:
JPP, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap bekerja sama dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menyelenggarakan Pertemuan Regional ke-2 Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna di Jakarta pada 18-19 Desember 2019. Kegiatan ini diikuti oleh tujuh provinsi yaitu Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Bali.
Mengusung tema “Maju Bersama Menuju Perikanan Tangkap Berkelanjutan”, kegiatan ini bertujuan untuk mencarikan solusi pengelolaan sumber daya perikanan utamanya tuna, cakalang, dan tongkol (TCT) secara berkelanjutan. Pertemuan tersebut dihadiri setidaknya 150 orang dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) tujuh provinsi, pelaku industri perikanan termasuk pemasok ikan dan asosiasi perikanan, kelompok nelayan, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga donor, dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan lain.
DKP tujuh provinsi tersebut bersama Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menggagas pembentukan Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna. Komite ini merupakan salah satu wadah kolaborasi antar-pemangku kepentingan perikanan untuk bersinergi mewujudkan pemanfaatan sumber daya tuna secara berkelanjutan. Salah satunya dengan penyediaan data perikanan yang lebih akurat dan aktual.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, nelayan kecil dan nelayan besar harus dapat memanfaatkan sumber daya ikan yang ada bersama-sama sehingga terbentuk harmonisasi di antara keduanya.
“Kalau kita hanya mementingkan tradisionalnya saja maka kita akan menjadi negara yang tertinggal. Tapi kalau kita hanya mementingkan yang besar-besar saja, yang besar tidak akan ada tanpa ada yang kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak akan memisahkan keduanya,” tutur Menteri Edhy saat membuka pertemuan, Rabu (17/12).
Menteri Edhy menyebut, kegiatan ini digelar untuk mendengar permasalahan-permasalahan yang dihadapi nelayan di lapangan. Ia mengakui, salah satu masalah yang masih dikeluhkan nelayan adalah ketersediaan BBM untuk melaut. Untuk itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pertamina dan Kementerian ESDM. “Ini dukungan sarana infrastruktur pengadaan bahan bakar untuk pelaut,” ucapnya.
Menurut Menteri Edhy, mengelola laut itu seperti mengelola dunia yang tidak ada batasannya. Hal yang terjadi di lautan sebuah negara dapat berpengaruh terhadap lautan negara lainnya. Oleh karena itu, pengelolaannya harus dilakukan secara berkelanjutan, bukan dengan cara eksploitasi besar-besaran.
Di sisi lain, sumber daya manusia juga harus dibina. Tidak hanya diajarkan bagaimana mengolah ikan menjadi bernilai tambah tetapi juga menjaga lingkungan dari cemaran sampah. Hal ini agar laut sebagai masa depan anak cucu dan generasi mendatang dapat terjaga kelestariannya. “Plastik yang mencemari laut ini nanti juga dapat diproses jadi biji-biji plastik yang punya nilai ekonomi,” imbuhnya.
Menurut Menteri Edhy, KKP juga tengah berupaya menyederhanakan birokrasi dan membenahi berbagai aturan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perikanan. Penyederhanaan birokrasi ini diterapkan pada pengurusan izin penangkapan ikan. Sementara itu, ada 29 aturan yang kembali dikaji untuk disempurnakan. Dengan demikian, nelayan dan pelaku usaha lainnya dapat menjalankan usaha dengan rasa aman dan kepastian hukum yang jelas.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Edhy juga mendorong nelayan dan pelaku usaha untuk memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan pemerintah untuk menunjang usahanya. “Perintah Pak Presiden, nelayan-nelayan kecil harus bangkit dan maju, punya kapal-kapal yang besar,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar mengungkapkan, kegiatan ini merupakan tindak lanjut Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Ditjen Perikanan Tangkap dengan Yayasan MDPI, dengan lingkup kegiatan meliputi penguatan pengumpulan data dan kelembagaan, pengembangan teknologi, pelaksanaan harvest strategy, dan penguatan akses pasar internasional bagi produk perikanan Indonesia yang berasal dari nelayan kecil.
Salah satu bentuk program kerja yang dilaksanakan adalah penguatan kelembagaan melalui Co-Manajemen di tingkat Provinsi yang diberi nama Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna – Komite Pengelola Data Perikanan (KPDP) yang melibatkan semua stakeholder termasuk Pemerintah Daerah, nelayan kecil, supplier hingga akademisi.
Zulficar mengungkapkan, inisiasi ini didasari atas pertimbangan bahwa pengelolaan perikanan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan data. Dengan kata lain ‘Tanpa Data’ berarti ‘Tidak Ada Pengelolaan’, sedangkan ‘Data yang Tidak Tepat’ akan menghasilkan ‘Ketidakpastian Pengelolaan’. “Untuk itu saya meminta para pihak yang tergabung dalam KPDP ini agar dapat menjadi ujung tombak dalam pengelolaan perikanan yang lebih baik, termasuk melaporkan hasil tangkapannya dengan sebenar-benarnya. Kami mengharapkan MDPI tetap mendukung kegiatan ini agar berjalan sesuai yang diharapkan,” ucapnya.
Ia berharap, para pemangku kepentingan termasuk masyarakat dapat bersinergi mewujudkan cita-cita perikanan tuna yang unggul melalui pengelolaan sumber daya tuna, cakalang, dan tongkol yang efektif dan pemanfaatan yang berkelanjutan.
“Menurut the State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA), Indonesia memberikan kontribusi sekitar 16 persen terhadap produksi perikanan tuna, tongkol, cakalang dunia dan sekitar 20 persen terhadap perikanan nasional. Oleh karena itu, dengan pertemuan ini kami berharap dapat mengawali sinergi yang baik antara pemangku kepentingan dalam pengelolaannya di masa datang,” harapnya.
Meskipun demikian, Zulficar mengakui, besarnya potensi pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, pembentukan kelompok usaha bersama (KUB) dan Koperasi Nelayan, proses penerbitan Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA), kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk nelayan skala kecil, pemanfaatan rumpon, pendaftaran buku kapal perikanan dan penandaan kapal perikanan untuk kapal dengan bobot sampai 30 GT, serta penerbitan pas kecil atau pas besar kapal perikanan.
Adapun Direktur Eksekutif MDPI Saut Tampubolon menyampaikan apresiasi kepada KKP yang dinilai sangat peduli terhadap pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan perikanan berkelanjutan, Saut mengatakan, MDPI fokus pada pengembangan kelembagaan dengan membina sebanyak 10.553 orang terdiri dari 5.914 nelayan, 4.535 non-nelayan, dan 104 supplier. MDPI juga mendorong pelaksanaan legal, reported, and regulated fisheries serta memfasilitasi penerbitan pas kecil sebanyak 679 kapal dan bukti pencatatan Kapal Perikanan sebanyak 531 kapal.
“MDPI juga melakukan pengembangan database perikanan tangkap yakni iFish Database yang telah mendukung penyusunan Harvest Strategy untuk yellowfin tuna di perairan kepulauan Indonesia termasuk laporan tahunan Indonesia kepada WCPFC,” paparnya.
Ketertelusuran juga menjadi salah satu fokus MDPI melalui pengembangan teknologi Trace Tale pada unit pengolahan ikan yang merupakan karya anak bangsa 100%. Lanjut dia, dengan menggunakan Trace Tale, pencatatan produksi di UPI tidak lagi menggunakan kertas. “Telah dihasilkan produk tuna yang dapat ditelusuri (traceable tuna product) sebanyak 3.500 ton.”
Menurut Saut, MDPI juga telah melakukan upaya penguatan akses pasar dan memberikan ragam pelatihan dan awareness building program seperti kesetaraan gender dalam pengelolaan perikanan, penangkapan ikan baik yang di atas kapal, mitigasi bycatch dan ETP species, pengelolaan keuangan untuk wanita, keselamatan di laut, kebersihan pantai, pemanfaatan sampah plastik, dan lain-lain.
“Semoga maju bersama menuju perikanan tuna yang berkelanjutan dapat kita wujudkan atas dukungan penuh KKP di bawah kepemimpinan Bapak Edhy Prabowo,” pungkasnya.
Sebagai informasi, dalam pertemuan tersebut, KKP juga mendesiminasikan arah kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Indonesia yang dihimpun dalam Rencana pengelolaan perikanan tuna untuk tahun 2020-2024, serta informasi terbaru mengenai penerapan logbook dan/atau e-logbook untuk nelayan kecil, Sistem Informasi Izin Kapal Daerah (SIMKADA), dan Database of Indonesian Vessels Authorized (DIVA)-Tuna.
Sejumlah tantangan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan itu antara lain menjadi topik yang akan dibahas dalam Pertemuan Regional Komite Pengelola Bersama Perikanan ke-2 di Jakarta. Harapannya, para peserta bisa menemukan solusi dari sejumlah tantangan yang dihadapi tersebut. Isu gender dalam perikanan juga menjadi topik yang menarik untuk dibahas dengan mengambil contoh pilot project di Sulawesi Utara. Hingga saat ini, gender dalam perikanan masih menjadi isu yang belum banyak dibahas para pemangku kepentingan.
Selain itu, pertemuan juga akan membahas sosialisasi kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Indonesia (RPJM 2020-2024) serta kebijakan dan rencana kerja pengelolaan perikanan tuna 2020-2024. Harapannya, para peserta bisa mendapatkan informasi terkini tentang pelaksanaan logbook dan atau e-logbook untuk nelayan kecil, Sistem Informasi Izin Kapal Daerah (SIMKADA), dan Database of Indonesian Vessels Authorized (DIVA)-Tuna.
Secara regulasi, Pemerintah Indonesia sendiri sudah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 107 tahun 2015 tentang Rencana Pengelolaan Perikanana Tuna, Cakalang, dan Tongkol. Keputusan ini menjadi acuan operasional dalam pelaksanaan praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya TCT secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, termasuk para pemangku kepentingan lainnya.
Aturan lain adalah Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal 6 ayat 2 UU No 31 tahun 2014 ini menetapkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan perlu lebih diperkuat.
Pertemuan Regional ke-2 Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna di Jakarta pada Rabu-Kamis, 18-19 Desember 2019 akan menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan dengan melibatkan para pemangku kepentingan dalam satu meja dan menentukan langkah-langkah selanjutnya. (kkp)