Kampung Takpala, Warisan Sejarah Budaya Kehidupan Primitif Dunia di Pulau Alor

:


Oleh MC KAB MANGGARAI BARAT, Senin, 2 Agustus 2021 | 19:49 WIB - Redaktur: Tobari - 5K


Labuan Bajo, InfoPublik - Pulau Alor merupakan salah satu daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki pesona keindahan alam dan budaya yang sangat mengagumkan.

Destinasi wisata bahari Alor merupakan yang paling banyak diminati wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan manca negara

Pulau Alor memiliki sejumlah spot selam terbaik yang karena keindahannya mampu menarik perhatian dunia. Half Moon Bay, Crocodile Rock, dan beberapa yang lainnya menjadi destinasi primadona tempat bermain para pecinta bawah laut, seperti disebutkan dalam siaran pers BPOLBF, Minggu (1/8/2021).

Namun keindahan Pulau Alor tidak sebatas pada dunia bawah lautnya saja. Alor memiliki warisan kebudayaan leluhur yang unik dan otentik, bahkan mungkin tidak ditemukan di belahan lain di dunia ini.

Warisan kebudayaan yang dijalani dalam bentuk adat istiadat ini menjadikan Alor lebih dulu dikenal wisatawan dengan sebutan pulau yang memiliki sebuah kampung tradisional dengan aktifitas kehidupan primitif.

Aktifitas tersebut hingga saat ini bisa kita jumpai pada sebuah kampung budaya bernama Kampung Takpala.

Kampung Takpala mulai digaungkan sejak tahun 1973, ketika seorang wisatawan asal Belanda menampilkan foto-foto tantang kehidupan tradisional warga kampung tersebut pada sebuah kalender sehingga menarik perhatian wisatawan asal Eropa lainnya untuk mengunjungi tempat ini.

Sejak saat itu, Kampung Takpala menjadi tersohor dan ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara sehingga ikut dikenal di negeri sendiri pada tahun 1980 saat menjadi Juara II pada ajang penghargaan Desa paling Tradisional di Indonesia, dan pada tahun 1983, Pemerintah Kabupaten Alor menjadikan Kampung Takpala sebagai ikon pariwisata Alor.

Kampung Takpala dihuni oleh 13 Kepala keluarga warga suku Abui, suku terbesar di Pulau Alor. Sebutan lain bagi suku Abui adalah orang gunung (merujuk pada geografis wilayah tempat tinggal). Pada mulanya suku ini tinggal di daerah pedalaman wilayah pegunungan Alor.

Kemudian pada tahun 1939 mereka dipindahkan ke area perbukitan agar memudahkan kegiatan pemungutan pajak yang dilakukan oleh petugas kerajaan yang diperintah raja Alor pada saat itu.

Kata Takpala sendiri berasal dari kata Tak dan Pala. Kata Tak berarti ‘ada batas’ dan kata Pala berarti ‘kayu’, sehingga kata Takpala diartikan “kayu pembatas”.

Warga Kampung Takpala mendiami 13 Rumah Adat Fala Foka, sebutan rumah adat panggung berbentuk limas, beratapkan alang-alang, berdinding dan berlantaikan anyaman bambu yang ditopang oleh empat buah kayu merah yang kokoh.

Rumah adat ini terbilang unik karena terdapat empat tingkatan didalam tiap rumah adat ini. Tingkat pertama atau yang biasa disebut Liktaha adalah tempat untuk menerima tamu atau berkumpul bersama. Tingkat kedua biasa disebut Fala Homi, yakni ruang tidur dan ruang untuk masak.

Tingkat ketiga adalah Akui Foka yakni tempat untuk menyimpan cadangan bahan makanan, seperti jagung dan ubi kayu. Sementara tingkatan paling atas disebut Akui Kiding, yakni tempat untuk menyimpan mahar dan barang berharga seperti Moko.

Moko merupakan barang berharga di Pulau Alor, terbuat dari tembikar dan biasanya digunakan sebagai belis atau mahar perkawinan. Satu buah Moko bernilai sangat fantastis, sehingga sering dikatakan satu buah Moko mampu meminang 3 orang anak gadis.

Di antara 13 Rumah Fala Foka, terdapat 2 rumah adat yang memiliki ukuran sedikit lebih kecil dari pada ukuran rumah Fala Foka.

Namun meski memiliki ukuran lebih kecil, dua rumah adat yang biasa disebut Lopo ini memiliki tingkat kesucian lebih tinggi dibandingkan rumah Fala Foka.

Dari segi bentuk, Rumah Lopo memiliki dinding yang terbuat dari anyaman bambu dengan ditopang oleh enam buah kayu merah.

Pada atap rumah terdapat sebuah mahkota yang menandai kesakralan dua bangunan ini. Rumah Lopo memiliki dua jenis, yakni Kolwat dan Kanuruat.

Perlakuan terhadap dua rumah adat ini juga pun berbeda. Kolwat yang memiliki arti perempuan, memiliki ciri dinding didominasi oleh warna putih dan bisa dimasuki oleh semua warga kampung.

Sementara Kanuruat yang memiliki arti laki-laki, berdinding corak kehitaman dan hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu saja seperti Tua adat.

Setiap satu tahun sekali, pintu Rumah Kanuruat akan dibuka untuk kepentingan ritual adat dan hanya bisa dibuka oleh Tua Adat melalui proses ritual adat pula.

Didepan rumah adat Kolwat dan Kanuruat, terdapat sebuah susunan batu yang dibuat melingkar yang biasa digunakan untuk menyimpan benda-benda sakral seperti Moko, Gong atau peralatan berburu saat melakukan ritual adat.

Jika berkunjung ke Kampung Takpala, selalu ada penyambutan dengan tarian adat yang disebut tarian lego-lego.

Saat pementasan tarian ini, semua warga yang menghuni kampung ini akan mengenakan pakaian adat yang disertai dengan ornamen seperti panah dan busur serta parang bagi pria dan tas fuulak serta gelang pada kedua kaki bagi wanita.

Wisatawan diijinkan untuk berfoto dengan menggunakan pakaian adat Kampung Takpala beserta dengan setiap atribut yang dimiliki baik itu busur, anak panah, tombak, tas kamol dan pedang bagi pria atau kain tenun, selendang dan tas fu’ulak bagi pengunjung wanita.

Biaya penggunaan pakaian adat beserta aksesorisnya biasanya sesuai kesepakatan dengan pemilik pakaian.

Saat menyambut, jenis tarian yang digunakan adalah tarian Lego Luh, dilanjutkan dengan tarian perang yang disebut tarian lego cakalele dokak yang diperagakan oleh dua pria dewasa sembali memegang busur dan anak panah .

Serta pedang seolah-olah hendak bertarung serta tarian penutup yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan pada proses ini, wisatawan akan diijinkan untuk bergabung dalam tarian ini sambil bergandengan tangan berputar mengelilingi Batu Mesbah.

Tarian kebersamaan ini diiringi dengan tabuhan gong serta hentakan kaki yang telah dipakaikan gelang sehingga mengeluarkan bunyi gemerincing yang khas dan menambah semarak kehangatan warga Kampung Takpala.

Tari lego-lego adalah kegiatan rutin yang dilakukan bersama, terutama saat panen, membangun rumah, pernikahan, kelahiran, dan kegiatan adat lainnya.

Namun perlu diingat, tarian penyambutan ini akan dilakukan jika kedatangan pengunjung disampaikan kepada tua adat terlebih dahulu sebelum tiba di kampung Takpala.

Rutinitas keseharian warga kampung ini adalah berladang serta berburu bagi para pria, sementara kaum perempuan khususnya ibu-ibu akan menenun dan membuat kerjinan tangan seperti kalung, gelang, cincin yang terbuat dari kenari hutan, biji lamtoro, akar bahar, serta tas yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut Fu’ulak dan Kamol.

Tas Fu’ulak merupakan tas bagi wanita yang berbentuk persegi panjang, sementara Tas Kamol untuk pria berbentuk persegi empat yang terbuat dari anyaman bambu.

Kedua jenis tas ini biasa digunakan untuk menyimpan uang atau sirih pinang. Hasil kerajinan tangan ini biasanya akan dijual kepada wisatawan yang berkunjung dengan harga yang bervariasi.

Kampung Takpala juga memiliki tradisi khusus soal berkebun. Musim Tanam dimulai pada bulan November, bulan yang dianggap menjadi bulan awal dalam setiap tahun. Dilanjutkan dengan musim panen pada bulan April hingga Juni.

Memasuki bulan Agustus, warga akan memulai musim potong kebun, yakni proses pembersihan ladang yang akan digunakan kembali untuk menanam.

Namun sebelum memasuki musim tanam, warga akan melakukan tradisi musim bakar kebun pada bulan Oktober.

Selain menikmati adat budaya yang dilestarikan secara turun temurun oleh warga suku Abui di Kampung Takpala, posisi Kampung Takpala yang berada diatas bukit akan memberikan kita pandangan keindahan alam teluk mutiara dengan warna biru yang sangat indah.

Sembari menikmati udara sejuk jauh dari polusi karena terdapat banyak pohon-pohon besar di sekitar Rumah Adat.

Untuk menjangkau kampung ini tidaklah sulit. Kampung Adat Takpala terletak di dusun III Kamengtaha, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Jika ditempuh melalui Bandar Udara Mali, hanya dibutuhkan waktu sekisar 15 menit perjalanan, dan 25 menit jika ditempuh dari Kalabahi, pusat kota Kabupaten Alor dengan menggunakan motor/mobil.

Rute Perjalanan menuju Kampung Takpala yaitu menyusuri jalur pesisir pantai dengan menawarkan pemandangan hamparan laut biru yang menawan dan mengagumkan.  (Mckabmanggaraibarat/Syarif ab/toeb)