Budaya Betawi Harus Terus Dilestarikan

:


Oleh Eka Yonavilbia, Selasa, 10 Mei 2016 | 14:30 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 4K


Jakarta, InfoPublik - Betawi, budaya asli ibukota ini lambat laun semakin tergerus oleh berbagai budaya populer yang berkembang. Pewarisan budaya menjadi salah satu upaya mendorong pelestariannya.

Konon, pewarisan budaya Betawi masih terjadi secara alamiah,  hal itu tergambarkan  melalui seorang anak mencermati tata cara kesenian yang dilakukan baik oleh orang tua maupun guru di sanggar. Belum ada panduan khusus yang digunakan untuk mentransmisikan nilai-nilai itu.

“Kesenian itu memang disalurkan secara alamiah, misalnya saya belajar shohibul hikayat, karena sering mengikuti seniman-seniman pada saat itu. Bagaimana dia tampil, bagaimana intonasi, Bagaimana vokal dilantunkan, hingga bagaimana mengeluarkan pepatah-pepatah yang sangat terkait dengan kearifan lokal,” kata Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Yahya Andi Saputra, di kediamanya beberapa waktu lalu.

Pria kelahiran 5 Desember 1961 silam ini menuturkan, meninggalnya tokoh-tokoh maestro seniman tua Betawi ibarat seperti sebuah gedung perpustakaan besar yang runtuh. Banyak nilai-nilai penting yang hilang, tidak sepenuhnya tersalur dari generasi ke generasi selanjutnya.

Selain pewarisan yang alamiah, upaya formal juga harus dilakukan, seniman tradisi lisan Betawi ini bersama rekan sejawatnya di LKB mendorong pemerintah DKI Jakarta untuk membuat suatu wadah pelestarian berupa sekolah khusus kesenian Betawi maupun pencantuman kurikulum.

“Saat ini, kita sedang mengupayakan bagaimana pewarisan itu dapat dilakukan secara formal, kita usul ke pemerintah untuk mendirikan sekolah kesenian Betawi secara khusus, sedang kita buat panduannya,” ungkapnya dengan nada rendah.

Perkampungan Betawi

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengupayakan pelestarian dan pengembangan budaya Betawi melalui sebuah kawasan khusus di selatan Jakarta. Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan tepatnya. Lokasi ini dipilih karena kemudahan akses dan hampir 95 persen penduduk di sini masih masyarakat asli Betawi.

Kampung ini merefleksikan kekayaan budaya Betawi mulai dari kesenian, bahasa, tradisi, kuliner, hingga desain bangunan. Kepala Pelayanan dan Informasi Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPKPBB) Setu Babakan, Murliani mengatakan, perkampungan ini merupakan salah satu program pemerintah sebagai upaya melestarikan budaya Betawi.

“Sebenarnya ini program pemerintah, kita sedang bebenah untuk melestarikan, melindungi dan mengembangkan budaya Betawi,” tuturnya.Perkampungan Budaya Betawi di Setu babakan masuk ke dalam empat prioritas Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD), termasuk di dalamnya Kawasan Wisata Kota Tua, Taman Ismail Marzuki, dan Kodim Jatinegara.

Wanita yang akrab disapa Yani ini mengakui berbagai kendala tengah dihadapi pihak pengelola yang baru berjalan 1,5 tahun ini. Mulai dari anggaran, konsolidasi dengan pengelola sebelumnya, tidak adanya retribusi yang masuk, hingga sarana prasarana yang belum selesai dibangun.

“Bangunan yang kita tempati ini nantinya akan menjadi museum. Saat ini kita masih belum punya kantor,” katanya. Untuk pengembangan kawasan ini, pemerintah menargetkan sudah siap digunakan di  tahun 2018. Tahun ini akan dilakukan pembebasan lahan, dan memulai pembangunan sarana dan prasarana penunjang lainya pada tahun 2017.

Yani menginginkan perkampungan warga yang masuk dalam kawasan ini rumahnya akan didorong untuk memasukan unsur kebetawian seperti gigi balang dan bentuk teras. “Perkampungan di sini juga rumahnya diusahakan memiliki unsur Betawi seperti gigi balang dan teras. Nah, itu masih proses menuju ke sana,” jelasnya.

Beragam cara untuk melestarikan budaya Betawi memang tak mengenal umur, seperti halnya Minin, seorang pedagang suvenir dan ikon Betawi lanjut usia di kawasan ini. Berbeda dengan seluruh pedagang di Setu Babakan yang mayoritas menjajakan makanan, pria yang asli Betawi itu memilih untuk berjualan ondel-ondel, film-film, dan lagu-lagu khas Betawi.

“Dahulu saya seorang supir di Kedutaan Besar Amerika. Setiap hari libur, Sabtu dan Minggu saya mengamati dari ujung ke ujung apa sesuatu yang belum dijual di kawasan ini tetapi memiliki unsur khas Betawi, ternyata cenderamata dan barang-barang khas Betawi yang belum ada,” kisahnya. (Berliyan Ramadhaniyanto/ Mahasiwa Magang/Eyv)