Teruntuk Israel: Setop Caplok Wilayah Palestina!

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Minggu, 3 Mei 2020 | 16:49 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 3K


Jakarta, InfoPublik - Sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap perjuangan Palestina atas kemerdekaannya tidak pernah padam dan berubah seiring perjalanan waktu. Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina setelah dideklarasikannya Negara Palestina di Aljazair, 15 November 1988.

Sejak saat itu, Indonesia terlibat aktif dalam berbagai perjuangan Palestina yang dituangkan dalam kerja sama di berbagai bidang termasuk peningkatan kapasitas.

Sebagai wujud dukungan lebih lanjut Indonesia kepada Palestina, pada 19 Oktober 1989, di Jakarta, telah ditandatangani "Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik" antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Ali Alatas dan Menlu Palestina Farouq Kaddoumi yang sekaligus menandai pembukaan Kedutaan Besar Palestina di Jakarta.

Duta Besar (Dubes) pertama Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat Kepercayaannya kepada Presiden RI Soeharto pada 23 April 1990. Sebaliknya, Pemerintah RI menetapkan bahwa Duta Besar RI di Tunis juga diakreditasikan bagi Palestina. Sejak 1 Juni 2004, akreditasi Palestina berada di bawah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yordania.

Sejak itu, melalui berbagai forum, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya secara penuh.

Dalam kaitan ini, Indonesia termasuk dalam negara-negara yang telah memberikan suara dukungan sehingga Palestina dapat menjadi anggota ke-195 Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Budaya (UNESCO) PBB pada 31 Oktober 2011, dan memperoleh status "negara" (non-member observer state), dari sebelumnya hanya berstatus "entitas" (non-member observer entity), dalam keputusan Sidang Majelis Umum PBB, 29 November 2012.

Namun demikian, selama beberapa dekade hingga sekarang, Palestina telah menjadi sasaran kebijakan Israel untuk menggusur rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri. Pengungsi Palestina terkungkung dalam pengungsian terbesar dan terlama di dunia, dan warga Palestina terus menanggung penjajahan terpanjang dalam sejarah kontemporer.

Permasalahan Palestina itu pun telah menjadi pembahasan yang terus berlanjut dan berlarut-larut di berbagai forum internasional. Di antara banyak negara yang mendukung perjuangan Palestina, Indonesia adalah salah satu negara terdepan dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.

Indonesia selama ini secara sinergis membantu upaya perjuangan Palestina melalui dukungan politik serta bantuan kemanusiaan, juga peningkatan kapasitas bagi rakyat Palestina, baik melalui mekanisme bilateral, trilateral, maupun forum multilateral. Indonesia berkomitmen untuk terus mengawal perjuangan bangsa Palestina.

Maka itu, Pemerintah RI memberi perhatian khusus pada perjuangan Palestina selama masa keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan (DK) PBB periode 2019-2020.

Teranyar, perhatian tersebut dapat dilihat saat DK PBB menggelar pertemuan “Open Debate” secara virtual, Kamis (23/4/2020), yang membahas kondisi terkini di Palestina dan kawasan Timur Tengah, termasuk dalam hadapi pandemi virus corona jenis baru (Covid-19).

Pada kesempatan tersebut, Indonesia mendesak DK PBB untuk segera menghentikan rencana Israel melakukan aneksasi (pencaplokan) formal wilayah Palestina dan kegiatan pembangunan pemukiman ilegal yang merupakan bentuk aneksasi senyap atau creeping annexation oleh Israel terhadap tanah Palestina di tengah merebaknya Covid-19.

“Dewan Keamanan PBB harus tegaskan posisinya untuk segera hentikan laju creeping annexation Israel dan mendorong Pemerintah Israel untuk penuhi kewajibannya sebagai occupying power, sesuai dengan hukum internasional, “ ujar Wakil Tetap RI untuk PBB, Dubes Dian Triansyah Djani di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat.

Sikap tegas Indonesia tersebut merespons kesepakatan pemerintahan koalisi Israel, antara Benjamin Netanyahu dan Benny Ganz yang menyebutkan rencana untuk melakukan aneksasi formal terhadap berbagai wilayah Palestina di Tepi barat.

Dalam menghadapi Covid-19, Indonesia juga mengingatkan kewajiban Israel sebagai occupying power sesuai hukum internasional adalah melindungi dan menyediakan peralatan dan fasilitas, serta akses kesehatan bagi warga Palestina, termasuk menghentikan blokade terhadap Jalur Gaza.

Sementara itu, Koordinator PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Nickolay Mladenov, yang juga hadir dalam pertemuan menyampaikan bahwa rencana Israel untuk menganeksasi wilayah Tepi Barat Palestina tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga akan mengancam proses perdamaian Israel-Palestina dan stabilitas di kawasan.

Pada kesempatan yang sama, Dubes Palestina untuk PBB, Riyadh Mansour, menyampaikan bahwa masyarakat internasional harus melakukan segala cara untuk menghentikan upaya aneksasi Israel tersebut.

“Ketika semua orang berlindung di rumahnya di saat pandemi, bagaimana mungkin Israel dapat membenarkan langkahnya yang terus menghancurkan rumah-rumah warga Palestina,” tutur Dubes Mansour.

Lebih lanjut Mladenov menyampaikan juga berbagai upaya yang telah dilakukan PBB untuk membantu Palestina dalam menangani potensi merebaknya wabah Covid-19, termasuk melalui Response Plan dengan target pengumpulan dana sebesar USD34 juta yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan dan bantuan kemanusiaan mendesak bagi warga di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.

Terkait hal ini, Dubes Djani pun mengapresiasi dan mengajak masyarakat internasional untuk terus mendukung peran Badan Pekerjaan dan Pemulihan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Palestina yang telah bekerja keras dalam membantu warga Palestina di saat sulit seperti sekarang ini.

Selain itu, Dubes Djani juga menegaskan bahwa alih-alih mengejar tujuan jahat untuk menganeksasi tanah Palestina, Israel seharusnya lebih fokus pada pelaksanaan kewajiban hukum internasionalnya.

Pertemuan “Open Debate” virtual DK PBB ini selain dihadiri oleh negara-negara anggota DK PBB, juga dihadiri oleh Wakil Tetap Palestina dan Israel. Mayoritas negara-negara anggota DK PBB pun menolak aksi provokasi dan tindakan sepihak Israel dalam menganeksasi wilayah Palestina.

Di samping itu, Indonesia dan mayoritas negara-negara anggota DK PBB juga menekankan dukungannya terhadap solusi dua negara atau two-state solution berdasarkan pada parameter internasional yang telah disepakati sesuai dengan berbagai Resolusi DK PBB, sebagai solusi damai dan adil bagi penyelesaian konflik Israel dan Palestina.

Pertemuan Arria Formula

Penegasan atas penolakan upaya aneksasi Israel terhadap Palestina bukan hanya terjadi kali ini saja. Sudah berulang kali hal tersebut terjadi. Salah satunya juga terjadi pada tahun lalu. Saat menjabat sebagai Presiden DK PBB pada Mei 2019, Indonesia menggelar diskusi informal berbentuk Arria Formula mengenai Palestina, yang dilangsungkan pada 9 Mei 2019 di Markas PBB, New York, Amerika Serikat.

Pertemuan Arria Formula biasanya dilakukan untuk membahas isu yang belum ada kejelasan atau kesamaan pandangan di antara negara-negara DK PBB. Oleh karena itu, pertemuan Arria Formula bersifat informal dan dapat mengundang pihak luar sebagai narasumber.

Pertemuan Arria Formula tentang Palestina yang diadakan dalam rangka keketuaan Indonesia itu bertujuan untuk menghidupkan kembali pembahasan Palestina di DK PBB serta menampung pandangan dari para ahli dan berbagai negara, khususnya anggota DK PBB, sehingga dapat memetakan dukungan bagi Palestina.

Diskusi informal yang diketuai bersama oleh Indonesia, Kuwait, dan Afrika Selatan itu terbuka bagi semua anggota PBB dan mengikutsertakan para ahli sebagai narasumber.

Dalam diskusi informal ini, Indonesia memfokuskan pembahasan pada pembangunan berbagai kawasan permukiman ilegal (illegal settlement) oleh Israel yang menduduki tanah milik rakyat Palestina, khususnya terkait aspek hukum dan kemanusiaan dengan penekanan pada Resolusi DK PBB Nomor 2334 tahun 2016.

Resolusi tersebut mendesak penghentian pemukiman Israel di atas tanah Palestina dan menyebutkan bahwa permukiman tersebut merupakan suatu pelanggaran di bawah hukum internasional.

Pada awal pertemuan yang mengangkat tema "Pemukiman dan Pemukim Ilegal Israel: Inti dari Pendudukan, Krisis Perlindungan, dan Penghalang terhadap Perdamaian" tersebut, diputar sebuah video singkat yang menggambarkan penderitaan warga Palestina akibat pemukiman ilegal Israel.

Beberapa ahli yang menjadi narasumber dalam pertemuan itu, seperti pengacara sekaligus aktivis HAM Emily Schaeffer Omer-Man dan ahli hukum internasional Universitas Ohio Profesor John Quigley, menyampaikan tentang pelanggaran dan dampak dari pemukiman ilegal Israel di tanah Palestina.

Sementara itu, Menlu RI Retno Marsudi dalam pernyataan yang mengawali pertemuan tersebut menekankan bahwa pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina, termasuk di Yerusalem Timur, semakin memudarkan harapan solusi dua negara.

Disebutkan, pemukiman ilegal Israel terus bertambah dari sekitar 110 ribu pada 1993 menjadi sekitar 620 ribu pada 2017. Menurut Menlu Retno, perluasan permukiman ilegal Israel secara terus menerus itu merupakan halangan besar bagi perwujudan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Selain itu, Indonesia juga memandang bahwa pembangunan permukiman ilegal merupakan sumber dari berbagai pelanggaran hukum dan HAM terhadap rakyat Palestina.

"Kegiatan pemukiman ilegal merupakan sumber dan dalih untuk kebijakan (Israel) yang melanggar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina. Hal itu telah direncanakan dengan cara yang konstan, strategis, dan sistematis, dan mengakibatkan bencana kemanusiaan," tegas Menlu Retno.

Untuk itu, Indonesia menyerukan penghentian pembangunan pemukiman ilegal Israel di wilayah Palestina. "Terus berlangsungnya pembangunan pemukiman ilegal oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina tidak dapat diterima," kata Menlu Retno kembali menegaskan.

Lebih lanjut Indonesia juga mendorong masyarakat internasional untuk menekan Israel agar menghentikan kegiatan pemukiman ilegal. Pasalnya, masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menghentikan kebijakan pembangunan permukiman ilegal oleh Israel itu.

"Perlu ada tekanan yang besar dari masyarakat internasional untuk menghentikan pemukiman ilegal Israel di Palestina. Salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan adalah dengan menetapkan Hari Solidaritas Internasional bagi Korban Pemukiman Ilegal," ujar Menlu Retno.

Secara keseluruhan, dari berbagai pernyataan yang disampaikan para wakil negara yang hadir dalam pertemuan itu, semua negara, kecuali Amerika Serikat, berpandangan bahwa pemukiman ilegal oleh Israel melanggar kesepakatan internasional dan Resolusi PBB.

"Semua negara, kecuali satu (Amerika Serikat), menganggap tindakan Israel telah melanggar berbagai resolusi dan kesepakatan di PBB, terutama Resolusi Nomor 2334 tahun 2016. Tindakan pendudukan Israel itu akan semakin mempersulit pencapaian two-state solution," tutur Dubes Djani.

Lebih lanjut Menlu Retno menambahkan bahwa sebagai mitra sejati untuk perdamaian, Indonesia tidak akan berhenti berusaha untuk memastikan masalah Palestina tetap menjadi salah satu fokus utama PBB. Semangat multilateralisme akan dijunjung tinggi dan proses perdamaian akan berlanjut atas dasar prinsip-prinsip hukum internasional dan parameter yang disepakati secara internasional.

"Masalah-masalah Palestina dan pemukiman ilegal pantas mendapat perhatian penuh Dewan Keamanan PBB. Tidak ada tindakan bukanlah suatu pilihan. Ini tentang kredibilitas Dewan Keamanan (PBB). Kita tidak boleh berhenti sampai Palestina berdiri berdampingan dengan semua bangsa di dunia," tandas Menlu RI menegaskan. (Foto: ANTARA FOTO)