- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Selasa, 26 November 2024 | 09:14 WIB
: Dirjen IKP Kementerian Komdigi Prabu Revolusi; Psikolog Klinis Dewasa Nuran Abdat; Deputi PHP Kemen PPPA Ratna Susianawati; Founder Yayasan Suara Hati Perempuan Nova Eliza; Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Periode 2004-2009 Meutia Hatta; dan Rudi Zein (Moderator) dalam Talkshow dan Dialog Interaktif Edukasi dan Literasi kepada Perempuan dalam Upaya Pencegahan Kekerasan di Ranah Digital. Foto : Kemen PPPA
Oleh Dian Thenniarti, Selasa, 26 November 2024 | 07:20 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 86
Jakarta, InfoPublik - Perkembangan teknologi informasi tidak hanya menawarkan berbagai manfaat dan kemudahan, tetapi juga berpotensi menjadi ruang terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah digital atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati, penggunaan media sosial yang tidak bijak dan tanpa batas ditengarai menjadi cikal bakal terjadinya KBGO.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, korban terbesar KBGO berada pada rentang usia 15-19 tahun, tetapi ada tren yang ditemukan bahwa usia 25-29 menjadi kelompok yang rentan menjadi korban KBGO. Namun demikian, prevalensi cenderung menurun dari 2021 di setiap kelompok umur (15-19; 20-24; 25-29; dan 30-40) untuk KBGO setahun terakhir.
"Fenomena KBGO ini yang terus kita cari solusi dan langkah afirmasinya untuk dilakukan bersama-sama," ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati, sebagaimana dikutip InfoPublik pada Selasa (26/11/20204).
Lebih lanjut, Ratna menyebutkan, Undang-Undang No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi regulasi yang sangat kuat dalam memastikan upaya pencegahan, penanganan, pelindungan, pemulihan, dan penegakan hukum terkait TPKS. "Mudah-mudahan ini akan menjadi harapan, tidak hanya bagi korban kekerasan seksual, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia," ucapnya.
Berdasarkan hasil survei SPHPN 2024, 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan/atau selain pasangan selama hidup. Kondisi tingginya angka kekerasan seksual saat ini menjadi tantangan untuk semakin memperkuat implementasi UU TPKS ini.
Untuk itu, Kemen PPPA pun terus memperkuat sinergi pentahelix untuk mencegah dan menangani isu kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk KBGO diantaranya melalui penyelenggaraan Talkshow dan Dialog Interaktif Edukasi dan Literasi kepada Perempuan dalam Upaya Pencegahan Kekerasan di Ranah Digital dengan menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta sejumlah pakar dibidangnya sebagai pembicara.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Prabu Revolusi menuturkan, perkembangan teknologi dapat memberikan harapan sekaligus ancaman bagi para penggunanya, termasuk perempuan dan anak. Untuk itu, dirinya menggarisbawahi perlunya etika digital dalam penggunaan teknologi, terutama sosial media.
"Etika digital tidak bisa kita kendalikan. Kalau ada hal yang tidak kita sukai terkadang langsung kita komentari tanpa kita sadari karena kita tidak pernah diajarkan bahwa memberikan komentar negatif merupakan hal yang tidak sopan. Kedua, tidak pernah diajarkan bahwa efek dari digital adalah harus saring sebelum sharing. Kita tidak pernah diajarkan etika dalam menggunakan teknologi digital. Oleh karena itu urgent untuk mendesak digital ini diatur dan diajarkan ke kurikulum sekolah dasar," ujar Prabu.
Sementara itu, Psikolog Klinis Dewasa, Nuran Abdat menyebutkan, terjadinya peningkatan korban KBGO yang melakukan sesi konsultasi di klinik tempatnya bekerja, sebagian besar adalah perempuan usia remaja atau dewasa muda yang foto atau videonya disebarluaskan tanpa persetujuan.
"Mayoritas dari mereka merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri (self blaming). Mereka ada yang mengalami depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD), serta menghadapi trauma berkepanjangan dan hingga hari ini masih melakukan terapi. Efek psikologisnya sangat luar biasa," imbuh Nuran.
Menurut dia, keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk dapat meminimalisasikan potensi seseorang menjadi korban KBGO. Pasalnya, apabila kebutuhan cinta anak tidak dipenuhi oleh orang tua atau keluarga, kekosongan tersebut berpotensi diisi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang dapat memicu terjadinya KBGO.
"Kebutuhan cintanya tidak terpenuhi dari orang tua atau keluarga mengakibatkan mereka merasa tidak dicintai, merasa tidak dibutuhkan, dan merasa sendiri. Inilah yang membuat anak ataupun orang dewasa tidak memperhatikan perilaku redflags pasangan karena dirasa ialah satu-satunya yang mengisi tangki cinta, membuat merasa layak dicintai karena di rumah tidak menemukan makna dicintai," pungkas Nuran.