ungkap Arief.

Dijelaskan, pertimbangan penundaan menjadi Maret 2021 atau September 2021 salah satunya adalah status tanggap darurat Covid-19 yang ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 29 Mei 2020.

Terkait itu, pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 hanya bisa digelar jika status tanggap darurat tersebut dicabut 29 Mei 2020.

"Jadi besok 29 Mei harus berakhir sehingga 30 Mei bisa mulai tahapan sosialisasi, aktifkan kembali badan ad hoc, dan tahapan lain yang ditunda untuk dilanjutkan," tuturnya.

Arief mengungkapkan, jika 29 Mei 2020 status tanggap darurat masih diperpanjang, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih diberlakukan, dan kurva pandemi masih naik atau belum melandai, maka KPU tidak akan berani ambil risiko menggelar Pilkada di tengah Covid-19.

"Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka tak bisa diselenggarakan Desember. Maka opsi kedua Maret 2021," lanjutnya.

Adapun syarat untuk menggelar Pilkada pada Maret 2021 adalah pandemi harus selesai pada Agustus 2020, termasuk PSBB sudah dicabut. Sebab, KPU harus mempersiapkan banyak tahapan yang melibatkan banyak petugas dan masyarakat sebelum pencoblosan.

"Kalau Agustus belum bisa, maka akan menuju opsi ketiga September 2021. Kalau ini ruang akan lebih longgar tersedia karena tahapan dimulai Februari 2021. Artinya, mungkin saja semua pemulihan sudah normal. Pemulihan ekonomi, transportasi, dan lainnya," kata Arief.

Perppu Pilkada

Sebelumnya, keputusan penundaan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dari September ke Desember berlaku setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi UU.

Perppu yang ditandatangani pada 4 Mei 2020 itu diterbitkan dengan mempertimbangkan bahwa penyebaran Covid-19 di Indonesia telah menimbulkan banyak korban jiwa, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu, dan juga telah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.

Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 19 Mei 2020, Covid-19 telah menginfeksi sebanyak 18.496 orang, di mana 4.467 di antaranya dinyatakan sembuh dan 1.221 meninggal dunia.

Selain itu, penanggulangan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional juga memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa, baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk dilakukannya penundaan pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020 agar pesta demokrasi tersebut tetap dapat berlangsung secara demokratis dan berkualitas.

Terdapat tiga perubahan dalam Perppu ini. Pertama adalah perubahan Pasal 120 dengan menambahkan bencana nonalam sebagai salah satu faktor dilakukannya pemilihan lanjutan. Selain itu, juga ada penambahan kata pemilihan serentak lanjutan, di mana sebelumnya hanya disebutkan pemilihan lanjutan saja.

Pada Ayat (1) disebutkan bahwa apabila sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan.

"Pelaksanaan pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahapan penyelenggaraan pemilihan atau pemilihan serentak yang terhenti,’’ bunyi Pasal 120 ayat (2) Perppu tersebut.

Perubahan kedua adalah disisipkan satu pasal di antara Pasal 122 dan Pasal 123, yakni Pasal 122A yang terdiri dari tiga ayat. Ayat (1) menyatakan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diterbitkan.

Sementara menurut Ayat (2), penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan diatur dalam Peraturan KPU,’’ bunyi Pasal 122A Ayat (3).

Pasal 201A menjadi perubahan yang ketiga, di mana pasal tersebut disisipkan di antara Pasal 201 dan Pasal 202. Pasal 201A Ayat (1) menyebut pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 Ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 Ayat (1).

"Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020,’’ bunyi Pasal 201A Ayat (2).

Jika pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak dapat juga dilaksanakan, maka menurut Pasal 201A Ayat (3) pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.

Dengan demikian, meski sudah diputuskan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 digeser ke Desember, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat dilakukannya penundaan kembali sampai waktu yang tidak ditentukan dengan melihat kondisi pandemi Covid-19 di Tanah Air apakah sudah berakhir atau belum. (Foto: ANTARA FOTO/Fauzan)