- Oleh MC PROV JAWA TIMUR
- Rabu, 6 November 2024 | 05:00 WIB
: Pusat Riset Politik BRIN bekerja sama dengan Penerbit Buku Kompas siap meluncurkan karya Asvi Warman Adam, berjudul ”Mengembalikan Tionghoa ke Dalam Historiografi Indonesia”/ foto: BRIN
Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Rabu, 6 November 2024 | 16:13 WIB - Redaktur: Untung S - 177
Jakarta, InfoPublik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Politik bekerja sama dengan Penerbit Buku Kompas siap meluncurkan karya Asvi Warman Adam berjudul “Mengembalikan Tionghoa ke Dalam Historiografi Indonesia”.
Buku itu menyajikan eksistensi Tionghoa dalam konteks sejarah sosial politik di Indonesia, khususnya pada masa reformasi. Hal itu disampaikan oleh Athiqah Nur Alami, Kepala Pusat Riset Politik BRIN.
“Menurut Prof. Asvi sebagai penulis buku, peran Tionghoa tidak hanya perlu dimasukkan dalam sejarah nasional Indonesia, tetapi juga penting untuk mengangkat orang Tionghoa dalam jajaran Pahlawan Nasional Indonesia,” ujar Athiqah dalam keterangan resmi BRIN yang diterima pada Rabu (6/11/2024).
Kehadiran buku itu diharapkan dapat membawa angin segar bagi diskusi mengenai perlunya pemahaman dan pentingnya pengakuan atas eksistensi serta kontribusi Tionghoa dalam proses pembangunan bangsa di Indonesia. Harapannya, buku ini akan menjadi rujukan dan referensi bagi penstudi atau pengamat sejarah nasional Indonesia, serta masyarakat umum yang ingin mengetahui peran kelompok minoritas dalam pembentukan identitas dan nasionalisme sebuah bangsa.
Peluncuran buku tersebut juga menandai momentum usia 70 tahun Asvi Warman Adam, sejarawan sekaligus peneliti bidang sejarah sosial politik Indonesia yang telah banyak memberikan kontribusi dan menghasilkan karya akademik di bidangnya. Tahun ini juga menandai purna tugasnya dari BRIN setelah hampir 40 tahun mengabdi dan mengikuti perkembangan lembaga riset nasional, mulai dari Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hingga kini bernama BRIN.
Dalam diskusi buku, Asvi mengungkapkan tiga hal penting yang ia gali selama lebih dari empat dekade menjadi sejarawan dan peneliti. Pertama, mengenai historiografi 1965. Sejak rezim Orde Baru runtuh seperempat abad silam, historiografi Indonesia mengalami banyak perubahan. Para sejarawan, guru sejarah, intelektual, dan aktivis melontarkan kritik terhadap Sejarah Modern Indonesia, terutama mengenai peristiwa kejatuhan Bung Karno, penumpasan komunis, dan kenaikan Soeharto sebagai penguasa.
Asvi terlibat dalam gelombang baru sejarah tersebut dengan mengajukan wacana baru yang dikenal sebagai pelurusan sejarah, terutama terkait peristiwa 1965. Karya monumental Asvi adalah naskah orasi ilmiah pengukuhannya sebagai profesor riset LIPI tahun 2018, berjudul “Dampak G30S: Setengah Abad Histografi Gerakan 30 September 1965”.
Kedua, fokus Asvi pada historiografi 1965 menyoroti korban lain dari tragedi tersebut, yaitu etnik Tionghoa Indonesia. Mereka tidak hanya dicap sebagai komunis tetapi juga mengalami perlakuan yang tidak adil, dikucilkan, dan mengalami teror berkelanjutan. Etnik Tionghoa juga mengalami kebijakan ganti nama dan pembatasan ekspresi kultural di ruang publik, serta secara historis dan kultural diabaikan dalam sejarah Indonesia.
Asvi berupaya mengintegrasikan Tionghoa dalam sejarah Indonesia, dimulai dengan gagasan pentingnya menjadikan unsur etnik Tionghoa sebagai pahlawan nasional. Ia menulis berulang kali di beberapa surat kabar nasional mengenai usulan John Lie sebagai pahlawan nasional, hingga akhirnya John Lie dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional pada tahun 2008.
Ketiga, sebagai sejarawan Indonesia yang berusaha mengoreksi rekayasa sejarah versi Orde Baru, peran Asvi dalam panggung sejarah kontemporer Indonesia juga dituangkan dalam karya lain. Hampir semua buku sejarah politik seputar 1960-an mendapatkan resensi, komentar, dan kata pengantar darinya. Banyak peneliti sejarah, mahasiswa, dan jurnalis yang meminta saran dan rekomendasi dari Asvi.
Puluhan kata pengantar untuk buku sejarah politik telah ia tulis, dan kumpulan kata pengantar ini menjadi karya berharga Asvi yang sangat penting untuk disatukan dalam satu buku khusus. Menurutnya, ini akan menemukan benang merah dari upaya Asvi dalam mendorong sikap kritis terhadap sejarah nasional versi rezim Orde Baru.
Dalam peluncuran buku tersebut, hadir para pembahas kenamaan, yaitu Sejarawan Indonesia, Didi Kwartanada, Natalia Soebagjo selaku Sinolog, serta Sejarawan dan Anggota DPR RI, Bonnie Triyana.