52 Persen Pelaku KDRT Adalah Suami

:


Oleh MC Kota Sorong, Jumat, 9 September 2016 | 06:58 WIB - Redaktur: Tobari - 887


Kota Sorong, InfoPublik – Kadiv Yankum dan HAM pada Kanwil Hukum dan HAM Papua Barat Heru Saputra, SH.,MH mengatakan, sekitar 52% kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pelakunya adalah suami.

Selain itu, karakteristik pelaku KDRT adalah, 34,4% selalu bersitegang dengan istri (korban), 23% hidup dalam kemiskinan, 17,7% sejak kecil terbiasa melihat kekerasan dalam keluarga, 9,5% pemabuk, dan 4,1% bekas narapidana.

Heru Saputra mengemukakan hal tersebut, ketika tampil sebagai nara sumber dalam Peyuluhan Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum), di Aula Samu Siret Kantor Walikota Sorong, Kamis (8/9).

“Jangan berpikir kalau pelaku KDRT itu hanya orang yang berpendidikan rendah saja, tapi juga dari suami yang berpendidikan menengah bahkan tinggi,” kata Heru.

Masalah KDRT terjadi di semua tingkat sosial ekonomi keluarga, dan suami yang melakukan KDRT tidaklah selalu suami yang pemabuk, stress atau mengalami gangguan jiwa.

Selain itu, istri korban KDRT biasanya bertipe pendiam, penurut, dan suka mengalah. Ini adalah fakta yang bukan seperti mitos yang mengatakan kalau istri korban KDRT itu rata-rata istri cerewet, tidak patuh dan menjengkelkan.

Penghapusan KDRT berasas pada penghormatan HAM, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban. Rata-rata, korban KDRT sebagian besar wanita berusia 25-40 tahun, istri yang dipukuli paling banyak yang tidak bekerja atau menghasilkan uang, dan 56% adalah istri dari pasangan dengan masa perkawinan 1-10 tahun.

Sementara itu, Max Wambrauw selaku moderator menggaris bawahi, ketakutan istri dalam melaporkan kasus KDRT.

Ketakutan tersebut biasanya berhubungan dengan, melapor kasus berarti membuka aib sendiri, takut dipersalahkan karena tidak bisa mengurus suami atau keluarga, dapat memperparah kekerasan yang dialami, takut diceraikan dan menjadi janda dan masih mencintai suami dengan berharap keadaan bisa membaik.

“Apa yang terjadi pada keluarga jika sang istri melapor kepada Polisi? Bagaimana nasib anak-anak jika suami dan istri akhirnya bercerai?”, Tanya salah satu peserta dalam sesi tanya jawab.

“Itulah mengapa ada Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Korban tidak perlu langsung ke Kantor Polisi, tapi si korban dapat menyerahkan kasus KDRT tersebut kepada OBH, sehingga organisasi dapat melapor langsung ke Kantor Polisi,” kata Kadiv Yankum dan HAM pada Kanwil Hukum dan HAM Papua Barat. (MC Kota Sorong/toeb)