Buah Manis Rumah Kaca Indonesia

:


Oleh Endang Kamajaya Saputra, Senin, 31 Agustus 2020 | 18:27 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 479


Jakarta, InfoPublik - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan Indonesia mendapatkan pengakuan dari komunitas global atas keberhasilan pengurangan emisi gas rumah kaca dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini tercermin dari persetujuan dari Global Climate Fund (GCF) untuk mengucurkan dana US$ 103,78 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Indonesia dengan proposal bertajuk “REDD+ Results-Based Payment (RBP) untuk Periode 2014-2016” akan menerima dana dari GCF yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Demikan dikatakannya dalam konperensi pers virtual bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani di Jakarta (27/8/2020).

Dalam Sidang Dewan GCF ke-26 pada 18-21 Agustus 2020 lalu menyetujui proposal pendanaan REDD+ Indonesia sebagai penerima pendanaan terbesar, melampaui proposal Brasil yang telah disetujui sebelumnya senilai US$96,5 juta di bawah program percontohan REDD+ RBP GCF.

Program percontohan untuk REDD+ RBP dari GCF ini dimulai pada 2017 dan akan berlangsung hingga 2022. Indonesia merupakan negara kelima yang berhasil mengakses program percontohan senilai US$500 juta ini.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan kerja keras selama satu dekade dalam melestarikan hutan dan menghindari deforestasi telah menuai hasil melalui pembayaran berbasis kinerja dari Norwegia dan GCF.

Menurutnya, REDD+ merupakan inisiatif global dengan desain pemberian insentif kepada negara berkembang untuk menanggulangi deforestasi dan degradasi hutan yang merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca.

Selain skema REDD+ RBP dari GCF, tersedia fasilitas sejenis seperti letter of intent Indonesia - Norwegia mengenai kerja sama pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, dan forest carbon partnership facility dari Bank Dunia.

Skema REDD+ memiliki cakupan yang luas termasuk konservasi, manajemen hutan lestari, dan peningkatan stok hutan karbon sehingga dapat mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang juga akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat.

“REDD+ juga mementingkan keterlibatan masyarakat, masyarakat adat, dan komunitas tradisional sebagai pemangku kepentingan yang harus dipastikan jaminan haknya untuk tinggal di dalam dan sekitar hutan,” papar Menteri LHK Siti Nurbaya.

Proposal yang diajukan oleh KLHK ini menyajikan hasil kinerja REDD+ Indonesia untuk periode 2014-2016, dengan volume pengurangan emisi sekitar 20,3 juta ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2eq).

Saat ini, Indonesia menggunakan baseline perhitungan rata-rata emisi tahunan sektor lahan sejalan dengan Panduan Praktik yang Baik untuk Penggunaan Lahan yang diterbitkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan Indonesia akan menggunakan dana untuk penguatan koordinasi, implementasi, dan arsitektur REDD+ secara keseluruhan, dukungan tata kelola hutan lestari yang terdesentralisasi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan hutan desa, serta pengelolaan proyek.

Pengelolaan dana RBP dari GCF dan Norwegia menunjukkan kepercayaan internasional terhadap BPDLH, yang diharapkan menjadi badan nasional terbesar untuk mendorong pembiayaan lingkungan hidup.

Dalam penggunaan dana RBP ini, KLHK bekerjasama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). KLHK akan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan dan menghasilkan keluaran yang disepakati oleh kedua belah pihak, sesuai dengan alokasi dana yang diatur dalam proposal, seperti untuk upaya penurunan deforestasi, pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penegakan hukum dan mendukung rehabilitasi hutan dan lahan sebagaimana arahan Presiden RI.

Kemenkeu akan bertanggung jawab dalam mengelola, memantau dan mengevaluasi kinerja proyek untuk memastikan penggunaan sumber daya GCF secara efektif melalui BPDLH.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan salah satu indikator yang dinilai adalah penurunan laju deforestasi. Terjadi penurunan deforestasi yang cukup besar pada tahun 2011 sampai 2017. Penurunan di tahun tahun tersebut lebih tinggi dari tahun 2003  sampai 2009.

Sedangkan Menkeu Sri Mulyani menyatakan, pendanaan yang diterima oleh Indonesia ini dapat membantu APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim.

Pendanaan yang diterima Indonesia lebih besar dari proposal Brasil dengan hutan tropis terbesar di dunia, Amazon (senilai 96,5 juta dolar AS).

Menurut Menkeu Sri Mulyani, hal ini bukti bahwa Indonesia tidak hanya berkomitmen terhadap perubahan iklim, tapi ditunjukkan dengan capaian konkrit dalam bentuk pembayaran ini.

Ia juga mengutarakan harapannya agar momentum ini terus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan dari semua pihak terkait proposal dari Indonesia yang diajukan ke GCF.

"Semoga ini menjadi momentum agar terus digunakan untuk meningkatkan keterlibatan dan dukungan dari semua pihak terkait proposal dari Indonesia yang diajukan ke GCF," tukasnya.

Menkeu Sri Mulyani menilai, KLHK sukses meyakinkan GCF bahwa Indonesia mampu mengendalikan iklim melalui pemeliharaan lingkungan hidup. Menkeu menjelaskan, Indonesia merupakan negara kelima yang berhasil mengakses program percontohan senilai 500 juta dolar AS ini.

Menurutnya, GCF merupakan satu sumber pendanaan iklim non-APBN yang dapat membantu Indonesia mencapai Nationally Determined Contribution (NDC). 

Seluruh dana yang diperoleh dari GCF akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dibawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

"Dana ini akan digunakan untuk mendanai aktivitas-aktivitas lingkungan hidup," pungkas Menkeu Sri Mulyani.(*)

Foto:Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww)